Seperti apa sahabat itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang membuatku ingin selalu menyediakan waktu untukmu.
Sahabat: ”Heiii… kamu diminta nulis
buat edisi spesial juga, kan? Enaknya kita nulis apa, ya?”
Lalu
kita menghabiskan sore itu untuk membahas ide cerita.
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang selalu ingin kubuat tersenyum.
“Sampai kapan di Bukittinggi?”
Sahabat: “Belum tau. Pastinya sampai
badan isi dulu dan kuat.”
“Astagaaa… sampai hamil?”
Sahabat: "Hahaha..."
Bisa
membuatmu tertawa, sungguh menyenangkan. Terlebih aku tahu saat itu kamu sedang
berjuang melawan sakitmu.
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang bersamamu ingin kuwujudkan mimpi.
Sahabat: “Aku mau pensiun dini.
Keluarga nyaranin gitu. Mungkin nanti dagang buku. Kerja sama dengan kamu. Itu
mimpi aku.”
Mewek diam-diam. Kamu lagi sakit. Tapi
kamu tetap punya mimpi. Mimpi kamu melipatgandakan semangatku.
Foto: Nando. |
Seperti
apa sahabat itu?
Bagiku, sahabat adalah kamu yang
membuatku cemas, yang tak ingin kamu kenapa-kenapa.
“Hei, aku lihat di TV ada demo di
kantormu. Ya Allah, rame bangeeet. Kamu nggak apa-apa, kan?”
Sahabat: *kalem* “Nggak apa-apa.
Udah biasa.”
Seperti
apa sahabat itu?
Bagiku, sahabat adalah kamu yang
membuatku ingin menulis spesial untukmu….
Sahabat: “Teeraaaaa! Gila lo ya!
Ngapain bikin note di bawah cerpen lo
kalo gue bawa keripik sanjai? Orang se-Indonesia jadi tau tuh gara-gara kamu!”
Teriakanmu
sore itu membuatku hampir menjatuhkan gagang telepon. Dan sore itu kita
ketawa-ketawa.
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang menjawab tanpa kepo bertanya.
“MPR itu singkatan dari apa, sih?
Majelis Permusyawaratan Rakyat atau Majelis Perwakilan Rakyat?”
Sahabat: “Majelis Permusyawaratan
Rakyat.”
Pertanyaan
aneh di malam hari. Tapi kamu jawab tanpa menuduhku iseng, tanpa bertanya
kenapa. Kamu kenal aku. Nanti juga aku cerita sendiri kenapa bertanya seperti
itu.
Deadline ketat dan kurang tidur membuatku amnesia sebagian waktu itu. Yang terpikir adalah bertanya pada kamu karena kamu sehari-hari berkantor di sana.
Deadline ketat dan kurang tidur membuatku amnesia sebagian waktu itu. Yang terpikir adalah bertanya pada kamu karena kamu sehari-hari berkantor di sana.
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang denganmu aku ingin membagi bahagia.
“Kaget lho waktu ngitung
penghasilanku tahun kemarin buat laporan pajak. Ternyata penghasilanku meningkat
PAS sejumlah yang kukeluarkan untuk membiayai ponakanku. Seneng bangeeet”
Sahabat: “Alhamdulillah. Allah Maha Pemberi rezeki. Allah yang akan mencukupi kebutuhan kita.”
Sahabat: “Alhamdulillah. Allah Maha Pemberi rezeki. Allah yang akan mencukupi kebutuhan kita.”
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu, yang aku bisa menangis tanpa perlu jaim.
“Sediiiih… ditikung kawan sendiri.
Tadinya ngerumusin bareng-bareng dari awal. Tapi tau-tau dia nyebrang ke tempat
lain.” #mewek
Sahabat: “Sebel sih dengernya. Tapi
sabar aja. Insya Allah ada ganti yang lebih baik.”
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang membuatku nyaman.
“Aku pake travel nih dari Bandung.
Kalo ke tempat yang mau kudatangi itu jauh nggak sih?”
Sahabat: “Aku jemput kamu.”
“Eeeh… aku nggak minta dijemput,
lho. Aku naik taksi aja.”
Sahabat: “Nggak apa-apa.”
Nggak
apa-apa dari Bekasi meluncur ke Jakarta untuk menjemput orang Bandung yang
punya reputasi sering nyasar ini.
Ketika menjemput…. “Buset. Nggak
salah nih pool travel? Horor banget tempatnya.”
Memang.
Tapi kamu membuatku merasa nyaman
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang membangkitkan semangatku ketika aku jenuh.
“Aku mau berhenti nulis. 20 tahun
lebih nulis akhirnya bosen juga.”
Sahabat: “Jangan berhenti. Banyak
yang butuh kamu. Abege-abege itu butuh bacaan yang mereka banget tapi berisi
dan positif. Itu kan kamu banget.”
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang mengingatkan untuk shalat dan banyak berdoa.
“Sedih bangeeet :’( “
Sahabat: “Shalat dulu sana. Banyakin
doa. Allah Mahatahu.”
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku,
sahabat adalah kamu yang tetap di sisiku ketika orang lain berpaling.
Sahabat: “Itu… yang kamu ceritakan
di buku itu..kehidupan kamu? Aku nggak nyangka kamu pernah sampai terpuruk
banget begitu. Tapi kamu hebat, bisa bangkit lagi.”
Di
satu masa, ketika satu demi satu kenalanku menjauh, kamu yang bertahun-tahun
hilang justru datang lagi. Mendekat. Menemani aku. Selalu ada untukku
Seperti apa sahabat
itu?
Bagiku, sahabat adalah kamu yang selalu ada ketika
langitku runtuh.
Sahabat: “Ada apa? Kenapa semua
tulisanmu penuh air mata?”
Dan
kamu, 24 jam sehari, 7 hari seminggu, siap kalau aku butuh kamu. Dan kamu, tetap
sabar menanggapi ceritaku.
Kamu
satu-satunya yang memintaku bertahan demi anak-anak ketika semua tak lagi melihat
gunanya bertahan. Belakangan aku baru tahu kenapa. Ah, itu rahasia kita saja.
Sahabat: “Jangan benci sama dia. Gimanapun
dia ayah anak-anakmu, kan?”
Kamu
tetap sabar ketika ada selentingan usil mengatakan kamulah yang menjadi
penyebab badai itu.
Mereka
salah. Salah besar. Justru kamu yang menahan langitku agar tak runtuh dan menimpaku
sampai hancur.
Justru kamu yang menemaniku melewati saat-saat berat itu dan menjagaku agar tetap waras. Agar tak melakukan hal yang lebih gila daripada meninju kaca figura foto sampai hancur....
Justru kamu yang menemaniku melewati saat-saat berat itu dan menjagaku agar tetap waras. Agar tak melakukan hal yang lebih gila daripada meninju kaca figura foto sampai hancur....
Sahabat: “Memang berat. Tapi jangan
nangis. Kamu pasti kuat. Kamu seperti ibuku. Ibuku selalu kuat. Kamu juga pasti
bisa.”
Foto: Nando. |
Delapan
belas tahun persahabatan kita. Kamu menghilang ketika aku menikah. Satu
setengah tahun menghilang, kamu muncul sebentar sekadar say hi. Hei, kamu dapat nomor ponselku dari mana?
Lalu
menghilang lagi. Muncul setahun kemudian untuk mengabarkan kamu sedang kuliah
S2 di UI. Lalu kamu menghilang lagi.
Enam tahun berlalu, baru kamu datang lagi. Dan kamu tak pernah pergi lagi.
Enam tahun berlalu, baru kamu datang lagi. Dan kamu tak pernah pergi lagi.
Kita bersenang-senang
menulis cerita remaja. Membahas ini itu sambil tertawa-tawa. Sesekali
obrolan kita serius. Tentang masalah politik. Tentang kondisi negara kita.
Tentang pilihanmu untuk pindah dari Badan Anggaran Sekretariat Jenderal DPR ke Perpustakaan DPR dan pengaruhnya pada penghasilanmu.
Ah, kamu sudah memilih sebenarnya. Kamu hanya butuh sedikit dukungan dariku.
Kamu Pamit....
Obrolan paling serius terjadi pada akhir 2016. Dipicu oleh postingan kamu di grup rahasia kita, Genk Kompor.Teman-teman GK, aku minta doanya ya agar proses recovery kesehatanku nggak lama seperti ini. Tapi jika memang takdirku sudah dekat, demi Allah aku ikhlas. Hanya yang mengganjal hatiku bagaimana dengan ibuku?
Aku tidak ingin cengeng, saat menuliskan ini aku terisak di balik kubikelku di kantor. Sekali lagi mohon doanya ya. Sekaligus mohon maaf setulusnya jika selama bergaul ada kata dan perbuatan yang tidak berkenan.
Bagiku,
kamu bukan sekadar sahabat. Entah apa menyebutnya. Saudara kembar beda
ibu beda bapak? Separuh diriku? Kepingan yang melengkapi aku?
Kamu seperti cermin bagiku karena banyaknya persamaan di antara kita. Dan ini bukan kamu yang kukenal selama 18 tahun.
Kamu seperti cermin bagiku karena banyaknya persamaan di antara kita. Dan ini bukan kamu yang kukenal selama 18 tahun.
Aku
kejar kamu lewat SMS, WA, inbox FB, dan telepon. Tak diangkat. Sedang
menangiskah kamu? Kenapa sakit rasanya hatiku ketika membayangkan kamu menangis?
Lau
akhirnya kamu menelepon. Suaramu tak seperti biasa. “Sudah kubalas di WA. Tapi
jangan cerita sama siapa-siapa.”
Foto: Nando. |
Kamu
tahu? Aku menangis membaca ceritamu. Esok dan esoknya aku pun menangis setiap
kali mendapat kabar darimu.
Sedang opname, transfusi darah lagi, tak sanggup membaca lebih satu paragraf, transfusi darah sampai tiga botol, pusing, lelah, tak bisa duduk, tak enak makan, menjadi seperti bayi lagi yang harus selalu dibantu ibu….
Sedang opname, transfusi darah lagi, tak sanggup membaca lebih satu paragraf, transfusi darah sampai tiga botol, pusing, lelah, tak bisa duduk, tak enak makan, menjadi seperti bayi lagi yang harus selalu dibantu ibu….
“Penyakitmu nyebar ke mana-mana?”
Sahabat: “Dokter nggak bilang. Tapi
aku dikasih obat macam-macam….”
Andai bisa kulipat jarak antara
Bandung dan Bukittinggi…. Tapi tak bisa. Aku hanya bisa menangis di sini,
ribuan kilometer dari tempatmu. Hanya bisa menyapamu di WA.
“Halooo.... Apa kabar hari ini? Semangat sembuh, yaaa.” *emot buah-buahan, emot es krim, emot bunga, emot senyum*
Meneleponmu? Aku tak sanggup. Bagaimana kalau aku menangis? Tidakkah itu membuat kamu semakin lemah? Aku kuat, kan? Aku kuat? :'(
Sabtu 25 Maret 2017
Kamu datang, hilang, datang, hilang dalam
18 tahun persahabatan kita. Kamu datang lagi tahun 2008 dan tak pernah
pergi lagi. Tapi akhirnya kamu harus pergi.
Allah menyayangimu lebih, lebih, lebih
besar daripada rasa sayang aku ke kamu, daripada rasa sayang teman-teman dan
keluargamu ke kamu.
Pukul 20.15 di hari Sabtu itu, Allah menghapus penyakit yang bertahun-tahun bersamamu. Yang menyebar ke seluruh tubuhmu dan membuatmu drop empat bulan terakhir ini. Allah mengutus Izrail untuk menjemputmu.
Pukul 20.15 di hari Sabtu itu, Allah menghapus penyakit yang bertahun-tahun bersamamu. Yang menyebar ke seluruh tubuhmu dan membuatmu drop empat bulan terakhir ini. Allah mengutus Izrail untuk menjemputmu.
Kabar itu membuatku menangis sepanjang
malam. Shalat, lalu menangis lagi. Berdoa sambil menangis.
Pukul dua dini hari baru aku
tertidur dengan pipi basah air mata. Aku melihat kamu di sebuah ruangan. Kamu tersenyum. Lalu hilang. Kali
ini kamu benar-benar pergi, ya? Nggak akan kembali lagi?
(Tak ada firasat. Kecuali mungkin...rasa kantuk luar biasa yang kerap datang di saat-saat tak wajar selama seminggu sebelum kepergianmu, yang membuatku tertidur tanpa melihat tempat...)
Minggu 26 Maret menjadi hari yang sangat kelabu
bagiku. Air mata seperti tak bisa berhenti mengalir. Begitu saja tumpah ketika
melihat fotomu. Ketika melihat jasadmu terbujur berselimut kain batik. Ketika melihat
jasadmu diusung ke masjid untuk dishalatkan.
Itu kamu? Kamu sudah benar-benar
pergi, ya?
Menuju masjid untuk dishalatkan (Foto: Erdison Nimli). |
Senin, 27 Maret 2017
Aku menangis lagi ketika melihat
banjir duka cita di linimasa FB-ku. Begitu banyak yang sayang sama kamu.
Aku
menangis lagi ketika seorang teman mengirimkan foto pemakamanmu. Ketika jasadmu
diturunkan ke liang lahat.
Kamu sudah benar-benar pergi, ya?
Allah Kariiim. Ar Rahman Ar Rahiiim…. :'(
Foto: Santi Nugroho |
Seperti apa sahabat
itu?
Sahabat itu kamu. Tak semua
tentangmu, tentang kita, bisa kutulis di ruang publik ini.
Tulisan ini sekadar pengingat. Tulisan ini sekadar katarsis untukku keluar dari duka mendalam.
Tulisan ini sekadar pengingat. Tulisan ini sekadar katarsis untukku keluar dari duka mendalam.
Tulisan ini sekadar (mungkin) mewakili rasa kehilangan
teman-teman yang menyayangimu, teman-teman yang pernah merasakan kebaikan hatimu.
Tulisan ini sekadar menjawab pertanyaan sebagian teman tentang kita, tentang aku dan kamu. Jawaban yang aku tahu tak akan memuaskan. Tapi biarlah.
Tulisan ini sekadar menjawab pertanyaan sebagian teman tentang kita, tentang aku dan kamu. Jawaban yang aku tahu tak akan memuaskan. Tapi biarlah.
Cerita lain tentang kita, tentang
aku dan kamu, biar kusimpan rapat saja di sudut hati. Akan kukunjungi jika aku
merindukan kamu.
“Kalau
nanti kamu tak lagi bisa mendengarku, tak bisa lagi melihatku, tak bisa lagi
berkata-kata denganku, lihat dalam kenanganmu tentang aku. Rasakan di hatimu.
Aku akan tetap di sana selamanya.”
(kalimat perpisahan yang diucapkan Eizel pada Keala dalam novel Limit, terbit 2014).
Kamu yang memilih nama Eizel untuk sebuah
naskah yang kutulis sebagai katarsis tahun 2010.
“Kalau kamu masuk ke novelku, kamu mau
jadi tokoh bernama apa?”
Sahabat: “Eizel.”
“Kenapa Eizel?”
Sahabat: “Nggak tau. Suka aja.”
Naskah setebal 150 halaman itu sudah lama jadi tapi
kuputuskan untuk tak menerbitkannya.
Nama Eizel kupakai untuk novel lain yang kutulis tiga tahun kemudian. Limit. Eizel nama yang bagus. Aku suka. Alasan yang sama simpelnya seperti kamu.
Nama Eizel kupakai untuk novel lain yang kutulis tiga tahun kemudian. Limit. Eizel nama yang bagus. Aku suka. Alasan yang sama simpelnya seperti kamu.
Dan hari ini, aku seperti menjadi Keala
yang mencari Eizel dalam kenangannya.
Sahabat: “Hidup kita seperti cerpen-cerpen
yang kita tulis. Bedanya, ini nyata dan kita harus benar-benar menjalaninya.”
Itu kata kamu tujuh tahun yang lalu.
Kamu benar. Ini nyata dan aku harus menjalaninya. Sekarang tanpa kamu.
Semoga ampunan, rahmat, dan kasih sayang Allah selalu bersamamu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
Semoga ampunan, rahmat, dan kasih sayang Allah selalu bersamamu. Innalillahi wa inna ilaihi rojiun.
In memoriam,
Nando (17 Juli 1970 – 25 Maret 2017). |
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.