“Kita bikin kue lebaran kan nanti, Mi?”
Pertanyaan
si sulung cuma saya balas dengan lirikan dari balik buku yang sedang saya baca.
“Pengin
iiih … bikin kue-kue lebaran gitu. Kayaknya asyik, deh.”
“Uti kan
udah pesen, Kak,” sahut saya singkat. Sudah dua tahun ini ibu saya selalu
memesan kue-kue kering alias kukis lebaran pada tetangga.
Tetangga saya itu memang punya usaha musiman membuat beraneka kukis.Sebelumnya, saya lebih sering membeli yang sudah jadi.
Tetangga saya itu memang punya usaha musiman membuat beraneka kukis.Sebelumnya, saya lebih sering membeli yang sudah jadi.
“Tapi pengin
bikin deh, Mi. Ya, Mi, ya? Kita bikin kue sendiri, ya?”
Kue Lebaran
Kue-kue
kering seperti nastar dan kastengel sepertinya sudah menjadi bagian tak
terpisahkan dari hidangan Lebaran di Indonesia, ya. Saya juga suka.
Lalu,
kenapa saya sulit sekali mengabulkan permintaan si sulung yang ingin membuat
kue kering sendiri?
Jawabannya
adalah kenangan yang tersimpan dalam membuat kukis. Sayangnya, itu bukanlah
kenangan manis.
Beberapa
bulan sebelum hamil si bungsu, saya sempat menjadikan kue kering ini sebagai
usaha. Yup, saya membuat kue kering untuk dijual sambil menunggu si sulung
pulang sekolah.
Tidak
macam-macam. Hanya kue kering standar. Yang membedakan mungkin bentuk dan
icing sugar yang menghias bagian atasnya.
Tahun itu, setahu saya, belum banyak yang menjual kue kering imut seperti itu. Setidaknya di sekitar tempat tinggal saya.
Tahun itu, setahu saya, belum banyak yang menjual kue kering imut seperti itu. Setidaknya di sekitar tempat tinggal saya.
Aroma kue
yang sedang dioven tercium sangat harum. Aroma telur, terigu, gula, dan
margarin. Aroma pandan dan nanas. Aroma stoberi dan cokelat.
Ketika hamil, harum kue yang sedang dipanggang itu berubah memuakkan. Jangankan
membuat kue. Melihat bungkus margarin saja saya mual. Melihat botol-botol
mungil food colour saja saya muntah.
Mual muntah saya setiap kali hamil memang lumayan merepotkan. Pengalaman ketika hamil pertama saya tulis di blogpost Morning Sickness dan Es Krim. Hamil kedua ternyata sama parahnya.
Sampai
bertahun-tahun kemudian, aroma kue yang sedang dipanggang dan terutama aroma
yang menguar dari food colour terasa menyakitkan.
Baby
blues syndrome yang berkepanjangan?
Bukan.
Tapi karena beberapa bulan setelah melahirkan, bahkan si bungsi masih mendapat ASI Eksklusif, saya dan bapaknya anak-anak
pisah rumah. Persoalan yang semakin tajam itu akhirnya berujung di ruang
pengadilan.
Aroma kue
dan food colour selalu membawa kembali kenangan pahit yang ingin saya
lupakan.
Mengalahkan Trauma
Tapi
hidup terus berjalan. Anak-anak tumbuh besar. Tahun ini mereka berusia 9 dan 14
tahun. Mereka harus belajar banyak hal yang berhubungan dengan life skill.
Salah satunya memasak.
Si sulung
sudah mengungkapkan keinginannya untuk membuat kue-kue kering untuk Lebaran.
Bukankah belajar karena keinginan sendiri akan lebih baik daripada dipaksa?
Saya
tidak bisa terus-terusan tenggelam dalam rasa sakit itu. Saya memaksa diri
untuk mengalahkan trauma saya. Harus.
Akhirnya,
dua minggu sebelum Lebaran kami ke minimarket untuk membeli bahan-bahan kue.
Anak-anak langsung girang ketika tahu kami akan membuat kue lebaran. Apalagi mereka sudah libur sekolah. Ini akan menjadi kegiatan liburan di rumah yang menyenangkan.
“Kalau
bikin kue kering bagusnya pake terigu yang protein rendah, Kak,” ujar saya.
“Emangnya terigu ada macem-macem, ya, Mi?”
“Iya.
Kalau yang protein tinggi itu hasilnya lebih kenyal. Bagusnya buat bikin mi
atau yang sejenis itu. Kacau jadinya kalau dipakai bikin kue kering.”
“Oooh…kirain
sama aja.”
Sambil
mengobrol tentang macam-macam tepung, kami memilih foodcolour. Sekilas aromanya
berusaha mendobrak benteng kenangan saya. No way! Pergi sana!
Kukis Itu Kembali Harum
Sabtu
tanggal 25 Juni 2016 kami mulai membuat kue. Resepnya? Ah, saya pakai resep kue kering yang saya pakai bertahun-tahun lalu. Sekalian saja pecahkan gelas itu biar
gaduh…. Eh, maksud saya sekalian saja pecahkan kenangan pahit itu.
Selanjutnya,
semua berjalan di luar dugaan. Antusiasme anak-anak membuat kenangan pahit itu lenyap
begitu saja.
The krucils asyik membuat kukis lebaran. |
Si bungsu
senang sekali dipakaikan celemek kotak-kotak. Si kakak yang bercelemek warna-warni serius mengaduk
adonan.
“Aku mau
ngaduk jugaaaa,” si bungsu merengek.
Si kakak
cemberut, tapi akhirnya membiarkan si adik mengaduk adonan.
Yang
paling seru adalah saat mencetak dan menghias kue. Mereka berkreasi sesuka
mereka. Masing-masing mendapat satu loyang.
Hiasannya memang banyak yang amburadul. Nggak jelas motifnya apa. Tapi antusiasme dan tawa ceria mereka lebih berharga daripada tampilan kue itu.
Hiasannya memang banyak yang amburadul. Nggak jelas motifnya apa. Tapi antusiasme dan tawa ceria mereka lebih berharga daripada tampilan kue itu.
Kue
berbentuk hati dengan icing sugar hijau, oranye, dan putih tumpuk-menumpuk
nggak jelas itu matang sudah.
Besok dan besoknya, loyang-loyang berisi kue nastar dan kue keju mendapat giliran dimasak di oven.
Besok dan besoknya, loyang-loyang berisi kue nastar dan kue keju mendapat giliran dimasak di oven.
Tercium wangi
semriwing saat kue-kue itu dipanggang. Harum. Tanpa rasa mual, tanpa rasa
sakit, tanpa rasa sesak menahan tangis. Hanya ada aroma harum, manis, dan …
bahagia.
Kue
lebaran buatan kami tahun ini memang agak kacau dari segi rasa (saya memasukkan
terlalu banyak gula halus ke dalam adonan kue keju dan baru sadar itu gula halus ketika si
manis itu sudah menyatu dengan bahan-bahan lain :D) dan tampilan.
Tapi itu
tak ada artinya dibandingkan kehangatan, kegembiraan, dan kebahagiaan yang
terasa dalam proses pembuatan kue lebaran itu. Ini sekaligus menjadi momen family time yang seru dan berkualitas.
“Kapan-kapan
kita bikin kue lagi ya, Miiii!” ujar si kakak. "Yang bentuk dan rasanya lebih jelas daripada yang ini."
Saya tak
perlu lagi temenung lama, tak perlu lagi menahan sesak di dada ketika menjawab sambil tertawa,
“Oke, Kakaaak!”
Persiapan lebaran tahun ini jadi terasa berbeda. Sakit yang bertahun-tahun mengendap di bawah sadar saya terkikis bersama keping-keping kukis dan anak-anak yang tertawa manis.
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.