"Minta bukumu, dong."
Penulis buku pasti akrab
dengan kalimat sejenis ini. Biasanya kalimat ini muncul ketika si penulis
sedang mempromosikan buku barunya.
Beragam reaksi penulis
menanggapi kalimat seperti ini. Umumnya merasa sedih, prihatin, dan kesal.
Menulis adalah Pekerjaan
Menulis bisa saja
merupakan hobi atau passion. Meski begitu, tetap saja menulis adalah sebuah
pekerjaan: pengerjaan mengetik, pekerjaan memikirkan ide dan alur cerita,
pekerjaan duduk berlama-lama untuk menulis, pekerjaan meriset, dan sebagainya.
Jika buku telah terbit, ada pekerjaan lain menunggu: promosi buku. Yup, pekerjaan penulis nggak lantas berakhir ketika buku sudah terbit
Dalam rangka promo, penulis sering keluar dana sendiri. |
Menulis pun butuh modal. Siapa Bilang Menulis Tidak Butuh Modal? Komputer atau laptop, uang sewa komputer di warnet jika tidak mempunyai
komputer sendiri, pulsa internet, kita juga mungkin perlu membaca berbagai
literatur sebelum mulai menulis, dan sebagainya.
Tak sedikit penulis yang
terpaka bergadang bermalam-malam demi menyelesaikan naskah bukunya. Masuk
angin, sakit maag, tifus, nyeri punggung, penurunan fungsi penglihatan (mata
minus, mata plus), dan lain-lain.
Duduk berjam-jam tiap hari
untuk menulis juga berisiko mengundang datangnya penyakit diabetes, obesitas,
kardivaskular, dan sindroma metabolik.
Tak sedikit penulis yang jungkir balik merevisi naskahnya sesuai permintaan editor. Revisi pertama dikembalikan karena belum sesuai. Revisi kedua masih harus diperbaiki lagi.
Tak sedikit penulis yang jungkir balik merevisi naskahnya sesuai permintaan editor. Revisi pertama dikembalikan karena belum sesuai. Revisi kedua masih harus diperbaiki lagi.
Tak sedikit penulis yang
harus membeli banyak buku dan membacanya sebelum mulai menulis. Waktu yang
digunakan untuk menulis satu naskah buku pun tak cukup 1-2 hari, kadang-kadang
sampai berbulan-bulan.
Setelah selesai ditulis, mengantre berbulan-bulan lagi di penerbit sekadar untuk mendapat jawaban.
Setelah selesai ditulis, mengantre berbulan-bulan lagi di penerbit sekadar untuk mendapat jawaban.
Sebagian penulis (termasuk
saya) menjadikan menulis sebagai ladang mencari nafkah. Artinya, penghasilan
utama adalah dari menulis.
Dasar Pelit!
Jika menolak memberikan
buku gratis, memang ada kemungkinan penulis akan dimaki "Dasar
pelit!", dijelek-jelekkan di dunia maya dan di dunia nyata, diblokir dari
pertemanan di dunia maya, dan sebagainya.
Penulis sebenarnya tidak pelit memberi gratisan. Namun, masing-masing memiliki
kriteria dan cara sendiri.
Ada yang begitu saja memberi buku gratis pada temannya (tanpa diminta), meski sang teman bukan peresensi dan tidak berkontribusi apa pun dalam buku itu.
Ada yang begitu saja memberi buku gratis pada temannya (tanpa diminta), meski sang teman bukan peresensi dan tidak berkontribusi apa pun dalam buku itu.
Ada yang suka mengadakan kuis, giveaway, dan
sebagainya. Hadiahnya? Tentu saja
bukunya. Gratis.
Ada juga yang selalu mengirimkan beberapa eksemplar bukunya ke
perpustakaan sekolah, perpustakaan umum, atau taman bacaan masyarakat.
Kuis berhadiah buku yang diadakan di blog ini bulan Januari 2015. |
Ada pula penulis yang
(diminta atau tidak) memberi bukunya gratis dari segi uang tetapi dengan
"bayaran" lain.
Misalnya, si penerima menulis resensi atas buku itu,
si penerima buku nanti berfoto dengan buku si penulis itu, si penerima buku memberi
kesan-kesan setelah membaca buku itu, si penerima buku menuliskan sebuah quote
yang paling berkesan baginya dari buku itu. Simbiosis mutualisme, sama-sama
untung, sama-sama senang.
Dapat kiriman foto begini dari pembaca, penulis seneng banget. Makin semangat nulis. (Foto: Luckty Giyan Sukarno, SMA 2 Metro, Lampung) |
Penulis membutuhkan
pembaca, itu benar. Namun, penulis juga membutuhkan penghasilan dari penjualan
buku-bukunya untuk membiayai hidupnya dan keluarganya.
Jika belum tahu, royalti
yang diterima penulis dari penerbit paling besar hanya 10% dari harga eceran
buku yang terjual, dipotong pajak sebesar 15% (jika dengan NPWP atau 30% jika
tanpa NPWP).
Royalti itu dibayarkan
satu kali dalam empat bulan atau enam bulan (tergantung peraturan penerbit).
Dan berita tentang penulis yang mendapatkan royalti Rp 100.000,- saja dalam 6
bulan itu bukan isapan jempol. Itu benar-benar ada.
Jika belum tahu
juga, penulis juga harus membeli bukunya sendiri. Ada jatah gratisan dari
penerbit yang disebut sebagai bukti terbit. Tapi itu jumlahnya hanya sekitar
3-10 eksemplar.
Selebihnya, penulis harus membeli. Tidak gratis. Bukannya tinggal ngambil sesuka hati seperti dugaan banyak orang.
Atuhlah, kalau mengambil sesuka hati atau gratis terus, penerbit akan gulung tikar dan ratusan karyawannya akan kehilangan pekerjaan.
Selebihnya, penulis harus membeli. Tidak gratis. Bukannya tinggal ngambil sesuka hati seperti dugaan banyak orang.
Atuhlah, kalau mengambil sesuka hati atau gratis terus, penerbit akan gulung tikar dan ratusan karyawannya akan kehilangan pekerjaan.
Memangnya
penulis nggak dapat diskon kalau membeli bukunya sendiri?
Dapat. Tapi
diskon penulis hanya di kisaran 20%-25% per buku. Itu juga sering masih harus
menanggung ongkos kirim.
Jaga Harga Diri
Yuk, sama-sama
menjaga harga diri kita, sama-sama memberi manfaat bagi orang lain. Banyak
cara, kok, jika ingin mendapat buku gratis dengan cara yang elegan dan
bermartabat.
Jaga harga diri
kita dari perbuatan meminta-minta. Jika muslim, ada baiknya kita ingat bahwa Rasulullah mengecam perbuatan meminta-meminta pada manusia tanpa kebutuhan yang benar.
Salam,
Triani Retno A
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.