Kurang lebih gitu, deh, ocehan saya ketika mengisi workshop menulis fiksi yang diadakan oleh Bitread.
Kelas menulis fiksi tersebut berlangsung di Bale Pabukon, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, tanggal 20 Oktober 2016.
Kelas menulis fiksi tersebut berlangsung di Bale Pabukon, Universitas Padjadjaran, Jatinangor, tanggal 20 Oktober 2016.
Seputar acara kepenulisan saya bisa dibaca juga di:
Fiksi Bukan Sekadar Khayalan
Fiksi memang diartikan sebagai cerita yang berdasarkan
khayalan. Namun, dengan fiksi kita dapat merekam realitas sosial budaya.
Dengan fiksi kita dapat mencatat sejarah. Dengan fiksi kita dapat menyampaikan gagasan, pemikiran, dan harapan.
Dengan fiksi kita dapat mencatat sejarah. Dengan fiksi kita dapat menyampaikan gagasan, pemikiran, dan harapan.
Hafalan
Surat Delisa (Tere Liye) dan Aloen Buluek (Ayi Jufridar) sama-sama mengambil latar peristiwa
tsunami di Aceh tahun 2004. Serambi
Mekkah (Tasaro) mengambil konflik di Aceh. Novel 1998 (Ratna Indraswari Ibrahim) memotret peristiwa tahun 1998.
Novel
saya, Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya, mengambil kisah anak-anak yang menjadi korban kekerasan
dalam rumah tangga (KDRT).
Untuk menulis novel itu saya membaca banyak berita di koran dan internet, serta berita di TV.
Untuk menulis novel itu saya membaca banyak berita di koran dan internet, serta berita di TV.
Itu sekadar menyebut contoh.
Logika Fiksi
Dalam menulis fiksi, ada dua macam logika. Logika
ilmiah dan logika fiksi.
Logika ilmiah itu yang kebenarannya memang teruji secara ilmiah di dunia nyata. Misalnya air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Logika ilmiah itu yang kebenarannya memang teruji secara ilmiah di dunia nyata. Misalnya air mengalir dari tempat yang tinggi ke tempat yang lebih rendah.
Logika fiksi adalah logika yang berlaku dalam karya fiksi.
Dalam dunia nyata tidak ada manusia yang bisa terbang seperti Superman. Namun,
dalam dunia fiksi bisa dijelaskan secara logis kenapa Superman bisa terbang.
Tentu bukan karena dia pakai underwear merah di luar #sigh melainkan karena dia memiliki sel-sel makhluk Planet Krypton yang antigravitasi.
Tentu bukan karena dia pakai underwear merah di luar #sigh melainkan karena dia memiliki sel-sel makhluk Planet Krypton yang antigravitasi.
Workshop Menulis Fiksi
Karena ini judulnya workshop menulis, jadinya ya mesti
nulis-nulis. Untuk acara pelatihan menulis ini saya hanya diberi waktu 1,5 jam.
Di
TOR-nya sih tiga jam, tapi ternyata waktu 1,5 jam lainnya dipakai oleh teman-teman
mahasiswa untuk unjuk kemampuan di panggung.
Waktu 90 menit jatah saya itu sudah termasuk perkenalan,
obrol-obrol, pemaparan materi, tanya jawab, dan praktik menulis.
Hehe… pusing juga, sih. Waktu segitu mah buat ngobrol
aja kurang, yak. Akhirnya, praktik menulis dilakukan dari sesuatu yang
sering jadi masalah: nggak tahu mau nulis apa.
Saya mengambil jurus tiga katanya AS Laksana. Ambil
tiga kata secara acak, lalu kembangkan jadi satu paragraf.
Kata pertama harus menjadi kata pembuka paragraf. Kata kedua dan ketiga bisa diletakkan di mana saja di dalam paragraf.
Ketiga kata ini menjadi pemecah kebuntuan ketika tidak tahu akan menulis apa. Dengan tiga kata itu, menulislah.
Kata pertama harus menjadi kata pembuka paragraf. Kata kedua dan ketiga bisa diletakkan di mana saja di dalam paragraf.
Ketiga kata ini menjadi pemecah kebuntuan ketika tidak tahu akan menulis apa. Dengan tiga kata itu, menulislah.
Dengan waktu yang mepet banget (karena panitia udah
bolak-balik ngasih kode), praktik menulisnya jadi paket 2 in 1 deh.
Pertama, saya menyodorkan tiga kata untuk dikembangkan menjadi satu paragraf. Tiga kata yang saya sodorkan itu adalah bengong, kucing, hujan.
Pertama, saya menyodorkan tiga kata untuk dikembangkan menjadi satu paragraf. Tiga kata yang saya sodorkan itu adalah bengong, kucing, hujan.
Kedua, saya meminta peserta workshop menulis sebuah
paragraf yang dimulai dari kata seru “Gila!”. Yang kedua ini berhubungan dengan
pemakaian gesture (gerak tubuh), ekspresi,
dan suasana sekitar dalam cerita fiksi.
Penggunaan gesture,
ekspresi, dan suasana ini adalah untuk menjadikan cerita lebih hidup, lebih
bernyawa.
Peserta boleh memilih akan mempraktikkan yang mana.
Iya, idealnya sih dua-duanya, ya. Tapi durasi, Kakaaaak. Durasiiii :D
Dan ternyata…, peserta bisa bikin tulisan yang keren-keren dari kata-kata yang saya sodorkan kepada mereka.
Dari kata “Gila!” misalnya. Ada yang menuliskan cerita
tentang rasa marah, kesal, takjub, bahkan cinta. Hehe…. Kita kan sering tuh berseru, “Gilaaa!
Keren banget sih lu!”i
Biar nggak buntu, mampir ke blogpost ini ya:
Workshop Menulis
Dalam hajatan Bitread ini, ada dua kelas workshop
menulis sekaligus. Menulis fiksi dengan saya, dan menulis nonfiksi dengan Mas
Brilianto dari Metro TV.
Teman-teman mahasiswa yang ikut kelas menulis nonfiksi
bareng Mas Brili juga pasti dapat ilmu yang keren dan pengalaman yang seru.
Jadi, ayo mulai menulis. Tulisan nggak akan pernah
kelar kalau hanya disimpan di delam kepala.
Menulis membuat kita menjadi lebih berarti. Selamat
bersenang-senang menulis, ya.
Foto bareng. Kayaknya salah posisi, nih. Kita jadi burem berjamaah gitu. :D |
Book signing dulu, yaaa ;) |
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.