Siang di tahun 1998 itu saya dan orangtua sedang menonton berita di salah satu stasiun TV swasta.
Kota tempat tinggal kami, Bandung, memang relatif aman. Namun,
kami tidak ingin ketinggalan berita tentang apa yang terjadi di Jakarta.
Bukan
hanya karena menyangkut nasib bangsa dan negara Indonesia secara keseluruhan
tapi juga karena beberapa kerabat kami menetap di Jakarta.
Berita-berita
di TV terlihat menyeramkan. Kebakaran di mana-mana. Penjarahan di mana-mana.
Demonstrasi di mana-mana. Semua menuntut ini dan itu. Semua ingin tuntutannya
segera dipenuhi.
“Ini
maunya apa? Semua maunya cepat, nggak mau ikuti prosesnya. Sak dheg sak nyet!”
kata bapak saya.
Berproses
Siang di bulan Mei tahun 1998 itu saya mendengar
Bapk menyebut istilah sak dheg sak nyet.
Bapak
orang Jawa asli, tepatnya dari Solo, sedangkan Ibu dari Gombong. Sama-sama
masih Jawa Tengah tapi kalau soal ngomong Jawa alus, Bapak lebih jago.
Tentang tempat wisata di Gombong saya tuliskan di sini:
Nggak
heran sih, Solo emang dikenal dengan bahasa Jawanya yang alus, ya. Sepertinya
saya aja yang mahiwal (nah, ini bahasa Sunda, maksudnya “beda sendiri”) dengan
nggak jago berbahasa Jawa.
Bapak
suka sekali mengucapkan istilah-istilah berbahasa Jawa. Salah satunya adalah
sak deg sak nyet itu.
Sak
dheg sak nyet ini maksudnya adalah ketika punya keinginan, maunya saat itu juga
dilaksanakan atau didapatkan. Nggak mau nunggu. Nggak mau berproses.
Entah
kenapa, dibandingkan istilah-istilah lain yang pernah diucapkan oleh Bapak,
istilah yang satu ini sangat membekas di benak saya.
Mungkin
karena dalam keseharian banyak sekali peristiwa yang pantas dikomentari seperti
itu.
Sekitar
dua tahun lalu saya terlibat dalam proses seleksi naskah untuk proyek amal.
Meskipun amal, kerja tetap profesional dong.
Singkat
cerita, terpilihlah naskah-naskah yang akan dibukukan. Bukan untuk diterbitkan
indie tapi akan ditawarkan pada penerbit mayor. Royaltinya diserahkan pada
lembaga yang sudah disepakati sejak awal.
Baru
dua jam setelah pengumuman naskah yang lolos, sebuah pesan masuk ke inbox saya.
Mawar
(sebut saja begitu): “Inbox kaver bukunya ke saya, dong.”
Saya:
“Belum ada, Mbak.”
Mawar:
“Kok belum ada? Ini bener mau diterbitkan jadi buku, kan? Jangan-jangan PHP,
nih.”
Oalaaah…
sak deg sak nyet! Saya mengumpulkan kesabaran lebih dulu sebelum membalas pesan
itu, menjelaskan bahwa proses terbit sebuah buku tidak secepat itu. Bikin
pisang goreng aja butuh proses, apalagi menerbitkan buku.
Seputar proses mengirim naskah hingga buku terbit sudah saya tuliskan di sini:
Cleo
(sebut saja demikian): “Mas Juna, gimana naskah saya? Kira-kira dimuat kapan,
ya?”
Arjuna:
“Naskah yang mana?”
Cleo
menyebut judul naskahnya.
Arjuna:
“Kamu kirimnya kapan?”
Cleo:
“Tadi pagi, Mas, lewat email.”
Arjuna:
“Kalau baru kirim tadi pagi, mungkin baru sampai ke saya setahun lagi karena
harus antre."
Cleo:
“Setahun? Jangan-jangan ini media abal-abal ya. Masa baca naskah delapan
halaman aja sampai setahun. Udah. Saya batalin aja. Naskahnya saya tarik lagi.”
Butuh Kesabaran
Menghadapi
orang-orang yang memiliki kemauan sak deg sak nyet ini butuh kesabaran dan
kepala dingin. Sikap seperti itu bisa jadi muncul karena tidak mengerti akan
proses yang seharusnya ditempuh.
Misalnya,
supaya sebuah naskah bisa terbit menjadi buku harus melewati proses seleksi,
editing, revisi, proofreading, layout,
membuat kaver, baru naik cetak.
Total
waktu yang dibutuhkan bisa berbulan-bulan, bahkan hitungan tahun (kecuali kalau
mau menerbitkan sendiri dengan biaya dari kocek sendiri, ya). Menerbitkan naskah sendiri? Penulis Pemula Mendingan Self Publishing.
Misalnya
lagi, menuntut kenaikan gaji sekarang juga. Siapa sih yang tidak mau kalau gaji
naik 100%? Saya juga mau.
Tapi,
menaikkan gaji kan tidak semudah menarik kaus kaki yang melorot. Ada
faktor-faktor yang harus dipertimbangkan seperti kinerja, pendidikan,
pengalaman kerja, dan kemampuan perusahaan.
Bagaimana
kalau bulan ini semua gaji naik 100% tapi dua bulan kemudian perusahaan malah
kolaps dan mati? Lebih repot, kan?
Sifat
yang sak deg sak nyet ini nggak selamanya jelek, kok. Positifnya, tidak suka
menunda-nunda pekerjaan. Apa yang terpikirkan, langsung dilakukan saat itu
juga. Tapi bisa jadi hasil yang diperoleh kurang maksimal karena tanpa
perencanaan dan persiapan yang matang.
Yang
harus diperhatikan adalah kalau sudah berhubungan dengan orang lain. Nggak bisa
selalu sak deg sak nyet. Kita perlu memahami bahwa segala sesuatu itu
berproses.
Allah
saja menciptakan bumi ini dalam beberapa tahap. Kenapa kita yang bukan apa-apa
ini tak mau menjalani proses yang seharusnya kita tempuh?
Selain
itu, kita juga perlu bersabar. Bersabar bukan berarti pasrah tanpa usaha lho,
ya. Tetap berusaha tetapi tidak dengan memaksakan kehendak sendiri.
Yang
paling keren sih, membiasakan diri untuk tidak menunda pekerjaan tanpa
memaksakan kehendak pada orang lain. Bisa nggak, ya? :)
Salam,
Triani
Retno A
Hehe...iya, Pakde. Kalo sampe gede masih suka "nek njaluk opo-opo mesti sak dek sak nyet", mungkin masa kecil kurang bahagia ya? :))
BalasHapusMaturnuwun kunjungannya, Pakde :)
Anakku yo nek njaluk opo2 sakdetsaknyet... aduh biyung...
BalasHapusHaha... samaaa. Anak2 emang gitu kali ya, Mas?
BalasHapusMaturnuwun kunjungannya, Mas *sodorin segelas bajigur* :)
sak dek sak nyet, saya kira pribahasa daerah manaa gitu, gak taunya bahasa jawa toh... hehehe....
BalasHapusIya, Mbak Santi :) Kayak dari daerah manaaa gitu ya? :)
BalasHapusMakasih udah berkunjung, Mbak :)
wah, emang bener2 harus bersabar menghadapi orang 'sak dek sak nyet' itu...
BalasHapusmaunya instan, mo jadi artis instan, mo jadi pegawe instan, yg sak dek sak nyet gitu tuh yg bakal gak tahan lama ... :)
BalasHapus@Zaitun: Bener, Mbak... walaupun kadang2 bisa jadi kita sendiri tanpa sadar juga sak deg sak nyet :D
BalasHapusMakasih kunjungannya, Mbak :)
@Eksak: Iya, Mas. Easy come easy go :)
BalasHapusBanyak ya artis instan ya udah nggak kedengeran lagi. Beda sama (misalnya) Nani Wijaya. Masih eksis aja sampai sekarang (y)