![]() |
Gramedia Sun Plaza Medan. Foto: Eka Natassa S |
PROLOG
Keala berjalan di sebuah lorong gelap, dengan sedikit cahaya
dan kabut di sekelilingnya suara-suara bersahutan memanggilnya.
Dari kejauhan Keala melihat seseorang di ujung lorong,
sesosok laki-laki yang sedang berdiri
tegak. Keala tidak bisa melihat jelas siapa sosok itu, kabut tebal menutupi
pandangannya.
Perlahan-lahan langkah
Keala hampir mendekati sosok itu. Namun, kabut semakin tebal menutupi
pandangannya, gelap total. Di sekelilingnya suara-suara itu tidak berhenti
memanggil Keala. Semakin lama semakin
keras, bersahutan.
“Keala….”
“Keala….”
Keala membuka mata, terbangun dengan keringat membasahi
badannya. Kepalanya bagaikan ditusuk ribuan jarum.
Welcome to SMA 79
Wajah Keala pucat pasi ketika menerima kertas ulangan
Akuntansi-nya pekan lalu. Angka 30 tertera sangat jelas di sana. Berwarna merah
dan dilingkari.
“Ya Tuhaaan …. Tiga puluuuh?” desis Keala. Tubuh Keala
mendadak terasa dingin, seolah tak ada lagi darah yang mengalir di tubuhnya.
Angka 30 yang tertera di kertas itu terlihat seperti hantu baginya. Sangat
mengerikan.
Ia berjalan lunglai ke bangkunya di bagian tengah kelas.
“Dapat berapa?” tanya Ninna.
Keala tak menjawab pertanyaan teman sebangkunya. Ia melipat
kertas ulangannya itu lalu memasukkannya ke saku rok. Meski begitu, wajah pucat
dan murung Keala cukup untuk memberi gambaran pada Ninna.
Ninna tersenyum riang. “Kalau dapat di bawah lima puluh,
kalem aja, Kea. Kalo dapat di bawah nol, baru boleh stres.”
“Memangnya di sekolah kita ini ada guru yang ngasih nilai di
bawah nol, Nin?” tanya Keala pelan. Ngeri sekali membayangkan kemungkinan itu
benar-benar ada. Nilai minus dua puluh, misalnya. Ya ampun! Demi apa pun, itu
benar-benar menyeramkan.
“Ya nggak ada lah, Kea…,” sahut Ninna tergelak melihat
ekspresi ngeri di wajah Keala.
Keala menatap sebal pada teman sebangkunya itu. Ia tak
mengerti kenapa bisa-bisanya Ninna menganggap nilai ulangan Akuntansi di bawah
lima puluh itu biasa-biasa aja dan harus disikapi dengan kalem. Apa karena
Ninna mendapat nilai bagus? Delapan puluh? Sembilan puluh? Atau malah seratus
seperti Kevin? Tadi Keala sempat melihat angka seratus itu tertera gagah di
kertas jawaban Kevin.
Keala ingin menanyakan sesuatu. Namun, ia urung bertanya
karena Pak Edwin telah memulai pelajaran Akuntansi, membahas soal ulangan
kemarin.
Kelas hening. Hanya suara Pak Edwin yang terdengar.
Keala berusaha memusatkan konsentrasinya. Akan tetapi,
penjelasan Pak Edwin hanya sebagian saja menyangkut di otaknya. Berkelebat
masuk, lalu keluar dan menghilang begitu saja.
Diam-diam Keala memperhatikan sekelilingnya. Semua terlihat
sangat serius. Ia kembali memperhatikan Pak Edwin. Angka-angka rupiah yang
ditulis di papan tulis mendadak ber-Harlem Shake dalam pandangannya.
Joget-joget nggak jelas juntrungannya.
Kepala Keala sakit, sekilas teringat
lagi lorong gelap yang ia lalui dalam mimpinya semalam dan sepintas terdengar
suara-suara lirih memanggilnya, “Keala….”
![]() |
LIMIT di rak Best Novel Gramedia MM Bekasi, Maret 2014 (foto: Nando) |
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.