Saya
sering nyengir kalau membaca kalimat seperti ini. Terlintas komentar iseng di
benak saya. “Berarti buku itu nggak cocok buat saya. Saya sudah mengurangi
makan daging merah sejak dua tahun yang lalu.”
Saya
pribadi lebih suka dengan istilah “buku yang bergizi” daripada “buku yang
berdaging”. Well, itu masalah selera aja, ya. Tidak usah dijadikan bahan perdebatan :D
Seperti Apa Buku yang Bergizi
Pernah
bertanya-tanya nggak sebenarnya seperti apa, sih, buku yang disebut bergizi
itu? Apa buku yang ditulis oleh pakar di bidangnya? Apa buku yang ditulis oleh
motivator terkenal? Atau mungkin buku karya penulis bestseller?
Hernowo,
seorang konseptor dan instruktur pelatihan yang membangkitkan potensi membaca
dan menulis, menyebutkan dalam buku Menjadi Guru yang Mampu dan Mau Membuat
Buku bahwa:
- Buku yang bergizi adalah buku yang dapat memberikan semangat kepada para pembacanya untuk bangkit membaca buku lagi dan lagi.
- Buku yang bergizi adalah yang mampu mengubah diri pembacanya ke arah yang lebih baik.
- Buku yang bergizi adalah buku yang merekam sebuah peristiwa secara apa adanya – tanpa “gincu” dan “bedak’.
- Buku yang bergizi akan mendorong pembacanya menjadi penulis andal.
Menjadi Guru yang Mampu dan Mau Membuat Buku. Terbitan MLC tahun 2006. Sudah terjual. #TerasTeeraTokoBukuOnline |
Ciri-Ciri Buku yang Bergizi
Dalam
buku tersebut Hernowo juga memaparkan ciri-ciri buku yang bergizi.
1. Kemampuan penulisnya.
Penulis buku itu haruslah memiliki kemampuan membaca dan menulis yang baik. Siapa penulis buku tersebut dan bagaimana kompetensinya dalam
materi yang dia tulis. Ini bisa diketahui dari biodata si penulis buku.
Ehm, saya jadi teringat ketika bekerja sebagai acquisition
editor (freelance) untuk naskah nonfiksi di Gramedia Pustaka Utama.
Ada ide naskah yang
menurut saya bagus untuk dikembangkan. Namun, editor in-house bertanya, “Siapa
yang akan menulis tema ini? Dia expert nggak di bidangnya? Kalau nggak expert,
nggak usah.”
Towew! Iya juga, sih. Kalau
si penulis tidak menguasai materi yang ditulisnya, apa mungkin buku itu disebut
bergizi?
2. Membangkitkan selera membaca.
Ada sedikitnya satu komponen buku yang membangkitkan selera untuk membaca buku tersebut.
Unsur yang bisa memikat hati untuk membaca sebuah buku bisa
terdapat di mana saja pada buku tersebut. Bisa tekstual, bisa visual.
Hm … jadi ini sebabnya kaver dan blurb buku dibuat semenarik
mungkin. Jadi, bukan sekadar buat gaya-gayaan.
3. Teks yang memberdayakan.
Maksudnya, nih, dalam buku yang kita baca itu ada
kalimat-kalimat yang mampu memberdayakan pikiran.
Bergizikah Novel?
Selama
ini ada anggapan bahwa membaca novel tak ada gunanya, tak ada manfaat yang
diperoleh. Boro-boro, deh, ada gizinya. *aih, periiih ... hati penulis novel :(*
Namun,
jika membaca paparan Pak Hernowo bahwa buku yang bergizi adalah yang mampu mengubah
diri pembacanya ke arah yang lebih baik, novel pun bisa menjadi bacaan yang
bergizi.
Sebaliknya,
buku nonfiksi pun bisa saja tidak bergizi jika penulisnya tidak menguasai materi
yang ditulisnya dan tidak membawa para pembacanya ke arah yang lebih baik.
Novel-novel
saya? Saya selalu berusaha agar novel-novel saya ada “isinya”, termasuk novel
teenlit yang paling sering dipandang sebelah mata oleh sebagian kalangan.
Respons paling
banyak dari pembaca adalah novel The Boarding (teenlit) dan Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya. Banyak pembaca mengatakan bahwa kedua
novel itu membuat mereka merenung dan termotivasi untuk menjadi lebih baik. Alhamdulillah.
Yuk, kita
buat tulisan kita--fiksi dan nonfiksi--kaya dengan gizi.
Salam,
Triani Retno A
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.