Awal Juli 2017 ada rame-rame di linimasa Facebook saya. Tentang kisah sejati sepasang suami istri yang dikaruniai anak berkebutuhan khusus. Judul kisah tersebut dinilai terlalu berorientasi pada traffic sehingga mengabaikan etika.
Selain itu, pasangan yang dikisahkan pun merasa berkeberatan kehidupan keluarga mereka (khususnya kondisi sang putri) diekspos sedemikian rupa, lengkap dengan foto-fotonya.
Menulis Kisah Sejati
Menulis kisah sejati bukan
hal baru di dunia penulisan. Pembaca majalah Kartini mungkin masih ingat dengan rubrik “Oh Mama Oh Papa”. Rubrik
ini berisi kisah-kisah sejati nan menyayat hati yang dikirimkan oleh pembaca.
Kartini
bukan satu-satunya majalah yang memiliki rubrik seperti ini. Dengan nama yang
berbeda, kisah-kisah sejati seperti itu juga ada di berbagai majalah dan
tabloid, khususnya yang membidik perempuan sebagai segmen pembaca.
Tahun 2010 marak
penerbitan buku-buku antologi based on
true story. Satu buku mengangkat satu tema dan ditulis oleh banyak orang,
bisa sampai puluhan penulis.
Tema-temanya sederhana
tetapi menekankan pada kesejatian kisah alias pengalaman nyata. Pengalaman
patah hati, cinta pertama, kisah berhijrah, pengalaman berburu beasiswa,
pengalaman dengan dosen, pengalaman seru ketika memasak, pengalaman menjadi
relawan, dan sebagainya.
Saya juga sempat ikut dalam beberapa antologi. Senang-senang saja berbagi pengalaman melalui tulisan. Ada yang melalui jalur lomba, ada yang audisi bersama teman, ada pula yang saya sebagai penanggung jawab (PJ) proyek.
Izin Pada Pemilik Kisah
Kisah nyata yang ditulis
tak selalu merupakan pengalaman sendiri. Bisa jadi pengalaman orang lain.
Jika pengalaman sendiri,
urusannya tinggal dengan diri sendiri. Mau atau tidak mengungkapkan kisah
tersebut pada publik, dengan segala risikonya. Ingat, ini kisah sejati.
Penulisnya tidak bisa lagi ngeles “cuma imajinasi kok” seperti ketika menulis
fiksi.
Bagaimana jika kisah sejati
tersebut adalah pengalaman orang lain?
Ketika menjadi penanggung
jawab buku antologi A Cup of Tea for
Single Mom, saya dan Gia menetapkan satu syarat khusus: ada surat
pernyataan bahwa orang yang diceritakan tidak berkeberatan pengalaman hidupnya
ditulis dan diterbitkan dalam bentuk buku.
Ogest, yang saya kisahkan dalam Lomba Kisah Inspiratif OCBC NISP 2016. |
Surat pernyataan ini kami
pandang perlu untuk menghindari protes dari orang yang diceritakan tersebut.
“Kenapa ada kisah hidup saya? Nggak pernah ada yang minta izin pada saya. Saya
keberatan kehidupan saya diekspos begini.” Repot kan kalau sampai terjadi
begitu.
Ini seperti unggah-ungguh.
Etika. Lebih-lebih jika yang diceritakan itu menyangkut aib, penderitaan, cacat
fisik, atau sejenisnya.
Tidak semua orang mau pengalaman hidupnya yang seperti itu diceritakan. Tidak semua orang senang menjadi perhatian publik, Beb.
Tidak semua orang mau pengalaman hidupnya yang seperti itu diceritakan. Tidak semua orang senang menjadi perhatian publik, Beb.
Antara Traffic dan Etika
Memublikasikan tulisan
tentu karena ingin dibaca. Lebih banyak yang membaca tentu lebih bagus. Di
media online, itu berarti traffic yang tinggi. Dibaca dan dibagikan oleh banyak
orang hingga menjadi viral.
Salah satu caranya adalah
dengan memasang judul yang sensasional, dramatis, bombastis. Judul yang memikat
mata pada pandangan pertama.
- Luar Biasa….
- Heboh….
- Terungkap….
- Inilah Rahasia….
- Dan sebagainya.
- Anak Cantik Jelita Tapi Ternyata Ibunya Seperti Ini
- Gadis ini Punya IQ 200, Tapi Ternyata…..
Eloknya, semua itu
dilakukan tanpa mengabaikan etika. Tanpa membuat orang yang dikisahkan itu
merasa dipermalukan dan tidak nyaman.
Semoga kita menjadi lebih
bijak dalam menulis. Semoga menulis membuat kita menjadi lebih bijak.
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.