Kenyataan Hidup Penulis Novel
Kamu
ingin jadi penulis novel? Kamu bertanya-tanya gimana cara menjadi seorang penulis novel?
Saya nggak akan nanya kenapa kamu ingin jadi penulis novel (eh tapi boleh juga sih kalau kamu mau cerita kenapa punya keinginan seperti itu).
Saya cuma ingin kamu tahu kenyataan ini. Kenyataan bahwa hidup sebagai seorang penulis tak seindah drama Korea.
Saya nggak akan nanya kenapa kamu ingin jadi penulis novel (eh tapi boleh juga sih kalau kamu mau cerita kenapa punya keinginan seperti itu).
Saya cuma ingin kamu tahu kenyataan ini. Kenyataan bahwa hidup sebagai seorang penulis tak seindah drama Korea.
1. Pengkhayal Tingkat Tinggi
Penulis novel sering dianggap sebagai pengkhayal. Tukang ngayal. Beda dengan anggapan pada penulis artikel atau penulis buku nonfiksi (buku ilmiah, buku motivasi, dan sejenisnya)Kalau ada teman kita yang ngomong nggak sesuai fakta, pernah nggak kasih komen, “Ngarang lo!” :D Nah, gitu juga dengan menulis novel.
Menulis
novel dianggap cuma butuh kemampuan ngayal, lalu menuliskannya.
“Ah, nulis novel kan gampang. Tinggal ngayal. Nggak perlu riset seperti bikin artikel ilmiah. Gue mesti baca banyak buku nih buat nulis satu artikel doang.”
“Ah, nulis novel kan gampang. Tinggal ngayal. Nggak perlu riset seperti bikin artikel ilmiah. Gue mesti baca banyak buku nih buat nulis satu artikel doang.”
Inhale.. exhale… inhale… exhale…. Bagus, Bu. Jangan mengejan dulu.
Hm…
iya, sih. Ada yang seperti itu. Tapi ada juga yang TIDAK seperti itu. Sinta
Yudisia−sepengetahuan saya−adalah
salah satu penulis yang rajin melakukan riset untuk novel-novelnya. Untuk novel
Existere saja ia melakukan riset
(literatur dan riset lapangan) selama 2,5 tahun.
Boleh
narsis dikit, kan? Saya riset
(literatur) selama setahun plus konsultasi dengan psikolog untuk menulis novel Ibuku Tak Menyimpan Surga di Telapak Kakinya (terakhir cetak ulang
tahun 2013).
2. Semua Dianggap Kisah Pribadi
“Novel XYZ itu kisah Kakak sendiri, ya?”
Siap-siap
aja dapat pertanyaan seperti itu. Faktanya, memang ada kok penulis novel yang
menuliskan kisah hidupnya sendiri. Eung … ada atau banyak, ya? Hehe….
Nggak ada salahnya kok menulis berdasarkan kisah hidup sendiri. Saya tulis khusus di artikel ini:
Nggak ada salahnya kok menulis berdasarkan kisah hidup sendiri. Saya tulis khusus di artikel ini:
Tapi ada juga yang BUKAN menuliskan kisah hidupnya. Dia menulis novel berdasarkan observasi, riset, dan kontemplasi atas realitas.
Nggak
salah sih pembaca nanya gitu. Nggak salah juga penulis novel menuliskan
pengalaman hidupnya sendiri.
Penulis novel terkenal di dunia sekelas J.K Rowling saja memasukkan pengalaman
pribadinya ke novel serial Harry Potter. Bedanya, Rowling meramu ceritanya dengan banyak bumbu.
Well, ada yang tahu bagian mana di Harry Potter yang berangkat dari kisah hidup pribadi Rowling?
Well, ada yang tahu bagian mana di Harry Potter yang berangkat dari kisah hidup pribadi Rowling?
3. Karyamu Disebut Picisan
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, ada beberapa arti “picisan”. Salah satunya adalah “bermutu rendah”. Jadi, novel picisan = novel bermutu rendah.
Sebagian
kalangan menganggap novel selain karya sastra para pujangga besar adalah novel
picisan. Novel teenlit, chicklit, dan sejenisnya kerap dipukul rata sebagai
novel picisan.
Nggak peduli kamu riset bertahun-tahun untuk menulis satu novel, nggak peduli novel teenlit kamu itu membahas rekayasa genetik, ketergantungan narkoba, atau masalah sosial, kalau masih bernama novel teenlit yang berbahasa ngepop, tetap aja disebut novel picisan.
Nggak peduli kamu riset bertahun-tahun untuk menulis satu novel, nggak peduli novel teenlit kamu itu membahas rekayasa genetik, ketergantungan narkoba, atau masalah sosial, kalau masih bernama novel teenlit yang berbahasa ngepop, tetap aja disebut novel picisan.
Sabar,
ya, Kakak :) Lebih khusus tentang novel teenlit bisa dibaca di artikel saya Tips Menulis Novel Remaja.
4. Tak Kompeten Membahas Tema Aktual
Penulis novel sering dianggap tak kompeten membahas tema-tema aktual ( di luar masalah kepenulisan). Sedikit saja bahasannya nggak sesuai dengan pandangan kaum tertentu, langsung deh diserbu hujatan.
“Udah,
nulis novel aja sana! Nggak usah sok-sokan ngebahas politik!”
“Ngapain
penulis novel ngebahas masalah kesehatan? Hei helooo! Ini bukan novel!”
Padahal,
nggak sedikit lho penulis novel yang punya profesi lain dan kompeten di bidang
itu.
Dari latar belakang pendidikan pun, nggak sedikit yang dari lulusan fakultas teknik, psikologi, komunikasi, kedokteran, hukum, biologi, matematika, dan sebagainya. Saya tulis khusus nih di Bukan dari Sastra Bisa Jadi Penulis?
Sekadar menyebut beberapa nama novelis, Tere Liye adalah lulusan Fakultas Ekonomi UI. Marga T dan Mira W adalah dokter. Boy Candra lulusan magister pendidikan. Intan Savitri psikolog.
Dari latar belakang pendidikan pun, nggak sedikit yang dari lulusan fakultas teknik, psikologi, komunikasi, kedokteran, hukum, biologi, matematika, dan sebagainya. Saya tulis khusus nih di Bukan dari Sastra Bisa Jadi Penulis?
Sekadar menyebut beberapa nama novelis, Tere Liye adalah lulusan Fakultas Ekonomi UI. Marga T dan Mira W adalah dokter. Boy Candra lulusan magister pendidikan. Intan Savitri psikolog.
5. Ngapain Beli Novel!
“Ngapain beli novel? Cuma buang duit!”
“Ngapain
baca novel? Wasting time banget!”
“Baca
buku tuh yang bermutu, bukan baca novel!”
“Ngapain
beli novel? Mending beli baju aja.”
"Baca novel itu dosa karena termasuk perbuatan sia-sia!"
"Baca novel itu dosa karena termasuk perbuatan sia-sia!"
Saya
sering mendengar dan membaca komentar seperti itu. Pernah juga melihat seorang
anak dimarahi ibunya karena minta dibelikan novel. Kata si ibu, mendingan beli
baju aja biar kelihatan cantik.
Sejatinya,
novel memiliki fungsi rekreatif, didaktif, religius, moralitas, dan estetis.1
Selain itu, sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Brain Connectivity menyebutkan bahwa membaca novel dapat meningkatkan kerja otak.
Selain itu, sebuah penelitian yang dipublikasikan di jurnal Brain Connectivity menyebutkan bahwa membaca novel dapat meningkatkan kerja otak.
Membaca. |
Masih
berkeinginan menjadi penulis novel?
Bagus! Sekarang kita mulai membaca, melakukan riset, mengasah empati dan kepekaan rasa, menulis yang terbaik. Ayo kita menuliskan kebaikan.
Bagus! Sekarang kita mulai membaca, melakukan riset, mengasah empati dan kepekaan rasa, menulis yang terbaik. Ayo kita menuliskan kebaikan.
Terima
kasih sudah membaca tulisan yang sarat dengan aroma sate padang curhat
ini. Jika berkenan silakan baca perjalanan menulis saya dalam Rekam Jejak di Dunia Menulis.
1 Agustien S, Sri Mulyono, dan
Sulistiono seperti dikutip oleh Andri Wicaksono,M.Pd., dalam buku Pengkajian
Prosa Fiksi (Penerbit Garudhawaca, 2014).
Salam,
Salam,
Wih mantap.. Ada catatan kaki, blog rasa jurnal
BalasHapus:D Blog gado-gado tea. Yang rasa jurnal ada, yang curhat abisss juga ada, yanag advertorial juga ada :D
HapusSeneng deh baca sharingnya Teh Eno. Jadi awal aku kenal dunia literasi itu sejak akhir 2017 yang lalu, niatnya pengen bikin novel. Lama-lama malah kecemplung di dunia nulis artikel. Sekarang nyamannya sih nulis di blog.
BalasHapusMemang nulis novel jadi tujuan utama saya menekuni dunia literasi. Semoga kesampaian target saya tahun ini bisa punya novel sendiri
Hehe...mana yang nyaman aja, Lia. Aku pribadi sejak awal nyemplung ke dunia menulis (clue: zaman masih pakai mesin ketik yang berisik :D) udah berpaham bahwa menulis itu nggak cuma menulis novel. Kebetulan di kampus memang banyak penulis macam-macam aliran. Jadi makin kokoh deh paham itu. Sampai sekarang :)
HapusMasya Allah, saya baru sadar kalau mbak adalah penulis novel Please, deh! yang saya beli saat masih di pesantren. Sampai sekarang bukunya masih adaaaaa. Nggak nyangka sekarang malah bertemu kayak gini. Ngefans banget sama bukunya, Mbak. Suka sekali. Sayangnya dulu saya tidak bisa membeli banyak buku, mesti nabung lama banget biar bisa beli buku. Tapi merasa beruntung salah satu buku yang saya beli adalah buku mbak Retno :)
BalasHapusBTW, menulis novel bukan hal mudah. Salut banget sama penulis yang bisa membuat novel keren apalagi mengandung pesan moral. Nggak semua penulis bisa melakukannya.
Aku pengen banget jadi penulis novel roman yang sastra, tapi sepertinya mesti belajar lebih banyak dulu dari buku-buku sastrawan Indonesia.
BalasHapusTapi, lagi-lagi alasan sih, suka mati gaya kalau nulis lebih dari 150 halaman :)
Daku juga pernah nulis novel, baru satu sih, haha.. itu aja juga pernah ada yg komentar, "kek nya gue tahu nih nama ini..nama itu" ..
BalasHapusNah berarti pan pembacanya tahu yak, bahwa nulis novel itu pakai riset dan pengalaman bukan sekadar ngayal, haha
Keren banget emang nih teh Eno. Pas "Inhale exhale, bagus, Bu. Jangan mengejan dulu." aku langsung auto inget pas mau lahiran, haha
BalasHapusHahaha, pagi-pagi, ngakak haqiqi, pas di bagian ini:
BalasHapus"... inhale, exhale, inhale, exhale. Bagus Bu, jangan ngejan dulu!"
... langsung terbayang suasana ruang bersalin rumah sakit pas melahirkan Yasmin, putriku :)
Jago banget nih mba membawa aku berpetualang.
... dasar penulis novel, hahaha.
Salam kenal dari warga Borneo, mba.
Mungkin ini anjangsana perdana aku ya...?
MasyaAllah, Barakallah mbak. Keren deh novelnya udah jadi best seller. makasih banget tipsnya, aku pengen banget punya buku solo tapi kayaknya bukan genre fiksi deh. Soalnya kayak kurang dapet feelnya. Hehehe..
BalasHapus