Sebenarnya, bukan hanya
Grup Penerbit Gramedia yang menjual buku obral. Penerbit-penerbit lain pun
banyak yang melakukan hal serupa. Buku-buku
yang baru 2-3 tahun terbit sudah dimasukkan ke kategori buku murah.
Sebagai bookhunter yang kerap berkeliling kota, saya pernah menemukan buku teman-teman dijual sepuluh ribu di emperan. Terbitnya baru sekitar 2 tahun yang lalu.
Dijual murah begitu bukan karena buku bajakan. Saya sudah memastikan itu buku asli (silakan baca tips untuk mengenali buku bajakan).
Lalu kenapa bisa terdampar dalam jumlah banyak di emperan? Ternyata karena penerbit tersebut bangkrut. :(
Sebagai bookhunter yang kerap berkeliling kota, saya pernah menemukan buku teman-teman dijual sepuluh ribu di emperan. Terbitnya baru sekitar 2 tahun yang lalu.
Dijual murah begitu bukan karena buku bajakan. Saya sudah memastikan itu buku asli (silakan baca tips untuk mengenali buku bajakan).
Lalu kenapa bisa terdampar dalam jumlah banyak di emperan? Ternyata karena penerbit tersebut bangkrut. :(
Buku murah jelas disambut
hangat oleh konsumen. Di sisi lain, buku yang dijual obral begini meninggalkan
cerita pahit di kalangan pekerja perbukuan.
Penerbit dan Buku Murah
Ketika penerbit terpaksa
menjual buku-bukunya dengan harga obral, sebagian kalangan beranggapan, “Biar
saja. Kan mereka sudah dapat untung besar dari buku-buku best seller.”
Saya tidak tahu seberapa
besar keuntungan yang didapat penerbit. Saya hanya pekerja kreatif, freelance pula. Yang sangat terasa adalah:
- Seleksi
naskah semakin ketat. (Hikmahnya, buku yang terbit mestinya semakin berkualitas)
- Syarat
kirim naskah semakin berat. Beberapa teman (terutama newbie) mengeluh karena penerbit meminta informasi tentang jumlah follower mereka di media sosial (terutama Facebook, Twitter, dan Instagram), tentang
konsep pemasarannya nanti, dan sebagainya. Bahkan kabarnya ada yang mensyaratkan penulis harus
membeli sekian eksemplar buku tersebut.
- Jumlah
eksemplar terbit semakin sedikit. Dulu cetakan pertama bisa sampai 7.000
eksemplar, sekarang hanya sekitar 2.000 eksemplar.
- Persentase
DP (down payment, uang muka) mengecil.
- Editor lepas jarang mendapat order.
Belum lagi kabar-kabar
tentang adanya pengurangan pegawai di beberapa penerbit.
Logikanya, kalau sudah pengetatan di mana-mana begitu, pasti keuntungan mereka tak sebombastis yang diduga awam, kan?
Logikanya, kalau sudah pengetatan di mana-mana begitu, pasti keuntungan mereka tak sebombastis yang diduga awam, kan?
Pengetatan itu imbasnya ke
mana-mana, termasuk ke para penulis, ilustrator, editor, pegawai percetakan, dan lain-lain yang
mencari nafkah dari industri buku. Dan itu jelas berdampak pada keluarga yang
mereka nafkahi.
Penulis dan Royalti Buku
Bagi orang awam, atau
mereka yang ngebet ingin menerbitkan buku, kata buku terbit dan royalti
mungkin terdengar sangat seksi.
Tak jarang saya baca celotehan para newbie yang ingin mendapat royalti.
Tak sedikit yang membayangkan royalti itu selalu berjumlah belasan sampai puluhan juta
rupiah.
Bagaimana kenyataannya?
- Penulis
mendapat royalti sebesar 5%-10% dari harga jual buku karyanya. Pernah ada
newbie yang marah-marah ketika ditawari royalti 10%. Dia inginnya 50%. Lebih
parah lagi ada yang ingin royalti sama dengan harga jual buku. Kalau harga buku 50 ribu, royalti penulis ya 50 ribu per buku *penerbit dan
distributor kerja bakti aja.
- Penghitungan
royalti bukan berdasarkan jumlah buku yang terbit melainkan jumlah buku yang
TERJUAL.
- Royalti
yang didapat oleh penulis, langsung dipotong PPh Pasal 23 sebesar 15%. Itu
kalau punya NPWP. Kalau tidak punya NPWP, pajak royalti penulis tersebut sebesar 30%.
- Berapa
pun royalti yang didapat, langsung dipotong pajak. Mau itu puluhan juta rupiah
atau hanya puluhan ribu rupiah.
- Royalti datang satu kali dalam empat bulan atau enam bulan (tergantung peraturan di masing-masing penerbit).
Kenyataannya, ada penulis
yang mendapat royalti seratus ribu rupiah saja dari satu bukunya dalam tempo 6
bulan. Hebatnya, para penulis ini nggak pernah demo, nggak seperti tetangga
yang dikit-dikit minta kenaikan gaji.
Penulis dan Buku Obral
Lalu, bagaimana jika buku
sampai dijual dengan harga obral?
Lautan buku obral. |
Beberapa penerbit masih memberi royalti meskipun buku diobral. Kalau harga semula Rp 60.000 kemudian diobral Rp 10.000,- berarti royaltinya tinggal Rp 1.000,- per buku langsung dipotong pajak 15%. Perlu kalkulator buat ngitung?
Namun, di beberapa
penerbit lainnya keran royalti otomatis tertutup ketika buku diobral. Laku
1.000 eksemplar dengan harga obral? Yo wis. Penulis udah nggak dapat apa-apa lagi dari buku obral.
Paling-paling yang bisa dilakukan penulis adalah:
- Gigit jari.
- Banyak-banyak istighfar melihat kenyataan tak seindah impian.
- Ngelus dada sendiri. (Ini perlu ditekankan biar nggak salah :p).
- Tersenyum pahit, lebih pahit daripada jamu brotowali.
- Narik napas panjang, sepanjang kenangan indah bersama mantan gebetan.
- Menghibur diri, “Semoga bermanfaat.”
- Berujar pilu, “Kenapa nggak dari kemarin-kemarin sih laku seribu eksemplarnyaaa? Kenapa harus nunggu diobraaaal?”
- Speechless ketika ada yang bilang, “Gue beli buku lo lima rebu. Hahahaha… murah amat sih buku lo!”
- Mencoba bersikap bijaksini: beli buku sendiri buat dijual lagi, jadikan sebagai doorprize, dan berdoa buku obral itu akan memancing kehadiran penggemar baru yang kelak mencari buku-bukunya yang baru terbit.
Penulis pun harus
banyak-banyak bersabar mendapat komentar, “Biarin aja buku kamu diobral. Kan
kamu udah dapat pahala dari tulisanmu.”
(Komentar serupa juga
sering muncul ketika ada yang mengatakan honor tulisannya di media cetak tak
kunjung dibayarkan setelah berbulan-bulan.)
Alhamdulillah, sudah dapat
pahala, ya. Gimana kalau sekarang kamu-yang-ngomong-gitu yang mendapat pahala?
Caranya?
Setiap bulan, bayarkan
tagihan listrik, telepon, dan air, pulsa hape dan internet, ongkos
transportasi, uang belanja sembako dan sandang pangan lainnya, bayar sekolah
dan les anak-anak, biaya kesehatan, biaya riset untuk buku baru, pembelian
barang-barang sandang, biaya sosial, dan sebagainya untuk si penulis buku.
Yuk…beramal saleh dan raih pahala sebanyak-banyaknya.
Berat ya? Hehe… Ada yang
lebih mudah. Belilah buku karya para penulis itu sebelum jatuh ke harga obral.
Jika buku itu bukan seleramu, bisa disumbangkan ke perpustakaan, komunitas, atau panti asuhan yang butuh bahan bacaan. Dapat pahala juga, kan?
Jika buku itu bukan seleramu, bisa disumbangkan ke perpustakaan, komunitas, atau panti asuhan yang butuh bahan bacaan. Dapat pahala juga, kan?
Orang-orang yang mencari
nafkah sepenuhnya dari menulis buku itu benar-benar ada, Beb. Sahabat-sahabat saya ada yang suami istri
penulis.
Ada single parent yang mencari nafkah dari menulis. Ada suami yang menafkahi istri dan anak-anaknya dari menulis. “Penulis” itu profesi yang diakui, lho. Tanya aja ke kantor pajak. :D
Ada single parent yang mencari nafkah dari menulis. Ada suami yang menafkahi istri dan anak-anaknya dari menulis. “Penulis” itu profesi yang diakui, lho. Tanya aja ke kantor pajak. :D
Menulis sebagai ladang amal adalah ketika memulainya dengan nama Allah, meniatkan menulis kebaikan karena Allah. Buku terbit dan dijual adalah ikhtiar untuk mencari rezeki halal (begitu pula dengan tulisan dimuat di media massa dan mendapat honor).
Akankah Terus Menulis Buku?
Sependek pengetahuan saya,
musim obral buku membuat beberapa teman penulis tak lagi menulis buku.
Ada yang shock karena buku debutnya dijual obral pada tahun kedua. Ada yang terpukul karena royalti impiannya ternyata tak sampai setengah juta rupiah.
Ada yang shock karena buku debutnya dijual obral pada tahun kedua. Ada yang terpukul karena royalti impiannya ternyata tak sampai setengah juta rupiah.
Saya, insya Allah, akan terus menulis. Kamu gimana? |
“Saya nggak nulis buku
lagi. Kasihan penerbit yang nerbitin buku saya kalau ternyata nanti nggak
laku,” kata seorang teman yang sudah menulis puluhan buku.
Ada yang berhenti menulis
buku karena realistis: penghasilan yang didapat dari menulis tak bisa mencukupi
kebutuhan hidup sederhana.
Ada yang berhenti menulis
buku lalu pindah menulis di media lain (terutama media noncetak).
Kalau kamu penulis dan
nafkahmu dari menulis, apa yang akan kamu lakukan?
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.