Saya
bukan orang yang merasa nyaman bepergian di malam hari. Bukber kan pasti sampai
malam.
Ya iyalah. Buka puasa kan setelah azan Maghrib. Memangnya anak TK, buka puasa jam sepuluh pagi? :D
Ya iyalah. Buka puasa kan setelah azan Maghrib. Memangnya anak TK, buka puasa jam sepuluh pagi? :D
Saya juga
kurang suka dengan suasana ramai cenderung crowded menjelang berbuka
puasa di tempat umum.
Selain itu, urusan shalat Maghrib pun sering jadi masalah. Entah nggak ada tempat untuk shalat, atau ada tetapi sempit dan tidak nyaman.
Selain itu, urusan shalat Maghrib pun sering jadi masalah. Entah nggak ada tempat untuk shalat, atau ada tetapi sempit dan tidak nyaman.
Bukber di Jalan
Pekan
lalu, saya dan anak-anak berbuka puasa di sebuah resto. Ceritanya, sore harinya saya mengisi acara Bincang Menulis di Universitas Telkom Bandung.
Jarak dari
kampus tersebut ke rumah saya sekitar 10 kilometer (kata Google Maps) dan harus
melewati titik-titik macet. Hari biasa aja udah terkenal macetnya, apalagi di
sore bulan Ramadhan.
Keluar
dari kampus menjelang pukul empat sore dan beberapa menit kemudian tenggelam
dalam kemacetan.
Wew, saya bersyukur banget sehari-hari bekerja dari rumah. Selama ada koneksi internet, saya anteng deh. Cuma sesekali saya kerja ke luar rumah seperti ini. Cerita saya bekerja dari rumah bisa dibaca di Dari Perempuan Kantoran ke Perempuan Rumahan
Dengan begitu, saya nggak perlu tua di jalan karena setiap hari terjebak macet.
Wew, saya bersyukur banget sehari-hari bekerja dari rumah. Selama ada koneksi internet, saya anteng deh. Cuma sesekali saya kerja ke luar rumah seperti ini. Cerita saya bekerja dari rumah bisa dibaca di Dari Perempuan Kantoran ke Perempuan Rumahan
Dengan begitu, saya nggak perlu tua di jalan karena setiap hari terjebak macet.
Sepuluh
menit menjelang azan Maghrib, kami berbelok ke sebuah rumah makan. Sebenarnya
masih sempat sih mengejar waktu berbuka puasa di rumah.
Masalahnya, sebelum
pergi tadi saya belum masak apa-apa. Nasi pun tidak ada. Boro-boro menyiapkan menu Ramadhan enak.
Jadi,
pilihannya cuma buka puasa di luar rumah. Ya sudahlah, cari tempat bukber saja.
Ramai daaan … Ketus
Tuh, kan.
Ramai banget. Ada beberapa rombongan besar yang akan bukber di sana. Kami
memilih tempat di halaman saja. Di meja yang berpayung. Bagus buat foto-foto.
Tapi, nggak lama kemudian kami pindah ke meja biasa karena cuaca yang semula cerah mendadak mendung.
Tapi, nggak lama kemudian kami pindah ke meja biasa karena cuaca yang semula cerah mendadak mendung.
Makanan
datang. Satu, dua, tiga… lengkap. Eh, tunggu. Kok nggak ada hidangan buat
takjilnya ya? Kan di paket yang saya pesan, ada menu itu. Oh, mungkin
pelayannya lupa saking banyaknya orang yang akan berbuka puasa di sana.
Tapi
karena itu hak saya, saya minta baik-baik dong. Si Pelayan hanya melihat ke
meja kami, lalu pergi.
Tak lama dia kembali dengan sebuah nampan kecil berisi tiga gelas minuman untuk takjil. Meletakkannya sembarangan di meja dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.
Tidak ada kata maaf, punten, silakan, atau apalah. Ekspresi wajahnya pun datar cenderung judes.
Tak lama dia kembali dengan sebuah nampan kecil berisi tiga gelas minuman untuk takjil. Meletakkannya sembarangan di meja dan berlalu tanpa mengatakan apa-apa.
Tidak ada kata maaf, punten, silakan, atau apalah. Ekspresi wajahnya pun datar cenderung judes.
Saya dan
anak sulung saya berpandangan sambil mengangkat alis. Apalagi ketika melihat
gelas berisi (maksudnya) sop buah itu. Satu gelas penuh, satu gelas berisi tiga
perempat, satu gelas lagi berisi setengahnya.
Lalu
sambil nyengir saya bilang, “Mungkin isi gelas ini disesuaikan dengan tinggi
badan pelanggan. Yang paling banyak buat Mami, yang paling sedikit buat
Adek.”
Sop buah yang isinya tidak sama banyak itu. Hehehe, ini motretnya nggak difokuskan ke sop buahnya sih. |
Ternyata Ini Penyebabnya
Sambil
makan, saya memperhatikan sekitar. Para pelayan rumah makan itu masih saja mondar-mandir
membawa makanan ini dan itu. Masih sibuk melayani ini itu. Eh, mereka udah buka puasa
atau belum, ya?
“Udah
buka, Bu. Tadi kami minum air putih,” kata si Mbak Kasir yang sedang hamil.
“Cuma
minum air putih?”
“Iya, Bu.”
“Kalian
kapan makannya?” Mendadak saya jadi emak-emak yang bawel karena anak-anaknya
asyik main dan lupa makan.
Saya
perhatikan sepintas para pelayan yang stand by di dekat meja kasir. Masih
muda-muda, walaupun yaaah…ketuaan juga sih kalau jadi anak saya. :D
“Nanti,
Bu. Kalau udah sepi.”
“Shalat
Magribnya gimana?”
“Gantian,
Bu. Kalau lagi ramai banget malah nggak sempat shalat. Nanti dijamak sama Isya.”
Duh….
Dilihat
dari pendekatan profesional, melayani pelanggan dengan ketus seperti itu tentu saja
tidak bisa dibenarkan.
Saya
bukan penganut paham “pembeli adalah raja”. Bagi saya pembeli dan penjual
adalah mitra setara. Sama-sama membutuhkan. Sebagai mitra, wajar dong kalau
ingin mendapatkan layanan yang memuaskan.
Namun, dengan
pendekatan baperologi, saya bisa memahami kenapa mereka melayani seperti tadi. Sama
seperti saya, mereka juga berpuasa Ramadhan seharian.
Ketika tiba waktu berbuka puasa, mereka cuma bisa melihat puluhan (mungkin ratusan) orang makan dan minum dengan lahap di depan mereka. Sementara itu, mereka terpaksa “memperpanjang” puasa mereka.
Ketika tiba waktu berbuka puasa, mereka cuma bisa melihat puluhan (mungkin ratusan) orang makan dan minum dengan lahap di depan mereka. Sementara itu, mereka terpaksa “memperpanjang” puasa mereka.
Ayam goreng dan lalap ala Sunda. |
Mereka juga
mungkin gundah karena tidak bisa shalat Maghrib. Duh, apa artinya puasa kalau
tidak shalat?
Jadi Serbasalah
Ah, jadi
serbasalah mau buka puasa di luar rumah. Saya kok jadi merasa ikut andil
menghalangi mereka yang mau berbuka puasa dan shalat Maghrib.
Semoga ke
depannya para pemilik dan manajer rumah makan bisa membuat kebijakan yang win-win
solution, ya. Yang begitu kan termasuk berbagi kebaikan di bulan Ramadhan.
Pelanggan yang akan bukber tetap terlayani dengan baik dan ramah, para pegawai rumah makan juga tetap bisa berbuka puasa dan melaksanakan shalat Maghrib.
Salam,
Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
www.trianiretno.com
Pelanggan yang akan bukber tetap terlayani dengan baik dan ramah, para pegawai rumah makan juga tetap bisa berbuka puasa dan melaksanakan shalat Maghrib.
Salam,
Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
www.trianiretno.com
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.