Sebenarnya, saya sendiri nggak terlalu suka disebut penulis senior. Kalau dihitung sejak pertama kali cerpen saya dimuat di majalah (Aneka) tahun 1995, saya baru 19,5 tahun menulis.
Masih banyak yang lebih senior daripada saya, yang sudah lebih lama berkecimpung di dunia tulis-menulis.
Misalnya ini, nih. Om Nestor Rico Tambunan. Beliau sudah eksis sebagai penulis ketika saya baru lahir.Waktu SD, saya suka membaca majalah milik ibu saya dan menemukan karya-karya beliau di sana.
Atau ini. Om Djokolelono dan Mas Gol A Gong.
Selain itu, istilah "senior" mengingatkan saya pada usia yang berkepala semakin banyak.
Atau ini. Om Djokolelono dan Mas Gol A Gong.
Om Djokolelono. Waktu SD, saya suka sekali membaca novel-novel beliau, terutama serial Astrid.Saya bahkan pernah menganggap "saya adalah Astrid". |
Mas Gol A Gong. Sejak SMP, saya penggemar berat serial Balada Si Roy karya Mas Gong. |
Selain itu, istilah "senior" mengingatkan saya pada usia yang berkepala semakin banyak.
Tapi oh tapi... seiring dengan semakin banyaknya tahun yang saya lewati di dunia menulis ini, seiring dengan semakin banyaknya penulis baru (yang berusia muda atau yang setengah tua), label itu tersemat juga pada saya.
Nggak Enak Jadi Penulis Senior
Saya sering memperhatikan di media sosial ada saja penulis muda, penulis baru, penulis pemula, penulis wanna be--atau apa pun istilanya--yang iri pada penulis senior.Kata mereka, nggak mungkin bisa menang kalau berkompetisi dengan senior, jelas aja karya senior terbit atau dimuat melulu karena redaksinya temen sendiri, dan sebagainya.
Bukan baru satu kali saya katakan, "Semua yang sekarang disebut penulis senior itu memulainya dari awal, dari nol. Setelah melalui proses panjang, jadilah mereka seperti sekarang." Tapi teteeeep aja banyak yang nggak percaya.
Menurut saya, sih, jadi penulis pemula punya keuntungan tersendiri. Salah satunya: lebih dimaklumi.
Bukan baru satu kali saya katakan, "Semua yang sekarang disebut penulis senior itu memulainya dari awal, dari nol. Setelah melalui proses panjang, jadilah mereka seperti sekarang." Tapi teteeeep aja banyak yang nggak percaya.
Menurut saya, sih, jadi penulis pemula punya keuntungan tersendiri. Salah satunya: lebih dimaklumi.
Naskah banyak typo
Pemula --> Hm... maklumi aja, deh. Masih pemula. Mudah-mudahan ke depannya bisa lebih rapi.Senior --> Ya ampuuun! Dia kan udah senior! Masa nulis diambil aja di ambil? Banyak pula yang begitu. Hadoooh!
Cerita datar
Pemula --> Pemula, nih. Maklum, deh. Perlu banyak latihan lagi.Senior --> Udah senior kok ceritanya kayak gini? Datar banget. Nggak ada twist-nya.
Cerita klise.
Pemula --> Penyakit pemula, nih. Sering banget bikin cerita kayak gini.Senior --> Astaga! Nggak nyangka dia nulis seklise ini. Dia kan udah senior, jam terbangnya udah tinggi. Mestinya bisa lebih bagus daripada ini, dong!
Senior --> Ih, kok novelnya gini banget, sih? Nggak kayak novelnya yang dulu itu.
Tuuuh! Jadi senior nggak selamanya enak, kan? Jadi, ngapain juga minder atau iri nggak jelas karena masih pemula?
Daripada ngeributin masalah senior atau pemula, mendingan nulis lagi aja, yuk. Atau baca tulisan ini dulu deh:
Tuuuh! Jadi senior nggak selamanya enak, kan? Jadi, ngapain juga minder atau iri nggak jelas karena masih pemula?
Daripada ngeributin masalah senior atau pemula, mendingan nulis lagi aja, yuk. Atau baca tulisan ini dulu deh:
Salam
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.