Saya cukup sering menerima komentar sejenis itu. Ya, kebanyakan teman saya adalah orang kantoran. Pergi pagi, malam hari tiba lagi di rumah.
Saya bukan orang kebanyakan, dalam arti bukan orang kantoran. Sejak melahirkan anak pertama, saya menjadi perempuan rumahan. Working home mother. Ibu yang bekerja dari rumah.
Menulis, mengedit, dan berjualan buku saya lakukan dari rumah. Dulu, mengajar di kelas menulis pun dari rumah. Yang penting koneksi internet lancar jaya.
Hanya
sesekali saya pergi berburu buku untuk lapak online saya, talkshow,
gathering, atau semacam itu. Selebihnya saya kerjakan dari rumah saja.
“Enak, ya,
bisa sama anak-anak terus….”
Ahaha…
kenyataannya sih nggak selalu begitu.
Begini yang Terjadi di Rumah
Salah satu
tantangan bekerja dari rumah adalah dalam hal kedisiplinan. Anak-anak tahu,
kalau saya sedang serius di ruang kerja, berarti sedang tidak bisa diganggu.
Lebih-lebih kalau ada kamus-kamus terbuka, atau ada buku-buku menumpuk di meja saya. Lebih parah lagi, kadang-kadang saya sampai tertidur di atas laptop.
Lebih-lebih kalau ada kamus-kamus terbuka, atau ada buku-buku menumpuk di meja saya. Lebih parah lagi, kadang-kadang saya sampai tertidur di atas laptop.
Meski
begitu, si bungsu sering masuk ke ruang kerja saya dan tiba-tiba memeluk saya.
“Mami harus diiiiii-lock!” begitu katanya.
Tak
jarang saya merasa bersalah juga karena tak bisa sering-sering bersantai dengan
mereka meski hampir setiap hari berada di rumah.
Mau bagaimana lagi? Saya, kan, tidak punya Doraemon yang bisa mengeluarkan apa saja dari kantong ajaibnya.
Kalau ada Doraemon, tanpa saya harus banting tulang bekerja pun semua kebutuhan bisa terpenuhi. Tinggal berteriak memelas seperti Nobita, "Doraemooon, tolong akuuu!"
Mau bagaimana lagi? Saya, kan, tidak punya Doraemon yang bisa mengeluarkan apa saja dari kantong ajaibnya.
Kalau ada Doraemon, tanpa saya harus banting tulang bekerja pun semua kebutuhan bisa terpenuhi. Tinggal berteriak memelas seperti Nobita, "Doraemooon, tolong akuuu!"
Anak-anak
mengerti, sih. Tapi tetap saja rasa bersalah itu ada. Rasa bersalah itu makin
menjadi-jadi ketika mereka libur tetapi saya harus bekerja, atau sebaliknya.
Ketika saya libur (sebenarnya sih bukan libur, tapi sedang jobless :D), mereka justru
sibuk dengan aktivitas di sekolah. Terutama si sulung yang sudah ABG dan
punya banyak kegiatan.
Family Time
Meski
begitu, family time yang seru dan
berkualitas harus tetap ada, dong. Begini ini yang sering saya lakukan.
1. Jalan-jalan.
Dengan catatan, kalau situasi dan kondisi memungkinkan. Tujuannya bisa
ke mana saja di dalam kota. Makan-enak-murmer di pasar kaget, ke toko buku, ke
museum…, ke mana saja. Salah satunya ke Museum Pos Indonesia.
Nggak
selalu bisa bertiga, sih. Kadang hanya bersama si sulung, kadang bersama si
bungsu saja. Seperti waktu jalan-jalan di Babakan Siliwangi nih, saya hanya berdua si sulung.
Kalau pergi berdua-dua begitu, biasanya bisa mengobrol lebih banyak. Si sulung bisa leluasa bercerita tentang kesibukannya di sekolah, tentang teman-temannya, atau tentang keinginan-keinginannya. Dia nggak perlu mendadak bete karena diserobot oleh adiknya.
Kalau pergi berdua-dua begitu, biasanya bisa mengobrol lebih banyak. Si sulung bisa leluasa bercerita tentang kesibukannya di sekolah, tentang teman-temannya, atau tentang keinginan-keinginannya. Dia nggak perlu mendadak bete karena diserobot oleh adiknya.
Kalau
pergi dengan si bungsu saja pun begitu. Dia bisa puas bertanya tentang segala
macam. Kenapa kalau naik bus Damri dapat karcis sedangkan kalau naik angkot
tidak, kenapa kalau hujan jalanan sering tergenang (banjir cileuncang, kalau kata orang Sunda), kenapa ini kenapa itu.
2. Mengajak anak-anak dalam pekerjaan saya.
Kalau
diundang mengisi suatu acara, saya selalu menanyakan kemungkinan untuk membawa
anak.
Waktu si bungsu masih balita, sih, malah pakai persyaratan di lokasi acara ada playground atau setidaknya ada panitia yang mau menjadi baby sitter. Hehehe…. Tapi itu dulu. Sekarang mah sudah lebih aman terkendali.
Mengajak mereka dalam pekerjaan offline saya begitu tidak cuma bermanfaat untuk family time. Manfaat lain, mereka bisa lebih mengenal pekerjaan saya dan ... ada yang motretin saya selama acara berlangsung. Hehehe ....
Waktu si bungsu masih balita, sih, malah pakai persyaratan di lokasi acara ada playground atau setidaknya ada panitia yang mau menjadi baby sitter. Hehehe…. Tapi itu dulu. Sekarang mah sudah lebih aman terkendali.
Mengajak mereka dalam pekerjaan offline saya begitu tidak cuma bermanfaat untuk family time. Manfaat lain, mereka bisa lebih mengenal pekerjaan saya dan ... ada yang motretin saya selama acara berlangsung. Hehehe ....
Seperti pertengahan
Ramadhan kemarin. Ketika itu saya diundang untuk mengisi acara Bincang Menulis di Telkom University Bandung. Untungnya,
saya bisa membawa anak-anak ke acara tersebut.
Acara
berlangsung sampai pukul setengah empat. Rasanya tak mungkin mengejar waktu
untuk berbuka puasa di rumah karena harus melalui titik-titik macet. Anak-anak
setuju―sangaaaat setuju―untuk berbuka puasa di luar rumah.
Jadi,
sebelum berangkat saya mampir dulu ke minimarket di dekat rumah untuk membeli sebotol
air mineral dan sebungkus biskuit. Pilih yang convenience pack, supaya gampang dibawa-bawa.
Persiapan dong kalau-kalau harus berbuka di tengah perjalanan. Kalaupun sudah sampai di rumah makan, ada kemungkinan penuh dengan pengunjung sehingga pesanan kami terlambat diantar.
Nunggu buka puasa. |
Persiapan dong kalau-kalau harus berbuka di tengah perjalanan. Kalaupun sudah sampai di rumah makan, ada kemungkinan penuh dengan pengunjung sehingga pesanan kami terlambat diantar.
Dengan
membawa biskuit sebagai bekal ringan dan sehat begini, kami bisa menyegerakan
berbuka puasa ketika waktunya sudah tiba. Bukankah sunahnya memang begitu?
3. Berkegiatan seru di rumah.
Kegiatan
seru di rumah ini nggak perlu modal besar, bahkan bisa jadi nggak perlu modal.
Yang penting dikerjakan bareng-bareng dan menyenangkan.
Membuat kue bareng seperti ini, misalnya. Anak-anak yang kompakan ingin membuat kue kering alias kukis lebaran. Saya sih oke-oke saja.
Membuat kue bareng seperti ini, misalnya. Anak-anak yang kompakan ingin membuat kue kering alias kukis lebaran. Saya sih oke-oke saja.
Acara
bikin kue ini seru. Dengan catatan, si emak jangan kebanyakan protes kalau
ketebalan kuenya nggak sama. Ada yang tebelnya sampai satu sentimeter, ada yang setipis kertas.
Si emak juga nyengir aja deh kalau melihat kue segede gitu cuma dikasih hiasan satu titik oranye doang di tengah-tengahnya. Selebihnya pucat polos tanpa polesan. Atau sebaliknya, semua warna ditumpuk begitu saja.
Si emak juga nyengir aja deh kalau melihat kue segede gitu cuma dikasih hiasan satu titik oranye doang di tengah-tengahnya. Selebihnya pucat polos tanpa polesan. Atau sebaliknya, semua warna ditumpuk begitu saja.
Yang
udah-udah, sih, kebanyakan dikomentari harus begini harus begitu malah bikin
anak-anak bete. Suasana pun bisa berubah jadi tidak menyenangkan.
Kalau sudah begitu, family time yang seru terancam gagal, deh. Jadi, biarkan saja mereka berkreasi.
Kalau sudah begitu, family time yang seru terancam gagal, deh. Jadi, biarkan saja mereka berkreasi.
Ketika
kue sudah matang dan bisa dimakan, barulah dibahas bareng. Ketawa bareng ngelihat hiasan kuenya jadi
nggak keruan, mbleber ke mana-mana.
Ngakak bareng gara-gara nastar yang maunya seperti buah jeruk segar plus daunnya tapi malah jadi seperti jeruk ketempelan ulat gendut. Huehehe… yang penting senang bareng-bareng, deh 😀
Ngakak bareng gara-gara nastar yang maunya seperti buah jeruk segar plus daunnya tapi malah jadi seperti jeruk ketempelan ulat gendut. Huehehe… yang penting senang bareng-bareng, deh 😀
Ternyata
tetap bisa, ya, menciptakan family time
yang seru di antara kesibukan sehari-hari. Tempat menjadi tak terlalu penting.
Yang penting adalah kebersamaan yang berkualitas dan menyenangkan.
Beda keluarga beda cerita, pastinya. Bagaimana cerita family time di keluarga kalian?
Salam,
Triani Retno A
Salam,
Triani Retno A
Penulis Buku, Novelis, Editor
Freelance
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.