PPDB SMP Bandung
"Ibu-ibu, anak-anak kita sudah berjuang dalam UN. Sekarang giliran kita, orangtua mereka, yang berjuang untuk mendaftarkan mereka ke SMP."
Begitu kata teman saya, sesama wali murid. Saya manggut-manggut saja ketika beliau berkata seperti itu dengan penuh semangat.
Jauh-jauh hari saya sudah browsing, mencari tahu passing grade (PG) tahun untuk bekal berburu SMP negeri di Bandung tahun ini.
Berhubung ketika itu web PPDB Kota Bandung tidak bisa dibuka, saya cari sumber lain. Untunglah ada blogger yang mendokumentasikan PG 2013 itu. Saya unduh, deh, buat pegangan. Saya juga mencari tahu tentang sistem kluster. SMP mana aja yang masuk kluster 1, 2, dan 3.
"PG tahun lalu nih, Kak. Kalo Kakak mau masuk SMP17 atau 8, nilai UN Kakak mesti di atas ini. Amannya sih 28,00 deh," kata saya.
Tahun 2013, PG di SMP 17 adalah 26,8 dan di SMP 8 sebesar 27,1. Bukan kebetulan, Kakak memang nggak minat masuk ke SMP 2 (PG 2013 = 27,2) atau SMP 5 (PG 2013 = 27,15) yang paling top di Bandung sejak zaman baheula.
Bukan apa-apa. Jarak dari rumah kami ke sana jauh, euy! Ntar bisa-bisa malah jadi tua di jalan :D
Seputar PPDB Bandung saya tulis juga di artikel Berburu SMA Negeri di Jawa Barat serta Sangsi dan Sanksi SKTM.
Sistem Rayon, Bukan Kluster
Awal Juni, guru kelas enam meminta anak-anak mengumpulkan fotokopi KK dan KTP ortu yang sudah dilegalisir oleh kecamatan.
Jadi, tanggal 4 Juni berangkatlah saya ke kantor Kecamatan Ujung Berung untuk melegalisir. Sepi.
Pegawai yang bertugas malah heran ketika saya mengatakan ingin melegalisir dua dokumen penting ini untuk kepentingan PPDB Bandung, alias mendaftarkan anak ke SMP. Nggak pakai lama menunggu, selesailah acara melegalisir itu.
Sekitar seminggu kemudian (duh, lupa pastinya), saya dapat info bahwa tahun 2014 ini untuk masuk ke SMP (dan SMA) bukan lagi pakai sistem kluster, melainkan rayon.
Well, browsing sana sini lagi, deh. Eh tapi secara pribadi saya lebih paham tentang sistem rayon. Mungkin karena duluuu saya juga pakai sistem rayon waktu mau masuk SMP (di Medan). Kalau sistem kluster, entahlah... saya kok gagal paham, ya :(
Mulai pertengahan Juni 2014, saya rajin buka web dan Twitter PPDB Kota Bandung demi sepotong informasi.
Oh, ternyata selain memakai sistem rayonisasi, tahun ini pakai sistem bonus nilai 10% dari nilai UN. Bonus ini didapat jika mendaftar di rayon sendiri (untuk pilihan pertama).
Rayon ini berdasarkan kecamatan yang ada di Bandung. Saat pengumuman kelulusan sekaligus pertemuan (tidak resmi) para wali murid dengan guru kelas 6, info ini juga yang disampaikan oleh bu guru.
Dengan nilai si Kakak yang 27,65, saya yakin dia bisa masuk ke SMP 8 atau 17.
Rumah saya dan SMP 8 berada di kecamatan yang sama, sedangkan SMP 17 berada di kecamatan tetangga. Tapi kalo diukur-ukur, jarak dari rumah ke dua SMP itu sama aja, sih.
Informasi PPDB Tidak Jelas
Beberapa hari kemudian informasi itu berubah lagi. Bonus nilai bukan +10% tapi +1,1. Daaan... KTP + KK bukan dilegalisir kecamatan melainkan kelurahan!
Waaa...! Mulai tegang deh di sini, karena masa PPDB Bandung akan dimulai beberapa hari lagi (tepatnya tanggal 30 Juni - 5 Juli 2014). Apalagi ketika seorang wali murid mengatakan dia sudah ke kelurahan untuk melegalisir tapi ditolak!
Pegawai kelurahan beralasan, legalisir adalah wewenang kecamatan. Kalau kelurahan melegalisir, maka mereka akan dikenai sanksi sekian miliar rupiah.
Jreng... jreng...! Mulai nggak kompak nih koordinasinya.
Selasa 24 Juni, bu guru mengirim SMS
pada seorang wali murid yang langsung menyebar pada semua wali murid: Akte
Kelahiran harus dilegalisir oleh Dinas Kependudukan (Disduk).
Eh? Dilegalisir? Haduuuh! Ya
sudahlah. Besoknya saya langsung ke Disduk di Jl. Ambon. Maksud saya, mumpung
belum masuk bulan Ramadhan.
Esok paginya, ketika saya udah
sampai di Jl. Riau, bu guru SMS lagi. "Nggak usah legalisir dulu, Bu.
Tunggu kepastiannya hari Kamis besok."
Halah, saya udah selompatan lagi
sampai di Disduk, nih. Setelah rembukan dengan si Kakak, akhirnya kami putar
haluan. Tujuan kami kali ini adalah SMK 9 Bandung di Jl. Soekarno Hatta aka By
Pass.
Keponakan saya yang di Depok pengen sekolah di sini, nih. Sebagai tante kece
yang akan menjadi walinya di Bandung, saya mesti nyari info, dong.
Ketika sedang terjebak macet di Kiara
Condong, seorang wali murid mengirim SMS, mengabarkan dia sedang OTW ke Disduk.
"Tetangga udah ke SMP 17, katanya perlu legalisir Akta Kelahiran."
Haduuuhhh!
Dari SMK 9 kami kembali ke Jl.
Ambon. Tiba di sana pukul 11. Ya Salaaam! Banyak banget yang mau melegalisir!
Setelah menyerahkan fotokopi + akte kelahiran asli, saya diminta menunggu.
"Jam dua, Bu." Itu jawaban
yang saya dapat ketika bertanya jam berapa selesai dilegalisir. "Sekarang
bisa jalan-jalan dulu. Ke King's panginten."
Eaaa... si Bapak. Pan King's
kemarin terbakar habis :( Saya mau ngapain ke sono? Foto-fotoan? Saya
nggak demen wisata bencana, Pak, apalagi selfi-selfian di sana.
Akhirnya, saya dan Kakak nyari
tempat buat istirahat. Gerobak sop buah yang tak jauh dari situ sukses membuat
kami tergoda. Eh, di sana ketemu temen yang juga sedang nunggu legalisir.
Tepat jam dua kami sudah kembali di
Disduk. Heu, lebih crowded dibandingkan jam 11 tadi. Parahnya,
pengeras suaranya juga beberapa kali mati, kresak-kresek, atau bergema banget.
Singkat cerita, urusan saya selesai
pas ketika azan Ashar berkumandang. Langsung pulang? Oooh... tidak,
Sodara-sodara! Hujan turun dengan sangat deras.
Jadi, marilah menunggu hujan
reda sambil berdoa, "Allahuma shayyiban nafi'a."
Hujan deras tepat ketika saya selesai melegalisir. |
Twitter PPDB
Jumat, 26 Juni 2014 saya buka
Twitter PPDB Kota Bandung. Akte Kelahiran tak perlu dilegalisir. Oh, great!
Keren, dong.
Setidaknya nanti-nanti saya nggak perlu repot ke Bogor untuk melegalisir akte
kelahiran si Adek (karena kemarin pegawai Disduk menolak melegalisir akte
kelahiran anak-anak yang lahir di luar Bandung. Artinya, harus langsung ke kota
kelahiran itu).
Masih hari Jumat, saya lihat ada
tweet tentang pembagian wilayah. Hei, apaan lagi, tuh?
Sabtu, 27 Juni 2014. Dari web dan
Twitter PPDB Kota Bandung, akhirnya saya tahu tentang pembagian wilayah itu.
Sekalian mengunduh Perwal tentang PPDB juga.
"Nggak bisa gituuu!"
teriak si Kakak waktu tahu tentang pembagian wilayah itu.
Pembagian wilayah ini menentukan
kelurahan mana aja yang dapat insentif kalau mendaftar ke sebuah SMP (dan SMA).
Kalau mendaftar ke SMP yang di luar wilayah insentif (walaupun satu rayon) ya nggak dapat bonus
nilai.
Besaran insentif itu pun berubah lagi. Bukan +1,1 melainkan +1,36.
Misalnya nilai UN 26,00. Kalau dapat insentif, nilainya jadi 27,36.
Bingung?
Gampangnya gini. Pendaftar ke SMP 8
Bandung akan mendapat insentif +1,36 jika KK ortunya di Kelurahan Cipadung
Kidul, Cipadung Wetan, Cisaranten Wetan, Cipadung Kulon, Cimencrang, Babakan
Penghulu, Sukamulya, Mekar Mulya, Pasanggrahan, Pasir Jati, Pasir Wangi,
Pakemitan, dan Cigending. Jika tinggal di selain kelurahan-kelurahan itu, boleh
saja mendaftar ke sana tapiii... nggak dapat +1,36.
Angka 1,36 itu sendiri kalau saya nggak salah, dihitung dari rata-rata nilai UN SD di Bandung. Dikali, dibagi, dipersentase, atau entah apa lagi, lalu keluarlah angka 1,36 itu.
Statistik nilai UN SD tahun 2014. |
Yang membuat si Kakak menjerit-jerit
sewot adalah kelurahan tempat kami berdomisili (sesuai KK) tidak mendapat
insentif untuk mendaftar ke dua SMP idamannya (termasuk ke SMP 8 yang satu kecamatan). Dapat insentifnya ke SMP lain.
Dan insentif 1,36 itu...! Astaga! Itu nggak kecil!
Info itu sukses membuat saya susah
tidur selama beberapa hari. Porsi online saya meningkat dan kerjaan saya mulai
keteteran.
Lalu pagi itu saya lihat Kang Emil sedang
kultwit di akun Twitternya. Saya simak baik-baik.
Kalau kemudian saya menerima
penjelasan Kang Emil, tentu bukan karena Pak Wali Kota ini adalah kakak kelas
saya di SMA.
Saya menerima karena melihat tujuan baiknya. Kalau memang tujuannya untuk memberantas korupsi dan tipu-tipu, untuk menjadikan
Bandung yang lebih baik, kenapa saya tidak mendukung?
Masih tentang PPDB, saya tulis juga Berjuang di PPDB Jabar Jalur Akademik.
Wait and See
Saya dan Kakak berembuk serius. Saya
tidak mau memaksa dia masuk ke SMP tertentu. Bagaimanapun, dia yang akan
bersekolah di sana (omong-omong, saya sudah menerapkan ini sejak dia akan masuk
TK).
Dengan peraturan terakhir (dan dinyatakan sudah final), si Kakak hanya
bisa “nekat” mendaftar ke salah satu SMP incarannya. SMP 8 atau SMP 17. Tidak
bisa dua-duanya.
Sampai hari-hari pertama PPDB, kami
belum berhasil memutuskan apa-apa. Kami memilih untuk memantau pergerakan PG
sementara secara online.
Tapi karena PG sementara ini baru keluar jika jumlah
pendaftar sudah melebihi kuota, selama dua hari kami tidak bisa berbuat
apa-apa.
Tanggal 3 Juli, saya dan Kakak ke
SD, menemui wali kelas. Di situ Kakak memutuskan untuk mendaftar ke SMP
17.
Saya sempat kaget juga. Nggak tau kalau Mas Anang eh, sahabatnya yang
juga menemui wali kelas pada kesempatan yang sama. Setahu saya, mereka janjian
mau masuk SMP 8. Sahabatnya itu tetap mendaftar ke SMP 8 karena dia mendapat insentif ke
sana (dan diterima).
Tanggal 4 Juli, PG sementara di SMP
17 sudah keluar. 26,51. Sementara itu, PG sementara SMP 8 masih belum muncul (berarti
pendaftar belum memenuhi kuota).
Meskipun mendaftar secara kolektif, saya dan
Kakak tetap datang ke SMP 17. Antisipasi sampai detik terakhir, deh.
Bukan
apa-apa. Berkas pendaftaran yang sudah masuk kan tidak bisa ditarik lagi. Jadi
kalau pada detik terakhir dapat info PG sementara di sana sudah tidak mungkin
ditembus, untuk apa tetap mendaftar di sana, kan? Lebih baik langsung banting setir ke SMP lain.
Singkat cerita, si Kakak diterima di
SMP 17, meski di peringkat sekian puluh dari bawah.
“It’s OK. Kakak masuk tanpa
insentif, sedangkan teman-teman Kakak pakai insentif. Yang penting sudah masuk.
Setelah masuk, Kakak buktikan kalau Kakak lebih baik daripada peringkat ini.”
Alhamdulillah, happy ending. Istirahat
dulu tiga tahun dari PPDB Bandung, sampai tiba waktunya mendaftarkan Kakak ke SMA. Insya Allah.
Salam,
Triani Retno A
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.