"Kenapa sih yang tua-tua masih nulis aja? Yang tua minggir, dong! Kasih kesempatan untuk yang muda-muda!"
Benar-benar suka menulis, kan? Masih ingin eksis melalui tulisan? Kalau begitu, ngobrol dikit tentang Gol A Gong dan Hilman yuk.
Penulis Tahun 90an
Gol A Gong dan Hilman adalah penulis remaja pada tahun '80-an hingga '90-an. Hilman muncul dengan serial Lupus dan Gol A Gong dengan serial Balada Si Roy.
Kedua serial ini dimuat di majalah Hai. Pada era itu, remaja mana sih yang nggak kenal tokoh Lupus dan Roy? Rambut jambul dan permen karet ala Lupus. Blue ransel dan gaya macho Roy.
Bukan kebetulan, kedua penulis tersebut adalah idola saya.Ketika SMP, saya sampai loncat-loncat kala surat saya dibalas oleh Mas Gong. Sayang, surat itu hilang karena sering berpindah-pindah rumah.
Untung muncul era Facebook. Saya mencari dan meng-add mereka. Mereka masih eksis! Mereka masih aktif menulis. Karya-karya mereka terus mengalir dalam berbagai bentuk meski usia sudah tak remaja lagi.
Bukan kebetulan, kedua penulis tersebut adalah idola saya.Ketika SMP, saya sampai loncat-loncat kala surat saya dibalas oleh Mas Gong. Sayang, surat itu hilang karena sering berpindah-pindah rumah.
Untung muncul era Facebook. Saya mencari dan meng-add mereka. Mereka masih eksis! Mereka masih aktif menulis. Karya-karya mereka terus mengalir dalam berbagai bentuk meski usia sudah tak remaja lagi.
Djokolelono
Selain mereka berdua, melalui FB saya pun berteman dengan para penulis yang secara usia sebaya dengan orangtua saya.Penulis yang sudah menulis di media cetak sejak puluhan tahun yang lalu. Mereka sudah eksis sejak saya belum lahir. Karya-karya mereka menemani masa kecil saya.
Dalam acara gathering di Penerbit Mizan sekitar tiga tahun yang lalu, Om Djoko menghadiahkan buku lamanya pada saya (plus ditandatangani, dong). Novel Astrid dan Bandit ini terbit tahun 1977.
Wah, 1977! Saya masih batita yang imut dan menggemaskan kala itu.
Melintasi banyak dekade, Om Djoko yang seusia ibu saya ini masih tetap produktif menulis. Bukan bacaan buat kakek nenek, melainkan buat anak-anak dan... selalu keren.
Novel jadul Om Djokolelono. Saya masih batita waktu novel ini terbit pertama kali. |
Melintasi banyak dekade, Om Djoko yang seusia ibu saya ini masih tetap produktif menulis. Bukan bacaan buat kakek nenek, melainkan buat anak-anak dan... selalu keren.
Seneng banget pada tahun 2014 saya berkesempatan kerja bareng dengan Om Djoko di perhelatan Konferensi Penulis Cilik Indonesia (Penerbit Mizan dan Kemdikbud). Semangat dan kreativitas Om Djoko sungguh super.
Sayangnya, eksistensi penulis-penulis
ini dianggap "penghalang" oleh segelintir penulis muda atau penulis
pemula.
Om Djokolelono sedang menandatangani novelnya untuk saya :) |
Om Djokolelono, saya, dan novel Anak Rembulan di acara KPCI 2014. |
Para newbie itu beranggapan mereka tak mungkin bisa menembus
media jika harus bersaing dengan para senior.
Seiring perjalanan waktu, saya juga dianggap "penghalang". Lebih-lebih karena saya tetap nyaman menulis novel teenlit.
Seiring perjalanan waktu, saya juga dianggap "penghalang". Lebih-lebih karena saya tetap nyaman menulis novel teenlit.
Sekali-kali saya memang menulis novel atau cerpen yang lebih dewasa, misalnya novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya dan kumcer Braga Siang Itu. Namun, saya tetap lebih sering menulis cerita untuk remaja dan praremaja.
"Penulis tua itu kan jam terbangnya udah tinggi, udah dikenal baik oleh redaksi. Berarti peluang mereka lebih besar, kan?"
Nggak gitu juga, Bro.
Penulis muda dapat menulis dari sudut pandang yang berbeda. Penulis muda dapat lebih gampang menulis novel teenlit dan lebih hidup karena dunia mereka adalah dunia teenlit itu sendiri.
Oya, teenlit itu bacaan untuk remaja (teen literature). Jadi, nggak identik dengan cerita tentang remaja kota besar, hedonis, dan cuma suka pacaran. Sementara itu, penulis "tua" harus "meremajakan" jiwa dulu untuk masuk ke dunia remaja.
Tak perlu pesimistis karena harus berhadapan dengan mereka. Mereka bukan musuh. Mereka adalah teman. Pada zamannya dulu, mereka adalah penulis muda yang juga harus berhadapan dengan penulis tua. Dulu mereka bisa. Para newbie sekarang pun pasti bisa.
"Penulis tua itu kan jam terbangnya udah tinggi, udah dikenal baik oleh redaksi. Berarti peluang mereka lebih besar, kan?"
Nggak gitu juga, Bro.
Buktikan dengan Karya
Sebenarnya, dengan masih eksisnya para penulis "tua" ini, ada banyak pelajaran yang bisa diambil, di antaranya:- Diakui
atau tidak mereka sudah kenyang makan asam garam dunia penulisan, sudah
kenyang dengan pasang surut dunia penerbitan. Mereka matang oleh pengalaman (bukan sekadar faktor usia, karena sekarang banyak yang baru mulai menulis di media massa atau baru menulis buku pada usia di atas 35 tahun).
- Dari mereka kita bisa
belajar bahwa semua memiliki proses. Kita bisa belajar bagaimana mereka
menempati posisinya yang sekarang. Tidak instan seperti yang diinginkan
oleh kebanyakan penulis muda. Ada tahap-tahap yang harus dilalui.
- Mereka memulai karier penulisan mereka jauh sebelum self publishing marak. Jadi, tak ada cerita putus asa karena naskah ditolak oleh penerbit besar, lalu menerbitkan sendiri. Dari situ kita bisa belajar agar tak mudah menyerah.
- Yang tak kalah menarik adalah: jika mereka masih bisa eksis sebagai penulis, berarti dunia menulis itu menyenangkan, kan? Mereka bisa eksis, kenapa kita tidak?
Penulis muda tak perlu merasa kecil hati dan kalah sebelum bertanding. Yuk, kita lihat dari sisi positifnya.
Masih kelihatan seperti teman sebaya, kan? :D |
Oya, teenlit itu bacaan untuk remaja (teen literature). Jadi, nggak identik dengan cerita tentang remaja kota besar, hedonis, dan cuma suka pacaran. Sementara itu, penulis "tua" harus "meremajakan" jiwa dulu untuk masuk ke dunia remaja.
Tak perlu pesimistis karena harus berhadapan dengan mereka. Mereka bukan musuh. Mereka adalah teman. Pada zamannya dulu, mereka adalah penulis muda yang juga harus berhadapan dengan penulis tua. Dulu mereka bisa. Para newbie sekarang pun pasti bisa.
Tak usah berteriak-teriak meminta agar penulis tua minggir. Penulis bukan seperti pegawai negeri yang akan pensiun pada usia tertentu. Profesi penulis bisa ditekuni oleh siapa saja tanpa memandang usia. Jadi, buktikan saja dengan karya. Berani?
Penulis berbagai generasi di KPCI 2014. Dari Om Djokolelono yang sudah lebih dari 40 tahun menulis, sampai anak kelas 1 SD yang baru mulai menulis. |
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.