Buku Obral
Kalau sering online di Facebook, ada satu tema yang belakangan ini kerap muncul dan bikin baper sebagian penulis. Cuci gudang grup penerbit terbesar di Indonesia. Gramedia.
Termasuk dalam grup penerbit ini adalah Penerbit Gramedia Pustaka
Utama, Elex Media Komputindo, Grasindo, KPG, M&C, Bhuana Ilmu Populer
(BIP), Bhuana Sastra, Penerbit Buku Kompas, Quanta, Qibla, Kalil, Glitzy, Ice
Cube, Kiddo, dan Muara.
Bukan sekadar menjual buku
murah dan buku obral di toko buku, melainkan cuci gudang besar-besaran. Gramedia big sale!
Penyelenggaraannya di lima
kota tempat gudang grup penerbit tersebut berada: Yogyakarta, Surabaya
(tepatnya di Sidoarjo), Bandung, Pekanbaru, dan Tangerang Selatan
(Jabodetabek).
Bandrol harganya membuat
terperangah. Pembaca buku tertawa girang karena bisa belanja buku dengan harga murah. Pedagang
buku online berbinar-binar karena
bisa kulakan buku obral berkualitas. Dengan modal kecil bisa dapat banyak buku bagus.
Penulis? Terdiam kelu. Pilu. Apalagi jika sampai di-tag seseorang, “Hei, gue beli buku lo di obralan, nih. Wkwkwk…. Murah bangeeet!” Ya, Salaaam. Tolong, buku saya diobral!
Penulis? Terdiam kelu. Pilu. Apalagi jika sampai di-tag seseorang, “Hei, gue beli buku lo di obralan, nih. Wkwkwk…. Murah bangeeet!” Ya, Salaaam. Tolong, buku saya diobral!
Ada Apa dengan Buku Obral?
Buku dijual dengan harga
murah, bahkan diobral besar-besaran, bukan terjadi tanpa sebab.
“Alaaa…. Paling juga bukunya jelek, nggak mutu, makanya nggak
laku trus dijual obral.”
Oh, please. Baca dulu tulisan saya ini, ya, sebelum sampai pada kesimpulan
seperti itu.
Sejak tahun lalu, sebuah
informasi tersiar santer di kalangan para penulis grup Gramedia. Informasi yang
membuat banyak penulis mendadak kehilangan kata.
Informasi itu tak lain
tentang nasib buku-buku yang diterbitkan oleh grup Gramedia. Jika dalam waktu
tiga tahun setelah terbit sebuah buku tidak habis terjual, maka buku tersebut
akan dimusnahkan.
Dimusnahkan! Penulis buku
mana yang tidak speechless karenanya?
Menulisnya berbulan-bulan, kadang sampai bergadang, sampai punggung pegal dan bermata
panda demi hasil terbaik.
Menunggu jawaban acc terbit selama berbulan-bulan, bahkan sampai hitungan tahun. Menjalani proses revisi yang melelahkan. Lalu sekarang…. begini nasibnya.
Menunggu jawaban acc terbit selama berbulan-bulan, bahkan sampai hitungan tahun. Menjalani proses revisi yang melelahkan. Lalu sekarang…. begini nasibnya.
Saya sendiri beberapa kali
bertanya tentang hal ini pada editor saya.
“Betul, Eno. Buku-buku
lama yang tidak juga habis terjual nantinya akan dijadikan bubur kertas,” ujar
Mbak Linda, editor senior di Elex Media Komputindo, “tapi bukan untuk mencetak
buku baru. Kertas untuk buku baru tidak bisa menggunakan kertas daur ulang.”
Keputusan untuk
memusnahkan buku-buku lama itu bukan tanpa pertimbangan.
Salah satu pertimbangannya adalah gudang-gudang yang tak bisa lagi menampung buku. Buku baru selalu terbit, sedangkan buku yang terbit lebih dahulu belum tentu sudah habis terjual.
Penjualan buku pun sekarang sedang melesu, terseok dihantam oleh gadget. Orang-orang lebih suka membaca gratisan di berbagai web.
Salah satu pertimbangannya adalah gudang-gudang yang tak bisa lagi menampung buku. Buku baru selalu terbit, sedangkan buku yang terbit lebih dahulu belum tentu sudah habis terjual.
Penjualan buku pun sekarang sedang melesu, terseok dihantam oleh gadget. Orang-orang lebih suka membaca gratisan di berbagai web.
Buku-buku yang terkena
ketentuan ini adalah yang berusia tiga tahun ke atas. Karena sekarang tahun
2016, berarti yang terkena kebijakan ini adalah buku tahun 2013 ke belakang.
Tentu, untuk sampai pada
tahap dimusnahkan itu nggak ujug-ujug. Ada serangkaian tahapan yang harus dilalui untuk
sampai ke titik akhir itu. Setiap tahapnya pun sudah dipertimbangkan
matang-matang.
“Tidak
mudah bagi penerbit untuk mengobral atau membuburkan buku. Kami sampai rapat berkali-kali
untuk membahas hal itu,” ujar Mbak Linda.
Pada awal-awal terbit,
buku dijual dengan harga normal. Setahun tidak habis terjual, barulah mulai dijual
dengan diskon. Besarannya bertahap. Diskon 20%, 25%, diskon 30%, 40%, 50%, dan seterusnya.
Belum habis juga? Maka, jadilah
buku obral. Di Bandung saya sering menemukan buku murah ini di Gramedia Merdeka
(karena ini yang aksesnya paling mudah dari rumah saya).
Buku obral dibandrol dengan harga Rp10.000 sampai Rp20.000. Atau “harga mulai Rp5.000.”
Buku obral dibandrol dengan harga Rp10.000 sampai Rp20.000. Atau “harga mulai Rp5.000.”
Masih belum habis? Harga buku
obral diturunkan lagi. Dijual dengan dua harga, Rp5.000 dan Rp10.000.
Ini yang sekarang terjadi dalam big sale di gudang-gudang Penerbit Gramedia.
Ini yang sekarang terjadi dalam big sale di gudang-gudang Penerbit Gramedia.
Menurut panitia Gramedia Big
Sale Bandung, Hilman Rahmadi, di gudang Gramedia Caringin terjual 211.847
eksemplar buku obral selama periode 15-31 Oktober. Dan masih ratusan
ribu−mungkin jutaan−eksemplar buku obral yang menumpuk di gudang
Kalau sampai tahap ini masih
belum habis juga? Well, harga buku murah turun lagi.
All item dijual dengan harga Rp 5.000. Tebal tipis goceng. Komik-komik Jepang bahkan dijual seharga Rp 2.500 per eksemplar.
Masih tidak habis juga?
All item dijual dengan harga Rp 5.000. Tebal tipis goceng. Komik-komik Jepang bahkan dijual seharga Rp 2.500 per eksemplar.
Masih tidak habis juga?
Dilema Penulis
Mendapat informasi tentang buku obral ini jauh-jauh hari, ternyata tidak membuat saya menjadi lebih kuat.
Saya bisa memahami kondisinya.
Namun, saya tetap merasa terpukul ketika tanggal 2 November sore Kang Hilman memberi kabar via WA bahwa tanggal 3-13 November buku-buku obral di Gramedia Big Sale Bandung dijual dengan harga Rp 5.000 all item.
Namun, saya tetap merasa terpukul ketika tanggal 2 November sore Kang Hilman memberi kabar via WA bahwa tanggal 3-13 November buku-buku obral di Gramedia Big Sale Bandung dijual dengan harga Rp 5.000 all item.
Saya menangis sore itu.
Saya tahu. Sebagai pembaca buku saya seharusnya gembira.
Saya juga tahu, sebagai pemilik lapak buku online saya seharusnya bersorak. Dikira-kira saja berapa keuntungan yang bisa saya dapatkan.
Saya juga tahu, sebagai pemilik lapak buku online saya seharusnya bersorak. Dikira-kira saja berapa keuntungan yang bisa saya dapatkan.
Nyatanya, saya malah menitikkan
air mata. Mungkin karena saya penulis buku dan saya telanjur tahu vonis apa
yang menunggu buku-buku itu jika tak juga habis terjual setelah diobral semurah
itu.
Tidak, Teman. Tidak benar
anggapanmu bahwa buku-buku obral adalah buku-buku yang jelek dan tidak
berkualitas.
Di rak-rak obral yang tinggi menjulang itu saya dapatkan buku-buku karya Ahmad Tohari, Hermawan Kartajaya, James Gwee, Rhenald Kasali, Jack Canfield (Chicken Soup Series), Stephen King, Michael Crichton, Arswendo Atmowiloto. Bahkan ada yang pernah mendapatkan buku-buku seri Why, seri What, dan Harry Potter. Di big sale Pekanbaru ada teman saya yang mendapatkan novel Tere Liye.
Itu sekadar menyebut nama.
Banyak, sangat banyak, buku karya penulis yang saya kenal dan saya tahu
kualitas mereka.
Novel-novel karya pemenang lomba menulis, novel yang diifilmkan, novel yang pernah menjadi best seller pun terdampar di cuci gudang ini. Tak perlulah saya tulis nama teman-teman saya itu di sini.
Novel-novel karya pemenang lomba menulis, novel yang diifilmkan, novel yang pernah menjadi best seller pun terdampar di cuci gudang ini. Tak perlulah saya tulis nama teman-teman saya itu di sini.
Seorang penulis yang
pernah mendapat royalti ratusan juta rupiah dari buku-bukunya dalam satu
periode pembayaran royalti (enam bulan), bukunya juga ada yang berakhir di rak
obralan ini.
Beberapa dari 14 buku saya yang terbit di Grup Gramedia pun saya temukan di sana (buku lama dan hanya beberapa eksemplar).
Beberapa dari 14 buku saya yang terbit di Grup Gramedia pun saya temukan di sana (buku lama dan hanya beberapa eksemplar).
sedih. Perih. Makin
sedih kalau ada yang mengunggah foto buku saya yang diobral itu, lalu ngetag
saya dan sejuta umat lainnya. Tapi saya nggak bisa apa-apa.
Saya juga nggak bisa dihibur dengan kata-kata basi, “Udah, ikhlaskan saja”, “Besok buat yang lebih bagus”, “Anggap aja itu amal jariah”, dan sebagainya.
Saya juga nggak bisa dihibur dengan kata-kata basi, “Udah, ikhlaskan saja”, “Besok buat yang lebih bagus”, “Anggap aja itu amal jariah”, dan sebagainya.
Ikhlaskan? Begitu saja
mengikhlaskan buku-buku itu dijual lebih murah daripada seporsi seblak? Begitu
saja mengikhlaskan buku-buku itu nantinya dihancurkan?
Ikhlas bukan berarti
pasrah tanpa usaha. Pasrah tanpa usaha sama saja dengan menyerah. "Terserah, deh. Mau dihancurkan ya hancurkan saja." Hiks. Saya nggak bisa begitu.
Cukup banyak yang berkomentar, "Daripada dihancurkan, kenapa nggak dibagi-bagi gratis aja, sih? Disumbang-sumbangan ke perpustakaan dan rumah baca di pelosok-pelosok."
Ternyata urusannya tak sesederhana itu.
“Kami juga susah, Eno. Kami tidak bisa memberikan buku-buku itu gratis seperti keinginan sebagian orang. Siapa yang mau menanggung ongkos kirimnya yang mahal? Kalau penerbit yang menanggung, berarti penerbit harus rugi dua kali,” ujar Mbak Linda. “Selain itu, siapa yang bisa menjamin buku-buku yang diberi gratis itu nantinya nggak akan dijual di luar?”
Saya pribadi juga sebenarnya
tidak setuju dengan “bagi-bagiin gratis aja”. Cuma saya melihat dari sisi yang
berbeda. Tepatnya, dari sisi penulis yang sering dipalakin, bahkan oleh teman
sendiri.
Yang sering terjadi
sekarang:
Penulis K:
Alhamdulillaaah. Buku baruku terbit. Seneng banget.
Y:
Buat gue gratis ya. Kan gue temen lo.
Penulis
K: @!$#*^*!!! #TemenMacamApaLo #TemenKokMalak #KeLautAjaSonoJadiTerumbuKarang
Yang terbayang di benak
saya kalau buku sampai digratiskan seperti keinginan sebagian orang adalah
begini:
Penulis A: Hai, hai. Buku
baruku udah bisa didapetin nih di toko-toko buku di kotamu. Di toko-toko buku
online juga ada. Grab it fast, yes.
X: Ngapain gue beli buku
lo? Mendingan gue tunggu tiga tahun lagi aja. Ntar juga kalo buku lo nggak laku bakal
dibagi-bagi gratis.
Penulis A: :’( :’( :’(
*baca doa orang terzalimi*
Kebayang, para penulis
buku akan semakin terengah-engah (sekarang saja royalti seratus ribu doang
tetep langsung dipotong PPh sebesar 15%) dan penerbit akan terus merugi.
“Bagi sebagian orang obral ini menyenangkan, tapi tidak bagi kami yang terkait dalam menerbitkan buku-buku yang diobral. Memang tidak ada satu pihak pun yang mau disalahkan. Namun, dengan semakin seringnya ada obral di berbagai daerah, ini menunjukkan dunia literasi di Indonesia dalam kondisi memprihatinkan.” (Linda Razad)
Ikhlas Bukan Tanpa Usaha
Saya cuma bisa menarik
napas panjang. Mencoba meredakan nyeri di dada. Tapi saya masih menolak
menyerah.
Kalaupun nantinya buku-buku itu harus dihancurkan untuk memberi ruang bagi buku-buku baru, saya ingin menyelamatkan buku-buku obral itu sebanyak mungkin.
Kalaupun nantinya buku-buku itu harus dihancurkan untuk memberi ruang bagi buku-buku baru, saya ingin menyelamatkan buku-buku obral itu sebanyak mungkin.
Saya sendiri jelas tidak
sanggup. Alhamdulillah, beberapa teman mengulurkan tangan.
Donasi mengalir masuk dengan pesan, “Tolong belikan buku untuk anak-anak panti asuhan ya, No.”
Donasi mengalir masuk dengan pesan, “Tolong belikan buku untuk anak-anak panti asuhan ya, No.”
Selain untuk panti asuhan, juga untuk rumah baca masyarakat dan perpustakaan sekolah (yang bukan dari kelas ekonomi menengah atas).
Buku-buku bacaan dari para donatur untuk rumah baca dan sekolah-sekolah. |
Sebagian teman heran karena saya bolak-balik ke Gramedia Big Sale, belanja buku murah sampai berkardus-kardus tapi yang saya unggah di lapak buku online saya cuma 50-an buku.
“Sebagian kecil pesenan
temen untuk koleksi pribadi. Sebagian besar pesenan temen buat disumbangkan,”
jelas saya.
“Sisi penulis kamu tetap
menang daripada sisi pedagang kamu ya, No,” komentar sahabat saya.
Sepertinya begitu.
Sebenarnya ketika ke gudang Gramedia itu saya juga mau mencari buku murah buat
dagangan sih. Namun, ketika mencari buku, justru wajah anak-anak yang nggak
saya kenal itu yang melintas di benak saya.
Beberapa rumah baca, panti
asuhan, dan sekolah yang mendapat donasi dari teman-teman, mengirimkan foto
mereka.
Hati saya meleleh. Air mata saya pun meleleh ketika melihat anak-anak itu, terlebih mereka yang di panti asuhan. Saya teringat anak-anak saya sendiri.
Hati saya meleleh. Air mata saya pun meleleh ketika melihat anak-anak itu, terlebih mereka yang di panti asuhan. Saya teringat anak-anak saya sendiri.
Ah, cuci gudang Gramedia
ini berkali-kali membuat air mata saya menitik. Iya, saya memang baperan.
Seperti kata Kang Emil,
“Hidup adalah udunan.” Dengan udunan, kita bantu sesama kita.
Gramedia Big Sale di
Bandung hanya sampai tanggal 13 November. Jika Teman-teman di Bandung dan
sekitarnya ingin langsung ke sana dan memborong buku, silakan.
Lokasinya di Jalan Caringin No. 74. Sekitar satu kilometer dari Terminal Leuwipanjang, nggak jauh dari Pasar Induk Caringin.
Ancer-ancer, akses angkutan umum, sistem masuknya, dan sebagainya sudah saya tulis di Gramedia Big Sale, Borong Buku Murah Nggak Pake Mahal
Lokasinya di Jalan Caringin No. 74. Sekitar satu kilometer dari Terminal Leuwipanjang, nggak jauh dari Pasar Induk Caringin.
Ancer-ancer, akses angkutan umum, sistem masuknya, dan sebagainya sudah saya tulis di Gramedia Big Sale, Borong Buku Murah Nggak Pake Mahal
Buku diobral dan dimusnahkan memang menyakitkan. Namun, lebih menyedihkan lagi jika buku yang kita tulis tak ada yang membacanya.
Yuk kita "selamatkan" buku-buku itu dengan memborong mereka, baik untuk koleksi pribadi maupun untuk disumbangkan.
Sedikit dari kita, berarti sangat besar bagi adik-adik dan saudara-saudara kita.
Semoga kelak para penikmat buku tergerak hatinya untuk membeli buku pada bulan-bulan pertama terbitnya. Bukan menunggu sampai buku dijual seobral-obralnya.
Sedikit dari kita, berarti sangat besar bagi adik-adik dan saudara-saudara kita.
Semoga kelak para penikmat buku tergerak hatinya untuk membeli buku pada bulan-bulan pertama terbitnya. Bukan menunggu sampai buku dijual seobral-obralnya.
Special Thanks
Terima kasih pada semua teman
yang sudah mengikhlaskan rezekinya untuk berbagi dengan adik-adik kita.
Terima kasih pada Kang
Hilman dkk yang ikhlas membantu membawakan tas belanja dan kardus-kardus penuh
buku. Yang tetap melayani dengan ramah di tengah jutaan buku yang berantakan. Yang
tetap sabar menghadapi tingkah para pengunjung yang ada-ada saja. Dari
“berenang” di tumpukan buku, melempar buku yang tidak jadi diambil, sampai
menginjak-injak buku di lantai. Kalian memang bening hebat, bikin envy pemburu buku di kota lain.
Terima kasih (lagi) pada
Kang Hilman yang sabar nemenin saya ngobrol. Sedikit terhibur rasanya hati penulis baper ini
ketika tahu bukan saya sendiri yang sedih saat berada di tengah lautan buku
obral itu.
Salam,
Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
www.trianiretno.com
Salam,
Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
www.trianiretno.com
akhir2 ini saya gak pernah lagi membaca buku ,,, udah terlalu fokus ke zaman now ...tapi setelah baca ini ,, saya sangat terpukul ,,
BalasHapussemangat truss penulis ,,, lemari saya akan kembali saya isi dengan buku2 lagi