Udah tau kan ini acara seperti apa? Udah dong... kan udah baca cerita saya waktu Meet and sketching di Depok.
Nah, acara Meet and sketching with noomic's author kali ini di Bandung. Tepatnya di Toko Buku Gunung Agung, di lantai 2 Bandung Indah Plaza, Jl. Merdeka.
Nah, acara Meet and sketching with noomic's author kali ini di Bandung. Tepatnya di Toko Buku Gunung Agung, di lantai 2 Bandung Indah Plaza, Jl. Merdeka.
Sempat khawatir juga nih
ketika nyadar acara ini berbarengan dengan Pasar Seni ITB di sepanjang
Jl. Ganeca. Sama-sama hari Minggu tanggal 23 November. Khawatir sepi
pengunjung?
Bukaaan! Saya khawatir nggak sempat main ke Pasar Seni ITB yang digelar sekali dalam empat tahun itu. Hehehe....
Tapi ini tanggung jawab. Masa sih saya malah kabur dari acara meet and sketching ini dan malah jalan-jalan di Pasar Seni? Nggak mungkin, lah!
Tapi ini tanggung jawab. Masa sih saya malah kabur dari acara meet and sketching ini dan malah jalan-jalan di Pasar Seni? Nggak mungkin, lah!
Dalam perjalanan ke BIP,
bresss...! Hujan deras pun turun. Waaa... sempet deg-degan juga. Nggak
lucu dong kalau saya sampai di BIP dalam keadaan kucluk kehujanan.
Tapi agak tenang waktu ingat angkot yang saya tumpangi ini akan berputar di bawah fly over.
Pas banget! Jadi, turun dari angkot ini, saya bisa neduh dulu sambil nunggu angkot yang akan membawa saya ke BIP.
Acara kepenulisan saya yang lain beberapa di antaranya bisa dibaca di sini:
Noomic, Novel Komik
Tiba di lokasi, Teh Tethy
Ezokanzo sudah menunggu. Tim Penerbit Anak Kita pun sudah berada di
sana. Ada Mbak Nana, Mas Didit, dan tim promosi.
Sayangnya, tempat yang disediakan terlalu mojok di bagian ATK dan jauh dari rak-rak novel yang selalu rame.
Ya sudahlah. The show must go on. Kalau my heart will go on and on... itu aku padamu *setel soundtrack film kolosal Titanic*
Sambil menunggu acara dimulai, saya keliling-keliling toko buku dulu dan kaget ketika melihat kerudung merah menyala di mana-mana. Kok sama dengan saya? Apa mereka adalah fans berat saya?
Ealaaahh... ternyata sia-sia ke-GR-an saya. Kerudung merah mencrang itu adalah... seragam pegawai Gunung Agung (yang berjilbab, tentu saja. Yang tidak berjilbab, apalagi yang laki-laki, ya nggak pake #PentingYaNgebahasIni?)
Saat keliling-keliling itu, saya bertemu serombongan ABG yang maju mundur cantik di dekat lokasi meet and sketching.
Ayo, Neng Geulis... gabung aja. Acaranya seru. Kalau beli noomic-nya nanti Mas Didit bakal bikin sketsa wajah kerenmu, lho.
Acara dimulai dengan perkenalan tentang Penerbit Anak Kita dan lini noomic yang menjadi unggulannya.
Mas Didit asyik menggambar komik ketika acara berlangsung. (Foto: QS Emmus) |
Meski namanya noomic, tapi nggak selalu novel seperti Silat Boys-nya Teh Tethy. Kumcer juga bisa, seperti Cermin dan The Shy saya ini.
Yang istimewa nih, Penerbit Anak Kita mengangkat nuansa lokal. Cermin dan The Shy, misalnya. Setting lokasinya Bandung banget.
Di cerpen Promo (dalam Cermin), si tokoh utama yang pendatang di Bandung kesulitan mengucapkan banyak kata bahasa Sunda yang berbunyi "eu". Misalnya keukeuh, geulis, dan peuyeum.
Silakan ke sini untuk membaca Behind The Story Noomic Cermin dan The Shy.
Emh...supaya saya nggak ketakutan sendirian. Hahaha.... Nggak, ding. Saya kebetulan sering punya pengalaman seram-seram gitu.
Selain itu, ada anak-anak indigo yang menjadi tokoh dalam noomic saya ini. Saya ingin masyarakat dapat menerima mereka dan memahami dengan lebih baik.
Anak-anak itu nggak minta punya indra keenam yang peka. Mereka malah sering tertekan dengan keadaan itu.
Belum lagi mereka sering dikatain autis, ketempelan jin, gila, dukun, dan sebagainya. Padahal, beban mereka aja udah berat. Nggak enak lho melihat "mereka" ada di mana-mana.
Saya juga berharap anak-anak indigo yang membaca cerita-cerita saya ini dapat lebih menerima kondisi mereka dan menggunakan kemampuan mereka di jalan kebaikan.
Selesai acara ngobrol-ngobrol... nah... ini dia. Ada sesi booksigning, sketching, konsultasi naskah dengan Mbak Nana, dan foto-fotoan.
Tuuuh, seru banget, kan? Yang kemarin nggak sempat datang, harus dateng nih di acara berikutnya.
Cowok itu kemudian menunjukkan buku lama saya yang udah kucel, mungkin karena seringnya dibaca. Yuuup. Buku 25 Curhat Calon Penulis Beken (GPU, 2009).
Bahagia dan terharu. Lewat Twitter, Dodi mengirim foto ini dan menulis caption: "Ibu dan anak yang tak pernah bertemu itu akhirnya bertemu juga...."
Pahami Anak Indigo
Saya ditanya, kenapa nulis horor?
Sketsa yang dibuat Mas Didit ketika saya dan Teh Tethy sedang ngobrol tentang bacaan anak. |
Jadi, mending ditulis aja kan. Tentu aja udah disesuaikan dengan pembaca utama yang dituju, yaitu praremaja.
Selain itu, ada anak-anak indigo yang menjadi tokoh dalam noomic saya ini. Saya ingin masyarakat dapat menerima mereka dan memahami dengan lebih baik.
Anak-anak itu nggak minta punya indra keenam yang peka. Mereka malah sering tertekan dengan keadaan itu.
Belum lagi mereka sering dikatain autis, ketempelan jin, gila, dukun, dan sebagainya. Padahal, beban mereka aja udah berat. Nggak enak lho melihat "mereka" ada di mana-mana.
Saya juga berharap anak-anak indigo yang membaca cerita-cerita saya ini dapat lebih menerima kondisi mereka dan menggunakan kemampuan mereka di jalan kebaikan.
Novel Komik Bernuansa Lokal
Sementara itu, Teh Tethy bercerita tentang perjalanan panjang Silat Boys. Wew... siapa sangka Silat Boys ternyata butuh waktu lamaaa... hingga akhirnya berjodoh dengan Anak Kita.
Jauh lebih lama dibandingkan Cermin dan The Shy yang berpetualang mencari jodoh sejak akhir tahun 2012.
Oya, kalau bicara harapan tentang buku bacaan anak di Indonesia, Teh Tethy dan saya sama-sama berharap nuansa lokal dapat lebih diangkat.
Saya juga berharap novel anak tidak kosong. Maksud saya, ada pengetahuan yang didapat oleh pembaca. Karena disampaikan lewat cerita fiksi, bisa lebih seru dan asyik.
Jauh lebih lama dibandingkan Cermin dan The Shy yang berpetualang mencari jodoh sejak akhir tahun 2012.
Mas Didit udah sibuk bikin sketsa sejak acara belum dimulai. |
Oya, kalau bicara harapan tentang buku bacaan anak di Indonesia, Teh Tethy dan saya sama-sama berharap nuansa lokal dapat lebih diangkat.
Saya juga berharap novel anak tidak kosong. Maksud saya, ada pengetahuan yang didapat oleh pembaca. Karena disampaikan lewat cerita fiksi, bisa lebih seru dan asyik.
Foto-fotoan, deh :D (Foto: Azkarie) |
Selesai acara ngobrol-ngobrol... nah... ini dia. Ada sesi booksigning, sketching, konsultasi naskah dengan Mbak Nana, dan foto-fotoan.
Tuuuh, seru banget, kan? Yang kemarin nggak sempat datang, harus dateng nih di acara berikutnya.
Konsultasi naskah dengan Mbak Nana. Naaah...gitu dong kalo mau kirim naskah ke penerbit, beli dan baca dulu buku dari penerbit tersebut. |
Bertemu Penulis Muda
Usai
acara, datang seorang cowok kurus. Mbak Nana
memperkenalkan dia sebagai fans saya. Namanya Dodi.
Cowok itu kemudian menunjukkan buku lama saya yang udah kucel, mungkin karena seringnya dibaca. Yuuup. Buku 25 Curhat Calon Penulis Beken (GPU, 2009).
"Dodi ini penulis juga, Mbak Eno," kata Mbak Nana.
Dodi? Penulis? Yang terlintas di pikiran saya waktu itu cuma satu nama. "Dodi Prananda?"
Iyeeessss...
betul! Waaah... surprais banget rasanya. Saya mengikuti kiprahnya sejak
dia masih SMA di Padang, waktu dia menang LMCR Rayakultura. Takjub.
Nih anak masih remaja tapi tulisannya udah mateng gitu. Saya juga tau dia sempat jadi reporter di majalah Story.
Terakhir lihat fotonya, dia gondrong. Makanya saya sempat nggak kenal waktu ketemu. Sekarang dia kuliah di Komunikasi UI dan sudah hampir lulus.
Nih anak masih remaja tapi tulisannya udah mateng gitu. Saya juga tau dia sempat jadi reporter di majalah Story.
Terakhir lihat fotonya, dia gondrong. Makanya saya sempat nggak kenal waktu ketemu. Sekarang dia kuliah di Komunikasi UI dan sudah hampir lulus.
Dan tahukah... betapa bahagianya saya karena pembaca buku 25 Curhat Calon Penulis Beken ini telah menelurkan beberapa novel di penerbit ternama.
Bahagia dan terharu. Lewat Twitter, Dodi mengirim foto ini dan menulis caption: "Ibu dan anak yang tak pernah bertemu itu akhirnya bertemu juga...."
Ibu dan anaaakkk? Hehehe.... Ibu bagi penulis-penulis muda dan unyu.
Salam,
Triani Retno A
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.