Apa semua tahu tentang Ikapi?
Saya sudah lama tahu tentang Ikapi, tapi saya tidak yakin semua orang
tahu tentang Ikapi. Jangan-jangan Ikapi malah dianggap sebagai peserta
Indonesian Idol yang tereliminasi di babak audisi.
Meski sudah lama tahu tentang Ikapi―bahkan sekarang bekerja
di bidang yang berada dalam naungan Ikapi―terus terang saya
tidak tahu banyak tentang kiprah Ikapi.
Entah saya yang kudet alias kurang apdet, atau memang Ikapi yang tak
terdengar suaranya. Yang paling terdengar adalah rutinnya Ikapi mengadakan pameran buku di berbagai daerah di Indonesia
(walaupun belum merata di seluruh daerah).
Penulis Buku dan Ikapi
Sebagai satu-satunya organisasi yang menghimpun penerbit-penerbit di
seluruh Indonesia (pada tahun 2013 tercatat ada 1.126 penerbit yang menjadi
anggota Ikapi), semestinya Ikapi dapat berbuat lebih banyak. Tidak hanya merangkul
penerbit tetapi juga para penulis buku.
Bukan rahasia lagi, kebanyakan penulis bukanlah pegawai penerbit. Bahkan
tidak sedikit yang juga bukan pegawai kantor
apa pun.
Dengan kata lain, banyak penulis lepas yang menjadikan menulis sebagai
mata pencaharian utama. Penghasilannya hanya dari royalti sebesar 5%-10% (itu
pun masih dipotong pajak penghasilan sebesar 15%). Bisakah hidup dari menulis?
Para penulis lepas ini bisa
saja mendapat penghasilan tambahan dari menjadi trainer, pembicara, lomba
menulis, dan sebagainya. Namun, seperti lazimnya pekerja tanpa kantor, penulis
lepas tak mendapat fasilitas apa-apa. Jika ingin memiliki asuransi kesehatan
dan dana pensiun, harus membuat sendiri. Tidak ada bantuan dari penerbit.
Masalah ini masih bisa diatasi karena ada lembaga-lembaga keuangan yang
memungkinkan perorangan membuat dana pensiun dan asuransi sendiri.
Masalah yang
cukup sulit adalah ketika ingin membeli rumah. Banyak penulis lepas yang kesulitan
mengajukan KPR ke bank karena tak punya kantor.
Padahal, tanpa penulis apakah akan ada sebuah buku? Lebih spesifik lagi,
tanpa penulis yang tercukupi pangan-sandang-papan, apakah akan ada buku
yang berkualitas?
Bisa dibayangkan, bagaimana penulis bisa menghasilkan karya berkualitas
tinggi jika ia harus mengebut menulis sambil menahan lapar (bukan karena berpuasa)?
Harapan pada Ikapi
Saya sangat berharap kebijakan dan program-program Ikapi dapat lebih menyentuh kesejahteraan penulis.Misalnya, memperjuangkan pengurangan Pph atas royalti yang sebesar 15% itu (kalau bisa sih bebas pajak) atau menetapkan jumlah rupiah minimal
dalam setiap pembayaran royalti yang dikenai pajak. Sebutlah hanya royalti sebesar
Rp25 juta per judul buku dalam satu periode royalti yang dikenai pajak 15%.
Jadi,
tidak akan ada lagi cerita penulis yang elus dada karena royaltinya yang hanya
Rp100.000 per periode royalti yang sekali dalam enam bulan, masih dipotong pajak
15%.
Memang, jika penulis mau repot, bisa mengurus lebih bayar pajak. Tapi, mendengar prosedurnya saja sudah pusing. Kenapa tidak dipermudah saja?
Memang, jika penulis mau repot, bisa mengurus lebih bayar pajak. Tapi, mendengar prosedurnya saja sudah pusing. Kenapa tidak dipermudah saja?
Saya juga berharap Ikapi lebih aktif bergerak dalam menumbuhkan minat baca
masyarakat. Menumbuhkan minat baca tidak cukup hanya mengedrop buku-buku bacaan
ke perpustakaan sekolah.
Semakin tidak cukup jika buku-buku yang
didrop itu tidak sesuai dengan usia anak didik di sekolah yang dituju dan kemasan
buku-bukunya tidak menarik.
Selesaikah dengan mengedrop buku ke perpustakaan sekolah? Urusan drop-dropannya
mungkin memang sudah selesai, tapi belum tentu dengan urusan minat baca dan membangun budaya baca..
Bagaimana buku-buku itu bisa sampai ke tangan anak-anak yang menjadi sasaran
jika buku-buku itu hanya ditumpuk dan disimpan di ruang kepala sekolah?
Andai Saya Pengurus Ikapi
Kalau saya jadi pengurus Ikapi? Hm… saya ingin Ikapi melakukan ini:- Mengusahakan pengurangan (atau
bahkan penghapusan) Pph royalti penulis dan Ppn buku.
- Mengoordinasi dan menjadi “payung”
bagi para penulis (terutama penulis lepas tanpa kantor) agar mereka
mendapat kemudahan ketika mengurus KPR ke bank.
- Menumbuhkan minat baca dengan
cara meningkatkan kualitas buku yang didrop ke sekolah-sekolah, memperhatikan
kesesuaian isi buku dengan usia siswa yang menjadi target, mengadakan
pelatihan pada para kepala sekolah dan guru, dan mengadakan program writers
go to school untuk lebih membangun unsur kedekatan.
- Mengadakan pameran buku dan kegiatan lain (workshop, talkshow, lomba, dsb tentang membaca dan menulis) di daerah-daerah, tak hanya terpusat di kota-kota besar di Pulau Jawa. “Minat baca di sana rendah” justru menjadi alasan kuat untuk mengadakan acara tersebut di sana.
Salam,
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.