Keputusan Tere Liye untuk menghentikan hak terbit buku-buku best seller-nya di Gramedia Pustaka Utama dan Republika menggemparkan pencinta literasi. Keputusan itu terkait dengan pajak atas royalti buku yang terlalu besar.
Masalah
pajak yang dikeluhkan oleh Tere Liye hanya satu di antara banyak masalah yang
dihadapi oleh para penulis.
Di balik kerennya
status sebagai penulis buku, beberapa fakta di lapangan menunjukkan hal yang
memprihatinkan.
Masalah Para Penulis
Berikut ini masalah-masalah yang kerap dihadapi oleh para penulis buku. Ada masalah yang bisa ditangani senidri oleh penulis, ada yang sangat membutuhkan campur tangan pemerintah.
1. Dipalak oleh teman.
Sepertinya,
semua penulis buku pernah mengalami hal ini. Ketika buku baru terbit, ketika
lagi seru-serunya promosi, teman malah minta buku gratis. Alasannya?
“Kan gue temen lo.”
Teruntuk yang suka nodong buku gratisan.... |
Teman kok memalak. Teman sih seharusnya membeli. Kalau perlu borong! Kalau lagi saldo lagi tipis dan celengan ayam lagi kosong, ya bantu mempromosikan.
Teman adalah
yang mendukung karya positif temannya. Bukan malah melemahkan semangat dan
morotin si teman.
2. Disuruh mengikhlaskan.
Ketika royalti yang satu semester sekali belum juga
dibayarkan, ketika royalti yang datang ternyata jauh di bawah UMR, dengan
enteng orang-orang berkomentar,
“Udah, ikhlasin aja. Itu amal buat lo.”
“Nulis itu yang
penting ikhlas. Nggak usah ngarepin royalti.”
Yakali, beras dibayar pakai ikhlas, ongkos angkot dibayar
pakai ikhlas, biaya sekolah anak dibayar pakai ikhlas, pakaian penutup aurat
dibayar pakai ikhlas, naik haji dibayar pakai ikhlas.
Gimana kalau presiden, para menteri, anggota DPR, dokter,
pilot, akuntan, pengacara, desainer, PNS, dan… kamu, juga kerja dengan ikhlas
aja? Nggak usah ngarepin gaji, tunjangan, honor, bayaran, atau bonus ini itu? Amal, lho, itu.
Penulis adalah sebuah profesi yang diakui oleh negara (buktinya, dikenai pajak). Dan menulis adalah sebuah pekerjaan profesional.
3. Plagiarisme.
Tulisan dijiplak oleh orang lain dan diakui sebagai milik. Penulis
aslinya sudah jungkir balik riset, menulis, revisi bolak-balik, eeh… malah
diplagiat.
FYI, bukan hanya buku yang diplagiat. Artikel di koran dan situs
internet, tulisan di blog, status Facebook, bahkan live tweet pun rawan diplagiat.
Live tweet? Betul. Live tweet
sahabat saya, Haya Aliya Zaki, pernah diplagiat oleh sesama blogger.
“Alaaa… cuma live tweet!”
Mau bilang gitu? Menulis serentetan tweet secara
live dalam sebuah acara perlu
konsentrasi tinggi dan kecepatan berpikir.
Dalam waktu singkat harus bisa
mendengar dan menangkap materi, sekaligus memotret, lalu menuliskan poin-poin
informatifnya di Twitter.
Dan bagaimana jika saya katakan bahwa live tweet itu menyediakan hadiah bernilai jutaan? Masih mau mengatakan
“alaaa… cuma live tweet!” gitu?
Yang paling menghebohkan tentu saja Afi Nihaya yang belum juga
kapok meski sudah berkali-kali kedapatan menjiplak dan mengakui karya orang
lain sebagai karyanya sendiri. Buat karyamu sendiri, bukan memplagiat.
4. Buku diobral.
Obral buku juga menjadi masalah yang dihadapi penulis. Sedihnya,
makin ke sini jarak dari buku terbit hingga jatuh ke harga obral semakin
pendek.
Namamu bukan Tere Liye, Ika Natassa, Andrea Hirata, Dee, atau
Pidi Baiq? Yeah, kuatkan mental jika menemukan buku karyamu diobral seharga Rp 10.000,-
hanya dua tahun setelah terbit.
Obral buku ini terasa dilematis. Di satu sisi, konsumen senang
karena bisa mendapatkan buku-buku asli dengan harga murah. Di sisi lain, para penulis
buku mengelus dada dengan sedih.
Ketika buku diobral, royalti yang didapat
penulis menyesuaikan dengan harga jual obral. Diobral ceban, berarti royalti
per buku hanya seribu rupiah dipotong pajak.
Beberapa penerbit bahkan menghentikan aliran royalti ketika buku
sudah jatuh ke harga obral.
“Makanya, tulis buku-buku bermutu!”
Bermutu itu yang seperti apa, Kak? Buku-buku
berkualitas juara, buku-buku yang ditulis dengan riset mendalam, buku-buku
dengan penyuntingan yang rapi, buku-buku dengan kaver keren, buku-buku karya
penulis yang telah bertahun-tahun berkarya, buku-buku yang mengikuti selera
pasar … tetap saja terjerembap di rak buku obral.
5. Pembajakan buku.
Di sentra-sentra penjualan buku (bukan toko buku besar), buku-buku bajakan banyak dipajang. Sialnya, makin ke sini tampilan buku
bajakan makin menyerupai aslinya. Bisa baca lebih lanjut di Tips Mengenali Buku Bajakan
Saya book hunter. Dulu,
melihat sepintas saja saya tahu suatu buku itu bajakan atau bukan. Tapi belakangan
ini saya butuh waktu agak lama untuk mengenali bajakan atau aslinya suatu buku.
“Terbitkan dalam bentuk e-book aja biar nggak dibajak.”
Halo, Kak. Sekarang yang dibajak tak hanya buku fisik
(kertas). Buku digital pun dibajak!
Pembajakan dan penjualan buku-buku digital ini bahkan tak
kalah marak. Versi e-book novel saya pun dibajak.
Di grup-grup Facebook, di akun-akun Instagram, di blog-blog
jualan, hingga di marketplace,
buku-buku digital bajakan ini dijual seharga seporsi seblak hingga seharga
sepotong pisang goreng! Buku-buku bajakan berbentuk kertas pun dijual online secara terang-terangan.
Pembajakan dan penjualan buku bajakan ini jelas sangat menyakitkan
dan merugikan penulis. Meski terjual sejuta eksemplar, penulis tak akan
mendapatkan serupiah pun dari buku-buku bajakan itu.
Sedihnya, pemerintah seolah tutup mata atas maraknya
peredaran buku bajakan ini.
6. Pajak atas Royalti.
Ini yang kemarin dikeluhkan oleh Tere Liye. Sebenarnya, jauh
sebelum Tere Liye, sudah banyak penulis yang bersuarav tentang pajak royalti penulis ini. Namun, tak kunjung bergaung.
Keluhan di banyak status Facebook dan
tulisan di blog tentang pajak atas royalti itu hanya dibaca dan dibagikan oleh
segelintir warganet. Ketika Tere Liye bersuara, barulah gaungnya terdengar ke
mana-mana.
Itu Tere Liye, yang dalam setahun bukunya terjual ratusan
ribu eksemplar. Yang satu judul buku saja bisa cetak ulang sampai lebih dari 20 kali dalam setahun.
Di belakang Tere Liye ada ribuan penulis yang cuma bisa
nyesek melihat royalti mereka langsung dipotong pajak sebesar 15% (bahkan 30%
jika tak punya NPWP). Sudahlah datangnya enam bulan sekali, jumlahnya kadang
jauh di bawah UMR, eh masih dipotong pula.
FYI, kabar bahwa ada penulis yang mendapat royalti Rp 100
ribu per semester dipotong pajak itu bukan hoax. Itu benar-benar ada.
Mengurus restitusi pajak bukan hal mudah. Bagi banyak penulis, lebih mudah menulis 100-200 halaman daripada memahami urusan pajak. Tak sedikit pula yang diberi gambaran menakutkan hingga akhirnya terpaksa mengikhlaskan pajak itu (meski dompet menjerit karena kangen diisi uang).
Bukannya
tak mau membayar pajak (karena kami sadar pajak itu juga untuk mendanai pembangunan).
Namun, tolong permudah dan tinjau kembali peraturan dan besarannya.
Penulis adalah Status Prestisius
Mesti
diakui, sampai hari ini status sebagai penulis buku masih terasa seksi dan
prestisius. Masih banyak yang merasa belum sah jadi penulis kalau belum menerbitkan
buku. Padahal, faktanya tak sekeren gengsinya.
Fakta-fakta
di atas bukan untuk melemahkan semangat menulis, melainkan untuk membuka mata,
hati, dan pikiran kita tentang dunia kepenulisan dan perbukuan. Untuk sama-sama kita perjuangkan agar menjadi lebih baik.
Salam,
www.trianiretno.com
Penulis
Buku, Novelis, Editor
Freelance
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.