Dunia Perbukuan Indonesia: Sebuah Catatan Kecil


Perbukuan Indonesia

Kalau masuk ke toko buku dan disuguhi pemandangan seperti di atas ini, gimana rasanya? Saya sih terus terang agak kalap.

Ya ampuuun... itu buku baru kok banyak banget, yaaa.... bagus-bagus semua, pula. Pengen rasanya membawa pulang semua judul buku itu dan membacanya di rumah.

Sedari kecil saya suka membaca. Belum beneran bisa membaca aja udah sotoy bisa membaca. 

Ketika sudah beneran bisa, menggilalah saya. Dari majalah anak-anak, remaja, sampai majalah ibu-ibu saya baca. 


Buku? Saya suka sekali membaca buku-buku karya Enid Blyton, terutama serial Lima Sekawan, Sapta Siaga, Pasukan Mau Tahu, Mallory Towers, St. Claire, dan Elizabeth

Saya juga membaca komik-komik wayang dan puluhan jilid novel Nogososro dan Sabuk Inten serta Api di Bukit Menoreh milik bapak.


Pertimbangan Membeli Buku

Dengan kesukaan seperti itu sejak kecil, nggak heran kan kalau saya agak-agak kalap di toko buku? 

Sayangnya, keterbatasan dana bikin saya nggak mungkin memborong semua buku itu. Mau nggak mau saya harus memakai pertimbangan tertentu.

1. Kebutuhan

Bisa jadi karena buku itu untuk referensi saya menulis atau saya sedang ingin ikut lomba meresensi buku.

2. Kebaruan

Buku baru selalu menggoda untuk dibeli. Kalau novel, biasanya saya beli karena saya memang suka isinya. Kalau buku nonfiksi, biasanya karena suka (ya iyalah) atau bermaksud menulis resensinya kemudian mengirimkannya ke media massa.

3. Keinginan

Nah, kalau bicara keinginan, nggak selalu buku baru sih. Kadang-kadang pas jalan-jalan ke toko buku, saya suka mendadak pengen membeli sebuah buku.

Nggak selalu yang baru terbit atau yang di rak best seller. Buku  yang nggak sampai ke rak best seller bukan berarti nggak bagus, lho. 

Banyak faktor yang menyebabkan sebuah buku nggak sampai ke sana, bukan semata-mata isinya.

4. Harga

Meski saya usahakan setiap bulan membeli beberapa buku baru, jujur saja, harga juga menjadi bahan pertimbangan. 

Yang saya hindari adalah menunggu sebuah buku baru jatuh ke harga diskon besar atau harga obral. 

Sederhana saja, saya tahu susahnya menulis dan persentase royalti dari sebuah buku. 

Saya tahu sedihnya ketika melihat buku yang ditulis dengan susah payah akhirnya terdampar di rak buku obral. 

Jika harga buku (atau  buku-buku) yang saya incar itu lumayan menguras isi dompet, masih ada cara lain kok untuk mendapatkannya. Toko buku diskon sepanjang tahun. Di toko buku seperti ini, buku yang baru terbit pun didiskon antara 10%-25%.

Kalau ada pameran buku, itu juga kesempatan membeli buku dengan harga diskon. Bisa nih intip Tips Berburu Harta Karun di Pameran Buku.

Bagaimana dengan faktor penulis, penerbit, atau kaver buku?

Penting juga, dong. Tapi semuanya kembali pada empat faktor yang menjadi pertimbangan saya. Saya tidak fanatik pada buku-buku terbitan sebuah penerbit. 

Sebaliknya, saya juga tidak langsung memvonis semua buku dari sebuah penerbit itu jelek jika kebetulan sekali waktu membaca buku yang teryata isinya mengecewakan. Namun, untuk buku-buku terjemahan saya lebih memilih penerbit tertentu yang kualitasnya sudah jelas.


Rak buku
Rak buku di ruang kerja saya. Kucing saya suka sekali duduk di meja kerja saya.
Mungkin dia ingin menjadi seperti Dewey, si Kucing Perpustakaan :)
 

Masalah di Dunia Perbukuan

Meski terlihat mulai marak, dunia penerbitan buku di Indonesia tidak terlepas dari masalah. Menurut saya, masalah itu ada di banyak sektor terkait dengan penerbitan buku ini. 

Setidaknya masalah-masalah tersebut adalah sebagai berikut (nomor bukan menunjukkan peringkat masalah).

1. Penulis

Masalah yang ramai jadi bahan obrolan di kalangan penulis adalah royalti yang dipotong pajak sebesar 15%.

Yang bikin nyesek adalah jika royalti kecil (katakanlah Rp100.000) pun masih dipotong pajak. Padahal, periode pembayaran royalti hanya sekali dalam 4 atau 6 bulan. 

Dan bukan rahasia, makin lama dari waktu pertama terbitnya, nominal royalti yang diperoleh umumnya semakin kecil.

Masalah lain ada pada penulis itu sendiri. Belakangan ini, status sebagai penulis agaknya terlihat sebagai status yang seksi. 

Alhasil, semakin banyaklah yang menjajal bidang ini. Di satu sisi, saya senang karena bidang yang saya tekuni ini semakin diminati. 

Di sisi lain, prihatin jika melihat buku-buku yang hanya copy paste tulisan yang ada di internet. Kalau tidak kopas mentah-mentah ya meringkas dari tulisan di internet dan tanpa menyebutkan sumber aslinya.


Belum lagi beberapa waktu lalu ramai kasus tentang sebuah buku yang beberapa bagiannya persis plek dengan buku karya penulis lain. 

Ketika dikonfirmasi, penulis buku mirip itu mengatakan "hanya kebetulan". Namun, bisakah kebetulan sampai ke karakterisasi tokoh, seting, dialog, dan konflik?

Intinya, masalah yang terkait dengan penulis ini ada dua macam. Eksternal (pajak royalti) dan internal (kualitas dan etika si penulis itu sendiri).


2. Penerbit

Termasuk di sini adalah editor, proofreader, layouter, ilustrator, sampai ke marketing. Lewat tangan merekalah sebuah buku menjadi enak dibaca.

Beberapa penerbit terkenal dengan editannya yang rapi, kavernya yang elegan, atau ilustrasinya yang keren. Namun, ada juga yang editannya asal-asalan (bahkan terkesan tak diedit). 

Sebagai penulis, saya punya beberapa editor favorit karena kinerja mereka yang oke dan kerja samanya pun asyik.

Bagaimana dengan tenaga marketing? Mungkin susah bagi orang-orang marketing untuk tahu persis A-Z buku yang menjadi tanggung jawabnya. 

Namun, alangkah bagusnya jika orang-orang marketing ini juga hobi membaca. Setidaknya tahu deh buku yang mereka pasarkan itu tentang apa. 

Jadi, nggak ada lagi orang marketing yang mengatakan "Wah, saya nggak tau isinya tentang apa. Yang saya tau, ini bukunya laku banget."


3. Distributor

Kabarnya, persentase yang diminta oleh distributor buku cukup besar, antara 40%-50% dari harga buku. 

Ujung-ujungnya, konsumen juga yang harus menanggung biaya cukup besar untuk membeli buku.


4. Toko Buku

Sebagai konsumen, harga mahal di toko buku bisa disiasati dengan membuat kartu anggota (bisa dapat diskon 10% atau poin yang bisa ditukar dengan voucher buku setelah mencapai jumlah tertentu) atau membeli di toko buku diskon sepanjang tahun. 

Bagi saya pribadi, masalah yang sering saya temui di toko buku adalah:
  • Letak buku yang tidak sesuai dengan isi dan atau segmen pembacanya. Kebetulan beberapa buku saya pernah mengalami nasib seperti ini.

    Novel teenlit saya Smile diletakkan di rak psikologi. Karyawan toko ngotot buku itu adalah buku psikologi tentang senyum. Oh, come on. Di bagian belakang buku itu, di atas barcode jelas tertulis itu novel.

  • SDM. Kualitas SDM ini salah satunya berpengaruh pada poin pertama tadi. Alangkah bagusnya jika karyawan toko buku adalah orang yang gemar membaca. Minimal mau membaca blurb di bagian belakang kaver buku sebelum memutuskan di mana akan meletakkan sebuah buku.

    Karyawan toko buku yang gemar membaca juga akan sangat membantu konsumen yang sedang mencari buku tertentu.

  • Komputer. Kadang-kadang, data di komputer yang ada di toko buku tidak akurat, tidak sesuai dengan ketersediaan buku di toko tersebut.

5. Ikapi sebagai organisasi penaung

Seperti yang saya tulis dalam Berharap pada Ikapi, saya berharap Ikapi bisa lebih aktif memperjuangkan kesejahteraan penulis dan menumbuhkan minat baca masyarakat.


6. Pemerintah

Pajak yang dibebankan pada sebuah buku rasanya terlalu memberatkan dan itu berpengaruh pada harga jual buku ke konsumen.


Karena Cinta

Catatan kecil tentang dunia perbukuan Indonesia yang terkesan bawel ini saya tulis karena kecintaan saya pada dunia literasi

Justru karena cinta makanya saya ingin yang saya cintai menjadi semakin baik. Semoga ke depannya dunia perbukuan Indonesia menjadi semakin hidup dan berkualitas.

Salam,

4 komentar

  1. komplit pembahasan teteh mah, :D setuju teh, semoga penulis Indonesia semakin sejahtera ^_^

    BalasHapus
  2. Serasa dikasih kesempatan buat curhat soalnya, Zee :D

    Aamiiin.

    BalasHapus
  3. Pakai discount card aja Mbak. Suka ada toko buku yang kasih. Misal kaya saya, kartu mahasiswa :))

    BalasHapus
  4. Iya, kartu dikson memang sangat menguntungkan :) Kalo di Bandung ada beberapa toko buku yang ngasih diskon sepanjang tahun (tanpa kartu) dan pada jam2 tertentu diskonnya malah didobel. :)

    Makasih udah main ke sini yaaa :)

    BalasHapus

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.