Kehadiran anak adalah dambaan setiap pasangan suami istri. Namun, memiliki anak juga menghadirkan serentetan tanggung jawab yang harus dipenuhi oleh orangtua.
Kewajiban orangtua tidak berhenti hanya pada memenuhi
kebutuhan pangan dan sandang, serta memasukkan anak-anak ke sekolah yang
dianggap terbaik.
Kebutuhan-kebutuhan yang bersifat materi tersebut memang
penting. Namun, ada hal-hal yang tidak kalah penting.
Dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah
disebutkan bahwa Rasulullah SAW bersabda, “Kewajiban orangtua terhadap
anaknya ada tiga. Kesatu, memberikan nama yang baik bagi anak. Kedua,
memberikan pendidikan Al-Qur’an. Ketiga, menikahkan mereka ketika mereka
menginjak dewasa.”
Orangtua berkewajiban mengantar anak ke mahligai rumah tangga, dalam hal ini memilihkan jodoh yang baik untuk
putra-putri mereka.
Bagaimanapun, setiap orangtua pasti menginginkan yang terbaik
untuk putra-putri mereka. Tentu tak ada orang orangtua yang ingin anak yang
mereka besarkan dengan penuh cinta menikah dengan sembarang orang.
Menikah Adalah Pilihan
Namun, menikah atau tidak menikah adalah pilihan. Masing-masing pilihan memiliki konsekuensi tersendiri. Orangtua bisa memberikan masukan, tetapi tidak memaksakan pilihan kepada anak-anak mereka.
Usia berapa seseorang sebaiknya menikah? Dalam buku ini,
penulis menyarankan agar calon suami istri menikah pada usia yang tidak terlalu
muda dan tidak terlalu tua (halaman 19). Hal ini dengan mempertimbangkan faktor
kematangan biologis dan psikologis (termasuk faktor emosional). Penulis juga
mengingatkan bahwa kematangan biologis seseorang tidak berbanding lurus dengan
kedewasaan emosional (halaman 20).
Ada baiknya jika pernikahan dilakukan dalam usia produktif.
Pertimbangannya adalah menikah di usia produktif membuat pasangan dapat
menyiapkan masa depan dengan lebih baik. Selain itu, anak-anak yang dilahirkan
dari pasangan yang menikah di usia dewasa muda, kesenjangan generasi dapat
diminimalisir (halaman 23).
Dengan bahasa yang ringan, buku ini memberikan panduan yang
cukup lengkap bagi para orangtua, terutama yang sudah waktunya menikahkan putra
putri mereka.
Penulis memberikan bahasan yang memadai mengenai berbagai persiapan
untuk menikah. Dari persiapan kesehatan lahir dan batin, berkas-berkas
administrasi, perjanjian pranikah, pendanaan, hingga pemilihan tempat
perhelatan yang sesuai.
The marriage is more important than the wedding. Pesta penikahan memang hanya sehari, tetapi menjalani
pernikahan itu dilakukan seumur hidup. Setelah pesta pernikahan usai, pasangan
baru harus memilih akan tinggal di mana. Apakah tinggal bersama keluarga
(orangtua/mertua dan keluarga besar) atau tinggal di rumah sendiri, baik
membeli maupun mengontrak. Jika tinggal bersama keluarga besar, ada hal-hal
yang harus diperhatikan, misalnya pengaturan privacy, pengasuhan anak,
dan tanggung jawab urusan rumah secara keseluruhan (halaman 115-116).
Tips Berumah Tangga
Hani Widiatmoko yang telah menjalani pernikahannya selama hampir 30 tahun ini juga memberikan tip-tip untuk menjalani pernikahan dengan sukacita dan menyikapi konflik dengan bijak.Pernikahan tidak akan benar-benar
terbebas dari masalah. Salah satu masalah yang mugkin timbul adalah konflik
dengan pasangan, mertua, atau saudara ipar.
Banyak contoh nyata di sekitar kita
bagaimana sebuah pernikahan kandas karena masalah ini. Di buku ini, pembaca
dapat menemukan tip agar dapat menghadapi konflik-konflik tersebut dengan
bijak.
Meskipun berjudul Ketika
Anakku Siap Menikah, buku ini juga pantas dibaca oleh calon pasangan yang baru
akan menikah agar dapat mempersiapkan diri sebaik mungkin untuk memasuki
gerbang kehidupan berumah tangga.
Judul : Ketika Anakku Siap Menikah
Judul : Ketika Anakku Siap Menikah
Penulis : Hani
Widiatmoko
Penerbit : Quanta
Terbit : Maret 2014
Tebal : xviii + 214 halaman
ISBN : 978-602-02-3611-7
Salam,
Triani Retno A
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.