Saya juga pernah mengalami hal seperti itu. Trus, bengong di depan laptop. Camilan abis satu stoples, kalimat pertama belum juga ada. Naskah selesai kagak, berat badan nambah mah iya. 😄
Membuka Cerita
Membuka cerita memang
gampang-gampang susah. Ada “beban” tersendiri. Beban itu karena dari
awal ceritalah editor (dan nantinya pembaca) akan menilai cerita kita. Asyik nggak nih
ceritanya? Penilaian itu akan menentukan nasib naskah kita. Kalau asyik, lanjut dibaca dan diproses. Kalau nggak, ya disingkirkan.
Nah, untuk mengurangi
kebingungan, saya bagikan tips dari Cahya Sadar yang dimuat di majalah Anita Cemerlang no. 464 (Terbit tanggal 24
Januari – 2 Februari 1994).
Majalah jadul? Iya, majalahnya memang jadul (bahkan sudah berhenti terbit belasan tahun yang lalu), tapi ilmunya tetap aplikatif sampai
sekarang.
Oya, untuk contoh setiap teknik saya
ambil dari cerpen dan novel saya sendiri. Kecuali teknik terakhir, yang saya kutip dari
buku Mas Gong (Gol A Gong).
Teknik Membuka Cerita
Berikut ini teknik membuka
cerita dari Cahya Sadar.
1. Kalimat langsung.
Gunakan kalimat langsung sebagai kalimat pertama dalam sebuah cerita. Contohnya saya ambil dari buku saya, ya.
“Papaaa! Yang bener aja,
dong, Pa! Masa Tasya mau disekolahin di kampung?” protes Tasya sengit.
“Bukan
di kampung, Ta. Di Bogor!” Papa mengoreksi.
Tasya
mendengus. “Apanya yang di Bogor? Masih
mending kalau di Bogor kotanya. Tapi tadi Papa bilang di luar kota Bogor. Itu, kan, berarti di kampung!”
(Triani Retno A. Novel The Boarding. Penerbit Elex
Media Komputindo, 2015)
2. Narasi atau Paparan
Awali sebuah cerita dengan narasi atau paparan. Apa yang
mesti diceritakan atau dipaparkan?
Pertama, suasana atau
situasi lokasi cerita. Kalau setting-nya di gunung, cerita bisa dibuka dengan
menggambarkan suasana di gunung itu.
Contoh:
Setengah
enam pagi. Hujan
yang turun sejak sore kemarin hingga lepas tengah malam menyisakan dingin yang
menggigit. Udara dingin itu langsung menyapu kedua pipiku.
Brrr....
Aku
bergegas kembali ke dalam rumah sebelum udara dingin itu membekukan diriku.
Belakangan
ini Bandung memang sering berkabut.
(Triani
Retno A. Cerpen “Sleeping Girl” dalam buku The Shy. Penerbit Anak Kita, 2014).
Kedua, memaparkan suasana
hati seorang pelaku.
Contoh:
Amelia
termangu, menatap rumah bercat hijau kebiruan di depannya. Rumah itu….
Helai-helai
daun mangga bergerak pelan ditiup angin pagi. Hanya pohon mangga. Di mana kembang-kembang
soka merah dan kuning yang dulu ada di pinggir-pinggir halaman itu? Di mana
bunga-bunga mawar yang dulu berwarna-warni dan menebarkan aroma harum? Ke mana
perginya semua itu? Bagaimana dengan….
“Benar
ini rumahnya, Bu?”
Amelia
tersentak.
(Triani
Retno A. Novel Ibuku Tak Menyimpan Surgadi Telapak Kakinya. Diva Press, 2012)
Ketiga, menceritakan suatu
peristiwa atau kejadian yang sifatnya “bergerak”. Di sini bukan hanya
menggambarkan benda-benda mati seperti pada Teknik 1 tetapi juga menggambarkan
gerak dari makhluk hidup (manusia) yang ada di lokasi cerita.
Contoh:
Celotehan ibu-ibu yang sedang mengerumuni penjual sayur keliling tiba-tiba
hilang. Seorang perempuan berbaju ungu berbunga-bunga mendekat. Tanpa komando,
semua ibu itu menutup mulut rapat-rapat. Dengan tangan sibuk memilih-milih
sayur, berpasang-pasang mata melirik diam-diam.
Perempuan itu sudah tiba di gerobak sayur yang selalu menjadi pusat
keramaian di pagi hari itu.
Diam mematung di sana.
Seorang ibu berdeham.
Perempuan itu masih mematung.
(Triani Retno A. Cerpen “Suara” dalam buku
Braga Siang Itu. Penerbit Andi, 2013)
3. Puisi atau Lagu
Bisa juga mengawali cerita dengan
bait-bait puisi atau lagu. Tujuannya untuk memberitahu pembaca tentang makna atau
misi yang terkandung dalam cerita.
Yang perlu diperhatikan,
hindari asal comot lagu atau puisi yang tidak ada kaitannya dengan isi cerita.
Contoh:
Laki-laki artinya mempunyai
keberanian.
Mempunyai martabat. Itu artinya
percaya
pada kemanusiaan. Itu artinya
mencintai
tanpa mengizinkan cinta itu menjadi
jangkar.
Itu artinya berjuang untuk menang.
(Alexandros
Panagoulis)
Bumi
di kota kecil di Karesidenan Banten, 91 km barat Jakarta, masih basah oleh
hujan semalam. Butiran air pun masih menempel di dedaunan….
(Gol
A Gong. “Joe” dalam Balada Si Roy. Gong
Publishing, 2010)
Sumber: Cahya Sadar. Rubrik “Semua Orang Bisa Mengarang”. Anita Cemerlang no. 464. Terbit tanggal 24 Januari – 2 Februari 1994. Halaman 68-69. |
Gimana? Sudah nggak bingung lagi, kan? Tips menulis yang lainnya juga bisa dibaca di blogpost yang ini:
- Tips Menulis Novel Remaja
- Kiat Menulis Cerita Humor dan Misteri
- Penggunaan Kata Ucap, Sergah, Seloroh
Kalau kata saya, sih, yang penting berlatih dan berlatih. Baca teori tentang menulis, baca buku berbagai tema, lalu praktik dan praktik menulis.
Happy writing. 😊
Salam,
Triani Retno A
www.trianiretno.com
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.