Tak menunggu lama, saya bekerja sebagai dosen di sebuah PTS
di Jakarta. Dosen muda, manis *hiyuuuh*, single pula, membuat para
mahasiswa sering mendekati saya.
Ada saja mahasiswa (terutama kelas malam) yang menawarkan diri untuk mengantar pulang atau mengajak
hang out di akhir pekan.
Tawaran dan ajakan itu selalu saya tolak demi
wibawa seorang dosen (saya pernah ditegur oleh SDM karena dinilai “terlalu
seperti teman” dengan mahasiswa 😄).
Usia yang tak berbeda jauh ternyata membuat mahasiswa
merasa nyaman curhat pada saya. Dari masalah pacar hingga kesibukan mereka bekerja
apa saja demi membiayai kuliah.
Ada
mahasiswa saya yang bekerja sebagai penyanyi di sebuah night club. Ia bercerita tentang
tetangga-tetangganya di rumah susun. Bukan baru satu kali ia menyaksikan
tetangganya melakukan aborsi karena hamil oleh entah siapa.
“Saya
memang penyanyi klab malam, Bu. Tapi saya perempuan yang punya harga diri. Saya kerja gini
buat biaya hidup. Buat bayar kuliah juga,” ujarnya.
Beberapa
bulan kemudian ia memutuskan berhenti dari night club itu. Ia berhijrah dan
mengenakan jilbab.
“Jakarta
ini keras, Bu,” kata seorang mahasiswa lainnya setelah curhat tentang pekerjaan
serabutannya. Ia cowok, dua tahun lebih muda daripada saya.
Kemandirian Sebagai Perempuan
Ituah saat-saat saya merasa memiliki kemandirian penuh
sebagai seorang perempuan dewasa.
Secara finansial, saya tak lagi bergantung pada
orangtua. Saya membiayai hidup sendiri dengan
gaji dari kantor dan honor menulis.
Saya melakukan pekerjaan yang saya sukai. Saya merasa bermanfaat bagi banyak orang.
Saya melakukan pekerjaan yang saya sukai. Saya merasa bermanfaat bagi banyak orang.
Pada akhir pekan, saya menulis cerpen (ini hobi saya
sejak remaja) atau ngubek-ubek buku di kawasan Senen.
Kalau kemudian saya pindah kerja, bukan karena sering
digoda oleh mahasiswa 😃. Kontrak saya di PTS itu habis. Meski bisa
diperpanjang, saya memilih mengundurkan diri.
Semasa masih jadi dosen. Tau, kan, saya yang mana? 😊 |
Setahun bekerja di kantor baru, saya menikah. Dua tahun
kemudian melahirkan anak pertama.
Keputusan Besar
Keputusan besar yang saya ambil setelah melahirkan adalah
berhenti bekerja. Saya menyimpan ijazah saya, meninggalkan dunia kantor yang
ramai, dan melupakan cita-cita untuk kuliah lagi. Hari-hari saya habis untuk
mengurus putri saya yang cantik.
Namun, galau dan bosan mulai mengusik. Saya merasa minder dan tertohok ketika melihat mantan
teman kuliah menjadi wartawan dan news reader di sebuah TV swasta.
Perasaan galau itu menggila ketika menemukan nama teman lain terpampang sebagai co-producer sebuah program talkshow di TV swasta lainnya.
Perasaan galau itu menggila ketika menemukan nama teman lain terpampang sebagai co-producer sebuah program talkshow di TV swasta lainnya.
Gundah saya menghebat ketika mengetahui teman-teman saya
bekerja di perusahaan-perusahaan besar atau meneruskan kuliah ke luar negeri.
Mereka sudah menjadi perempuan karier yang hebat! Saya?
Saya di rumah, berkutat dengan kain-kain bau ompol. Dengan
lagu Pok Ame-Ame dan Lihat Kebunku. Dengan minyak telon dan
kewajiban menimbang si kecil ke Posyandu.
Sama sekali tak hebat! Tak ada yang bisa dibanggakan!
Kenapa saya mengambil keputusan ini? Bukankah saya lulus cumlaude?
Bukankah saya pernah berkarier sebagai dosen? Seharusnya saya bisa meraih
lebih tinggi lagi.
Masalah-masalah yang kerap dihadapi oleh perempuan Indonesia ini bisa dibaca di Komik Perempuanmu.
Akhirnya Saya Tahu
Putri kecil sayalah yang kemudian meredakan kegundahan
saya. Perkembangannya sungguh menakjubkan.
Ia sudah lancar berbicara ketika anak-anak sebayanya masih menggunakan bahasa bayi. Ia lancar membaca ketika teman-temannya baru belajar mengenal huruf (saya mengajarnya membaca dengan cara bermain).
Ia sudah lancar berbicara ketika anak-anak sebayanya masih menggunakan bahasa bayi. Ia lancar membaca ketika teman-temannya baru belajar mengenal huruf (saya mengajarnya membaca dengan cara bermain).
Ia tak hanya menjadi kebanggaan saya, tetapi juga
guru-gurunya. Berkali-kali ia menjadi satu-satunya murid kelas A yang ikut
berlomba bersama murid-murid kelas B, bahkan mewakili sekolahnya.
Akhirnya, saya tahu untuk apa saya berhenti bekerja
kantoran. Untuk anak-anak saya.
Ini pilihan saya. Ibu lain, perempuan lain, bisa saja memiliki pilihan berbeda.
Ini pilihan saya. Ibu lain, perempuan lain, bisa saja memiliki pilihan berbeda.
Saya
sendiri selalu takjub pada teman-teman yang tetap ngantor setelah punya
anak. Sungguh takjub. Mereka perempuan-perempuan hebat.
Saya sendiri tak sanggup jika berada pada posisi mereka (seperti mungkin mereka tak sanggup jika berada pada posisi saya).
Saya sendiri tak sanggup jika berada pada posisi mereka (seperti mungkin mereka tak sanggup jika berada pada posisi saya).
Kembali Bekerja
Kini putri sulung saya sudah
remaja.
Sudah SMA. Menulis menjadi salah satu aktivitas positifnya. Saat ini, ia sedang
menggarap novel keempatnya.
Saya? Saya sudah kembali
bekerja. Oh, saya tidak bekerja 8 to 5 di kantor. Saya ibu sekaligus ayah yang bekerja dari
rumah.
Internet memungkinkan saya bekerja sebagai penulis dan editor
untuk berbagai penerbit di Bandung, Yogyakarta, Jakarta, Semarang, dan Depok.
Sesekali saja saya “turun gunung” untuk menghadiri talkshow, pelatihan penulisan, berburu buku untuk toko online saya, atau berkumpul dengan komunitas blogger.
Sesekali saja saya “turun gunung” untuk menghadiri talkshow, pelatihan penulisan, berburu buku untuk toko online saya, atau berkumpul dengan komunitas blogger.
Mengisi workshop menulis. (Foto: Robi Afrizan Saputra) |
Saya tak lagi menyesali pilihan saya meninggalkan zona
keren sebagai pekerja kantoran. Menjadi ibu sekaligus terus berkarya dan
bermanfaat bagi banyak orang, tetap bisa kok.
Bagi
saya, berkarier di kantor, bekerja dari rumah, atau menjadi ibu rumah tangga
sama-sama penuh tantangan. Sama hebatnya.
Perempuan-perempuan hebat tentu tak perlu terlibat mom’s war, kan?
Perempuan-perempuan hebat tentu tak perlu terlibat mom’s war, kan?
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.