“Perpisahan adalah upacara menyambut hari-hari penuh rindu.”
Sudah pernah membaca dua novel Pidi Baiq yang terbit sebelum Milea? Belum? Tidak apa-apa. Saya juga belum baca buku Dilan 1990 dan Dilan 1991..
Saya tahu siapa Pidi Baiq.
Oh, please lah. Siapa sih penikmat
buku yang tidak pernah mendengar namanya?
Dua novel Dilan karyanya laris manis dan mengalami cetak ulang berkali-kali. Antrean penggemar yang hendak meminta tanda tangannya pun seperti rangkaian gerbong kereta api.
Dua novel Dilan karyanya laris manis dan mengalami cetak ulang berkali-kali. Antrean penggemar yang hendak meminta tanda tangannya pun seperti rangkaian gerbong kereta api.
Pengen ketemu dong. Pengen
menyerap ilmu dari penulis buku best seller ini. Kok bisaaa…. novel-novelnya best seller gila-gilaan
terus? Kok bisaaa… dia begitu dicintai oleh penggemarnya? Apa sih formulanya? Pasti bukan karena dia imigran dari surga yang diselundupkan ke bumi oleh ayahnya, kan? Hehe….
Cuma belum rezeki ketemu.
Tiap kali ada acara yang menghadirkan Pidi Baiq di Bandung dan lokasinya saya
tahu banget, kok ya selalu bentrok dengan kegiatan saya.
Tapi bukan karena itu
saya belum tergerak membaca Dilan:
Dia Adalah Dilanku Tahun 1990 dan Dilan:
Dia Adalah Dilanku Tahun 1991.
Yang menghalangi saya
membaca Dilan adalah rasa khawatir. Khawatir terseret ke masa SMA saya pada tahun
1990-1993, lalu baper dan melo berbulan-bulan.
Tapi akhirnya saya membaca buku ketiganya. Milea: Suara dari Dilan. Kebetulan saya memang sering membaca buku berseri dari “seri-seketemunya-aja-dulu”.
Dan inilah catatan pembacaan saya atas novel Milea.
Milea, Suara dari Dilan
Seperti judulnya, novel
ini bercerita dari sudut pandang Dilan. Yang diceritakan dari sudut pandang
Milea pada dua buku sebelumnya, sekarang dijelaskan oleh Dilan.
Yup, tentu ada bagian yang Milea tidak tahu karena Milea tidak berada di tempat tersebut atau karena hal itu berada dalam pikiran Dilan.
Yup, tentu ada bagian yang Milea tidak tahu karena Milea tidak berada di tempat tersebut atau karena hal itu berada dalam pikiran Dilan.
Halaman-halaman awal
bercerita tentang masa kecil Dilan. Tentang ibunya yang orang Aceh, tentang
ayahnya yang anggota militer. Tentang
nilai-nilai yang ditanamkan di dalam keluarganya.
“Jangan
bilang ke Bunda kita dari tempat biliar,” kata ayahku kemudian.
“Jangan
bohong, Ayah,” kata kakakku.
“Oh
iya,” jawab ayahku. “Bilang ke Bunda udah dari tempat biliar, terus nanti kita
janji gak akan ke sana lagi.”
(halaman 28)
Kedekatan Dilan dengan
orangtuanya, terutama Bunda, berlanjut hingga Dilan remaja dan dewasa.
Aku tahu sebagian besar waktu ketika
Bunda bicara kepadaku, dia tidak selalu berharap aku punya semua jawaban dia
hanya ingin telingaku.
“Bunda cemas sekali waktu itu. Merasa
takut kehilangan anak yang Bunda sayangi,” kata Bunda lagi. “Bunda nangis.”
Aku diam. Enggak tahu kenapa
kata-katanya yang itu langsung bisa mengubek perasaanku. Menurutku, dia adalah
ibu yang mudah merasuk ke dalam hati anak-anaknya.
(halaman
50).
Milea yang kemudian
menjadi kekasih Dilan pun dekat dengan Bunda.
Cerita kemudian bergulir
tentang hubungan Dilan dan Milea, tentang keterlibatan Dilan dengan geng motor,
tentang persahabatan Dilan dengan Akew, Nandang, Burhan, Remi Moore, dan
kawan-kawan.
Buku-buku karya Pidi Baiq termasuk yang sering dibajak.
Baca Tips Untuk Mengenali Buku Bajakan agar tidak tertipu.
Perjalanan ke Masa Lalu yang Terganggu
“Kesezamanan” saya dengan
setting tempat dan waktu dalam novel ini membawa ingatan saya menelusuri
Bandung di tahun 1990-1991.
Ketika Bandung masih berkabut putih pada pukul enam pagi, ketika Cisangkuy masih jadi tempat hang out andalan anak-anak SMA.
Ketika Bandung masih berkabut putih pada pukul enam pagi, ketika Cisangkuy masih jadi tempat hang out andalan anak-anak SMA.
Namun, kenikmatan mengenang masa lalu itu terganggu
di halaman 295.
Zaman
dulu batasan masa studi maksimal bisa sampai 14 tahun, jadi mahasiswa akan
cukup banyak waktu untuk aktif di keorganisasian.
Pada tahun 1990-an itu, masa studi maksimal bukan 14 tahun
melainkan 14 semester (alias 7 tahun).
Semoga di cetakan berikutnya (optismistis cetak ulang lagi kalau melihat antusiasme penggemar Dilan) ada perbaikan penyuntingan di bagian ini.
Semoga di cetakan berikutnya (optismistis cetak ulang lagi kalau melihat antusiasme penggemar Dilan) ada perbaikan penyuntingan di bagian ini.
Gangguan lain adalah pada
banyaknya kalimat “seperti yang Lia ceritakan di bukunya”. Kalimat ini memang
bisa membuat penasaran para pembaca yang memulai membaca Dilan dari buku
ketiga.
Di sisi lain, sekaligus membuat kesal karena terlalu banyak pengulangan seperti ini.
Di sisi lain, sekaligus membuat kesal karena terlalu banyak pengulangan seperti ini.
Yang juga mengganggu saya
adalah kualitas jilidannya. Untuk buku setebal 360 halaman, jilidannya kurang
kuat. Buku yang saya baca (mudah-mudahan hanya yang di tangan saya) “dedel
dowel” di halaman 264.
Novel Milea dedel dowel. Hiks :( |
Hiks, padahal sejak awal
membaca saya sudah sangat berhati-hati membaca buku ini supaya tidak terlipat
dan ternoda.
Bagian-bagian yang saya anggap penting dan menarik saya tempeli kertas post it, tidak saya coret dan lipat seperti biasanya. Tapi yah… nasib berkata lain.
Bagian-bagian yang saya anggap penting dan menarik saya tempeli kertas post it, tidak saya coret dan lipat seperti biasanya. Tapi yah… nasib berkata lain.
Ketika Hari-Hari Penuh Rindu
Di
luar ketiga hal itu, saya menikmati Milea
meski sempat agak bosan dengan cerita yang Dilan-Milea melulu.
Untungnya
kesimpelan, keapaadaan, dan kekonyolan Dilan membuat saya bertahan membaca buku ini sampai habis dan tersenyum-senyum karenanya.
Saya
suka cara Bunda berkomunikasi dengan anak-anaknya (meskipun si anak terlibat
geng motor).
Saya suka cara Ayah yang militer mendidik anak-anaknya. Tegas namun kocak dan bersahabat.
Saya
suka kekonyolan Dilan sejak kecil yang memberi nama “Mobil Derek” untuk
sepedanya, yang memberi kado ulang tahun untuk Milea berupa buku TTS yang sudah
diisi.
Saya
suka romantisme Dilan ketika mengenang Milea. Saya
suka romantisme Milea ketika mengenang Dilan. Saya suka, meski terasa ada yang menusuk di hati dan membuat mata menjadi panas. #tuhkanjadibaper
Banyak
kalimat yang saya suka dan menurut saya quotable
banget. Bahkan puisi sederhana dari Milea untuk Dilan pun saya suka.
“Apakah kamu rindu? Aku di sini, Dilan. Jauh, Jauh.” (halaman 331)
Tanpa
bermaksud merusak buku keren ini atau promosi colongan, kalimat (menjelang)
terakhir dalam novel ini mirip dengan kalimat dalam novel saya, Limit, yang saya tulis tahun 2013 dan terbit tahun 2014.
“Dan sekarang, yang tetap di dalam
diriku adalah kenangan, di sanalah kamu selalu.” (Milea. Pastel Books, 2016).
“Lihatlah dalam kenanganmu tentangku.
Ada aku di sana selamanya.” (Limit. KPG, 2014)
Kita memang hidup dalam kenangan masa lalu dan harapan masa depan.
Grab It Fast
Di mana bisa membeli novel
Milea: Suara dari Dilan ini?
Kalau kamu tidak sempat meluncur ke toko buku, bisa kok beli online di www.mizanstore.com. Diskon 15%, lho. Atau kalau mau membeli e-book Milea ini, langsung saja ke Playstore.
Kalau kamu tidak sempat meluncur ke toko buku, bisa kok beli online di www.mizanstore.com. Diskon 15%, lho. Atau kalau mau membeli e-book Milea ini, langsung saja ke Playstore.
Sedikit bocoran dari
Dilan, bakal ada buku keempat, nih. Jadi, jangan sampai ketinggalan buku ketiga
ini, ya.
Buku ini bukan hanya cocok dibaca remaja, tetapi juga oleh orangtua. Bukan untuk nostalgia masa remaja belaka tetapi untuk belajar ilmu parenting secara santai dari Ayah dan Bunda.
Buku ini bukan hanya cocok dibaca remaja, tetapi juga oleh orangtua. Bukan untuk nostalgia masa remaja belaka tetapi untuk belajar ilmu parenting secara santai dari Ayah dan Bunda.
Identitas Buku
Judul : Milea, Suara dari Dilan
Pengarang: Pidi Baiq
Penerbit : Pastel Books (Grup Mizan), September 2016
Cetakan :
Ke-2
Tebal : 360 halaman
ISBN : 978-602-0851-56-3
Harga :
Rp 79.000.
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.