“Bagus nih rumahnya.” Aku meneliti spesifikasi rumah yang ditawarkan di sebuah web itu, sekaligus mencermati foto-foto yang disertakan di sana. “Empat kamar tidur…..”
“Kalau gitu, rumah ini dijual
aja. Kita pindah ke sana. Masih ada selisih tiga ratus juta,” komentar ibuku.
“Eh, jangan. Kita bukan mau pindah
ke sana. Repot ngurus pindah sekolah anak-anak. Lagian mereka udah betah
sekolah di sini,” sanggahku.
“Jadi, untuk apa beli rumah
di sana?”
“Untuk dijadiin kos-kosan
mahasiswa,” sahutku sambil membayangkan rumah kos impian sebagai investasi.
Masih tentang investasi, kutulis juga di sini:
Masih tentang investasi, kutulis juga di sini:
Dialog seperti itu bukan baru
satu kali terjadi di rumah. Agak-agak
nggak kompak, sih. Ibuku ingin menjual rumah yang kami tempati sekarang, lalu
membeli rumah lain yang lebih murah. Nggak apa-apa agak terpencil juga.
Inginnya beli dua rumah yang deketan atau malah kopel. Satu milik ibuku, satu milikku (yang kubeli—walaupun nyicil—pakai uang sendiri).
Inginnya beli dua rumah yang deketan atau malah kopel. Satu milik ibuku, satu milikku (yang kubeli—walaupun nyicil—pakai uang sendiri).
Rumah Untuk Investasi
Aku inginnya beli rumah
bukan buat untuk kami tempati, tapi untuk dijadikan rumah kos.
Yup, aku memang bermimpi punya rumah kos-kosan untuk mahasiswa. Jumlah kamarnya tak perlu banyak-banyak. Lima sampai sepuluh kamar saja.
Mimpi itu begitu subur dalam benakku. Mimpi itu nggak berubah walaupun pada awalnya berbeda dengan keinginan ibuku. Tapi setelah kujelaskan kondisi riilnya, ibuku paham.
Pertimbanganku sederhana. Aku bukan pekerja kantoran (apalagi PNS) yang dapat gaji tetap tiap bulan dan kelak dapat pensiun. Aku pekerja seni (tepatnya seni menulis) tanpa kantor. Freelancer, istilah kerennya.
Berbagi pengalaman tentang pengelolaan keuangan ala freelancer:
Otomatis penghasilanku tak tetap, sedangkan pengeluaran tetap. Dari pengeluaran untuk biaya makan dan sekolah anak-anak, sampai tabungan pendidikan dan dana pensiun.
Yup, aku memang bermimpi punya rumah kos-kosan untuk mahasiswa. Jumlah kamarnya tak perlu banyak-banyak. Lima sampai sepuluh kamar saja.
Mimpi itu begitu subur dalam benakku. Mimpi itu nggak berubah walaupun pada awalnya berbeda dengan keinginan ibuku. Tapi setelah kujelaskan kondisi riilnya, ibuku paham.
Pertimbanganku sederhana. Aku bukan pekerja kantoran (apalagi PNS) yang dapat gaji tetap tiap bulan dan kelak dapat pensiun. Aku pekerja seni (tepatnya seni menulis) tanpa kantor. Freelancer, istilah kerennya.
Berbagi pengalaman tentang pengelolaan keuangan ala freelancer:
Otomatis penghasilanku tak tetap, sedangkan pengeluaran tetap. Dari pengeluaran untuk biaya makan dan sekolah anak-anak, sampai tabungan pendidikan dan dana pensiun.
Yang terlintas di benakku
adalah mencari sumber penghasilan lain. Investasi rumah kos adalah yang paling menarik minatku.
Setiap tahun selalu ada ribuan mahasiswa baru di Bandung,
banyak pula yang datang dari luar kota. Mereka pasti butuh tempat tinggal
selama kuliah di Bandung.
Pertimbangan lain adalah
tentang urusan pembayaran. Beli tunai? Oh, ingin sekali. Sekarang memang
terlihat tidak mungkin (saldo rekeningku saat ini masih jauuuuh dari harga
rumah yang kuincar).
Tapi, aku masih tetap bermimpi bisa membeli rumah secara
tunai. Uangnya dari mana? Hehe… mari berusaha dan berdoa.
Alternatif selain membeli
tunai, tentu saja dengan mencicil. Nah, di sini juga ada masalah.
Dengan penghasilan yang tidak tetap dan pengeluaran tetap, rasanya berat sekali jika harus mencicil Rp3 juta per bulan ke bank.
Dengan penghasilan yang tidak tetap dan pengeluaran tetap, rasanya berat sekali jika harus mencicil Rp3 juta per bulan ke bank.
Belum lagi teman-teman sesama penulis (dan seniman pada umumnya) sering cerita tentang susahnya mengajukan KPR--dan kebanyakan ditolak.
Mengencangkan ikat pinggang? Ah, itu slogan para pejabat dan birokrat yang
sudah lupa bagaimana rasanya menjadi rakyat berekonomi pas-pasan.
Membayar cicilan sebesar jutaan
rupiah per bulan itu akan jadi lebih mudah jika rumah itu dimanfaatkan sebagai tempat
usaha, dalam hal ini rumah kos.
Uang yang dibayarkan oleh penyewa kamar kos bisa digunakan untuk membayar cicilan rumah ke bank. Kalaupun kurang, pastilah jumlahnya tidak semenyeramkan jika harus mencicil rumah tinggal biasa.
Uang yang dibayarkan oleh penyewa kamar kos bisa digunakan untuk membayar cicilan rumah ke bank. Kalaupun kurang, pastilah jumlahnya tidak semenyeramkan jika harus mencicil rumah tinggal biasa.
Mimpi aja kok pake
alternatif, sih? Mimpi ya mimpi aja, kali. Mumpung bermimpi itu gratis dan
nggak dikenai pajak.
Hehe… mimpi memang gratis dan
nggak perlu bayar pajak. Tapi untuk mewujudkan sebuah mimpi menjadi kenyataan,
butuh perencanaan juga, dong. Butuh langkah-langkah untuk menuju ke sana.
Lain
cerita kalau aku mimpi bisa berjalan di udara atau bisa berteleportasi ke mana
pun hanya dengan mengedipkan mata. Mimpi seperti itu sih nggak usah pakai mikir.
Mimpi ya mimpi aja.
Tetap Semangat
Kadang-kadang semangat turun
juga, sih, apalagi kalau terlintas pikiran bernada negatif. Di usia segini baru
bermimpi punya usaha rumah kos? Kenapa nggak mimpi dari dulu-dulu? Memangnya masih
bakal bisa tercapai, gitu?
Belum lagi kalau bertemu orang-orang yang tidak
mendukung dan malah melemahkan mimpi-mimpi itu.
Hush! Hush! Sana pergi! Pikiran
seperti itu harus cepat-cepat diusir. Kalau kelamaan mengendap di pikiran, bisa
bahaya.
Tulisan lain seputar keuangan:
Tulisan lain seputar keuangan:
- Tabungan Emas Pegadaian, Investasi Murah Melawan Inflasi
- #AyoHijrah Bersama Bank Muamalat, Hidup Tenang dan Berkah
Bermimpi tak seperti melamar pekerjaan yang sering dibatasi oleh
usia. Begitu juga dengan mewujudkan
mimpi dan meraih sukses.
Contoh paling terkenal adalah Kolonel Sanders yang mendirikan
Kentucky Fried Chicken (KFC) pada usia 66 tahun. Sebelumnya, ia melakoni banyak
pekerjaan, dari petugas pemadam kebakaran sampai operator bengkel.
Kolonel Sanders, memulai bisnis di usia senja. |
Jadi, kenapa aku harus takut
bermimpi? Berusaha dan berdoa. Alam semesta akan mendukung. Tuhan akan
memberikan jalan.
Semoga tercapai mimpi2 itu...amien
BalasHapusAaamiiin, Makasih doanya, Yuni.
BalasHapusMakasih juga udah berkunjung ke sini :)