Bandung adalah “surga” bagi para pencinta kuliner. Beraneka
ragam makanan ada di sini. Tapi pada suatu waktu, saya pernah kesulitan mencari tempat
makan di Bandung. Bukan karena nggak ada tempat makan yang enak, melainkan
karena … ada “mereka” di sana.
Para Penunggu Warung Makan
Hari itu, selesai urusan di kantor surat kabar terbesar di
Jawa Barat, kami memutuskan untuk pulang dengan bus Damri. Tidak naik angkot seperti ketika berangkatnya. Naik angkot ternyata bikin tua di jalan. Tahun 2013 ketika
itu, belum ada transportasi online.
Tapi kami salah naik bus. Bus yang kami naiki rutenya lewat
jalan tol. Mau cepat malah jadi menjauh. Untungnya anak-anak senang. Apalagi busnya bersih, tempat
duduknya nyaman, dan ber-AC.
Kami turun di terminal di batas kota.
“Mi, laper.”
Ya, sama. Saya juga lapar. Lalu saya ajak mereka mencari
tempat makan. Banyak tempat makan di sana. Tinggal
pilih yang sesuai selera. Tapi, drama pun dimulai.
“Aku nggak mau di sini!” si kakak menarik tangan saya,
mengajak menjauh.
“Kenapa?”
“Itu … ada … serem!”
Kami berjalan ke tempat makan di sebelahnya.
“Nggak mau!” kata si kakak lagi.
Kejadian tersebut terulang lagi dan lagi. Wajahnya mulai
pucat.
“Jangan di sini,” sekarang suaranya sudah hampir menangis.
Adiknya malah sudah menangis karena lapar.
Bayangkanlah seorang ibu dengan dua anak pada suatu siang
yang terik. Anak yang satu menangis karena lapar. Anak yang satu
pucat ketakutan.
Foto sekadar untuk ilustrasi. Diambil dari Shutterstock. |
Saya nggak bisa memaksa. Saya tahu, ada yang nggak beres di dalam sana. Akhirnya kami menjauh dari tempat itu.
Kami jajan gehu dan cakue saja di pinggir jalan. Setelah itu
kami langsung naik angkot dan pulang. Makan siang ditunda hingga sampai di
rumah.
Kamu bisa menebak apa yang membuat kami tak jadi
masuk ke tempat-tempat makan tadi?
Betul. Tidak ada yang "bersih". Semua yang kami datangi ada
penunggunya. Wujud mereka saja yang berbeda. Ada nenek tua bermata merah menyala, pocong,
perempuan pucat berambut kusut terurai….
Dan mereka tahu jika ada yang melihat keberadaan mereka di sana....
Dan mereka tahu jika ada yang melihat keberadaan mereka di sana....
Cerpen “Kafe Biru Langit” di buku saya Cermin (terbit tahun 2014) terinspirasi dari kejadian ini.
Dia Tidak Jahat, Tapi….
“Aku nggak mau makan di sini!” suaranya pelan tapi tak mau
ditolak.
Saya menarik napas. Terjadi lagi! Lokasinya saja yang
berbeda. Kali ini lebih di dalam kota Bandung. Urusan ingin makan saat sedang berjalan-jalan bisa jadi
masalah serius begini.
(Gara-gara itu juga, di waktu-waktu berikutnya saya selalu
membawa bekal biskuit, roti, permen, dan minum. Setidaknya bisa untuk
mengganjal perut sampai menemukan tempat makan yang “bersih”.)
Bermacam-macam sosok yang dilihatnya di tempat makan yang
kami lewati. Ada yang berwujud menyeramkan, ada yang berwujud manusia tapi….
“Itu bukan manusia!” tegas sekali ia berkata.
Posisi mereka pun berbeda-beda. Ada yang di pintu masuk, ada yang
di dalam.
Akhirnya kami berhenti di sebuah warung masakan Minang.
Warung kecil saja.
“Kita makan di sini,” ujarnya.
“Bersih?” bisik saya.
“Bersih.”
Alhamdulillah. Akhirnya. Warung boleh kecil, tapi kalau
masakan Minang … rasanya selalu spicy! Lezat berbumbu.
Foto sekadar untuk ilustrasi. Diambil dari Shutterstock. |
Kami memesan makanan. Namun, saat kami sedang asyik menikmati makanan….
“Pulang, yuk.”
“Loh, itu makanannya belum habis,” saya menunjuk piringnya.
“Dibungkus aja.”
Saya mengerutkan kening. “Kenapa?”
“Di meja belakang kita.”
Saya menoleh. Warung makan kecil ini hanya memiliki satu meja
panjang yang menempel di dinding tempat kami makan, serta satu meja persegi
empat dengan empat kursi di belakang kami.
Tak ada apa-apa di meja itu. Tak ada siapa-siapa.
“Ayo, pulang,” desaknya.
Saya perhatikan wajahnya. Bukan takut, melainkan kesal.
Oke. Makanan yang tak habis itu pun dibungkus untuk dibawa
pulang.
“Ada apa?” saya tak tahan untuk bertanya setelah kami menjauh
dari warung itu. “Katanya tadi bersih.”
“Iya, warungnya memang bersih,” wajahnya masih cemberut.
“Tapi pas kita makan ada empat remaja masuk. Tiga cewek, satu cowok. Mereka
duduk di belakang meja kita.”
Meja yang … kosong itu?
“Waktu aku lihat mereka sih, yang cewek senyum-senyum ke
aku.”
“Nggak jahat?”
“Nggak. Baik mereka mah. Tapi yang cowok cunihin! Gangguin aku terus!” Cunihin itu bahasa Sunda, btw. Artinya kelakuan cowok yang suka ngegodain cewek.
Glek! Diganggu cowok dari dunia lain?
“Si ibu yang jaga warung tau?”
Menggeleng. “Nggak. Si ibu kayaknya nggak tau apa-apa. Yang
empat itu bukan penunggu warung. Mereka cuma mampir makan kayak kita.”
Mampir makan. Apa yang mereka makan? Bagaimana mereka makan?
Kamu tahu penjelasannya?
Pengalaman horor saya lainnya bisa di baca di:
Makhluk Astral di Sebuah Kafe
Peristiwa serupa terjadi juga di sebuah kafe, tak jauh dari sebuah kampus beken di Bandung. Bukan. Bukannya ada penunggu di kafe itu. Tapi….
“Mi, lihat meja di sana.”
Saya memutar pandangan. Kafe tempat kami makan itu cukup
besar. Lapang.
“Mana?”
“Meja itu, yang dekat jendela.”
Pandangan saya terarah ke meja di dekat jendela.
“Ada tiga orang di sana. Cewek semua.”
Heh? Meja itu kosong! Lebih tepatnya, kafe memang sedang sepi
pengunjung.
“Wiiih…modis banget pakaiannya. Tuh, mereka dadah-dadah ke
sini.”
Saya perhatikan wajah anak saya. Ekspresinya biasa saja. Tidak
menunjukkan rasa takut atau kesal.
“Nggak jahat?”
“Nggak. Mereka cuma mampir makan kok. Tuh, mereka pesen es krim juga. Abis makan nanti mereka
pergi.”
Oh, anak gaul dari dunia lain, tenyata.
Pesta Gaib di Sebuah (Bekas) Kafe di Braga
Siapa tak kenal Braga. Belum ke Bandung kalau belum ke Braga.
Bagi saya Braga pun memesona. Sampai saya menulis cerpen (yang kemudian menjadi
buku) berjudul Braga Siang Itu.
Tapi ini bukan cerita tentang pesona Braga.
Sebelum Subuh hari itu saya sudah berada di kawasan Braga.
Pukul setengah enam, bus rombongan akan berangkat ke Padalarang. Tak mungkin
menunggu Subuh baru berangkat dari rumah.
Jadi diputuskan untuk shalat Subuh di Braga saja. Usai
shalat, sambil menunggu waktu berangkat, kami berjalan-jalan di sekitar lokasi.
Iseng, kami menempelkan wajah ke dinding kaca sebuah
bangunan. Mencoba melihat ke dalam.
Setahu saya, bangunan ini sudah tidak beroperasi lagi. Sepertinya dulu merupakan sebuah kafe.
Foto sekadar ilustrasi. Diambil dari Shutterstock. |
Di penglihatan saya, gelap saja di dalam sana. Hanya samar-samar tampak interiornya. Tapi….
“Udahan, yuk.”
Tanpa menunggu jawaban saya, dia langsung melangkah pergi menuju titik kumpul. Saya segera merendengi langkahnya.
“Di dalam ramai banget,” jelasnya tanpa saya tanya. “Kayak
ada pesta. Pelayannya mondar-mandir bawa minuman.”
Meski sudah mulai terbiasa dengan laporan seperti itu, tak
ayal saya merinding juga.
“Tapi mereka bukan
orang kita,” lanjutnya.
“Maksudnya?”
“Orang Belanda.”
Braga adalah kawasan tua di Bandung. Pada zaman penjajahan Belanda Braga
merupakan pusat mode dan kawasan gaul kaum elite di Bandung.
Saya menarik napas panjang. Menahan keinginan untuk menoleh
ke arah bangunan tadi.
Ambil Hikmahnya Saja
Cerita tentang warung makan atau restoran yang memakai “penunggu”
sebagai penglaris sudah nggak asing, kan?
Orang yang mempunyai penglihatan “lebih”, memang harus ekstra
sabar untuk mencari tempat makan yang “bersih”.
Horor, memang. Tapi hikmahnya, bisa menghindari makan di tempat-tempat yang
menggunakan “penglaris” dari alam lain.
Yang penting, selalu berdoa sebelum dan setelah makan. Berdoa
juga ketika akan memasuki pasar dan tempat jual beli lainnya.
Btw, pengalaman seram juga saya dapatkan ketika mengedit naskah horor. Begitu juga ketika saya membuka jastip buku dari beberapa tempat di Kota Bandung.
Tentang yang terakhir itu bisa baca tulisan saya Pengalaman Horor Saat Jastip Buku.
Salam,
Triani
Retno A
Mbak kalo mereka pesan eskrim sedangkan ga semua orang bisa lihat, pesannya ke siapa? Hihi aku penasaran 😂
BalasHapusAku juga nggak ngerti, Nit. Mungkin seperti dunia paralel. Ada kafe di dimensi lain di tempat yang sama. Mungkiiiiiin.
HapusYa Allah Teh, si Sarah ya yg punya penglihatan istimewah yak? MasyaAllah, cerita begini jadi nambah iman, huhu, suka dg ending tulisan Teteh, berdoa berdoa dan berdoa
BalasHapusIya, Zee. Pada masanya, lumayan bikin aku stres >.<
HapusBaca sore-sore tetap aja muringkak-murinding. Apalagi malam.
BalasHapusBacanya sore, tapi pas malam masih teringat, kan? :D
HapusYa ampun teh eno..horor bingit..untung bacanya bukan pas malem jumat hehe. Jadi penasaran tempatnya dmn itu teh��. Plus takut jg tapinya
BalasHapusGak usah disebutinlah di mana :D
HapusMereka pesan makannya sama siapa ya, Mbak? Apa ada yang ikut ngejualin juga? Tapi dari makhluk sesama mereka gitu, dengan menu yang sama di warungnya..
BalasHapusOtakku nggak nyampe buat mikir ke situ, Mbak :D Mungkin seperti dunia paralel gitu deh. Tempatnya sama, dimensinya beda, makhluk-makhluknya juga beda.
HapusKapan kapan pengen ngobrol dong sama anaknya teh eno
BalasHapusAahaha...hayuk atuh, Kang.
HapusSaya suka banget tulisan ini. Tentang misteri deh. Ketagihan baca tulisan ini hehe
BalasHapusHaturnuhun, Gilang :)
HapusYa Allah teteh, aku bacanya merinding tapi seruuuu... untung bukan malam jumat. Haha. pengen baca lagi cerita mistis lainnya.
BalasHapusEh, anu, bukan malam Jumat juga mereka eksis kok :))
HapusWah jadi penasaran banget deh hehehe
BalasHapussalam,
http://www.kidalnarsis.com
Coba datang ke Tasik, pasti seru. Hihi .. Penunggu rumah makan pernah aku dengar ceritanya.
BalasHapusTapi soal makhluk lain yang mampir makan, hmm .. Itu menakutkan!
Ada apa di Tasik, Kang?
HapusMerinding.
BalasHapusTapi iya sih. Kita ambil hikmahnya aja ya Teh.
Betul, Cha.
HapusBaru berani baca ini pas paginya hihihi
BalasHapusuntung bacanya pagi-pagi
BalasHapusHoror euy,, apalagi aq bacanya pas magrib
BalasHapusKejadiannya sama mbak. Makanya susah banget makan diluar. Pasti banyak gagalnya.
BalasHapuswih jadi agak gimana ya klo jalan2 terus makan di luar gitu
BalasHapusgak coba dirukyah mbak putrinya?
berbicara tentang dunia ghoib memang asik, tapi sebagian orang banyak yang gak percaya tentang hal tersebut.
BalasHapushuaaaahhhhh mbaa, aku merindinnnng :D. duuuh kdg penasaran sih sbnrnya, tp dipikir2, kayaknya aku ga kuat kalo hrs bisa melihat 'mereka'
BalasHapusSebenernya, lebih enak kalau nggak bisa melihat mereka :)
HapusAtulah teteh...aku bacanya pagi aja merinding, untung nggak baca pas malem x))
BalasHapusKalau bisa melihat, memang jadi repot ya. Kalau seperti ini, kadang saya berpikir, pepatah "ignorance is a bliss" itu benar adanya.
BalasHapusHuaa sereem. Baru tahu nih kalo ada yg hanya sekedar mampir beli eskrim wkwkw.. Setan gaul berarti ya
BalasHapusTapi sebaiknya gaul di dunia masing-masing aja sih :))
HapusUntung aq baca sore2 hehe...merinding banget teh baca ceritanya. Ya gini deh kl penakut tapi doyan cerita horor hehe
BalasHapusTakut tapi penasaran :))
Hapuspernah denger kalo warung yg pake penglaris itu katanya makanannya cuman enak kalau dimakan di warung itu saja. klo dibungkus ga enak blas. katanya juga makanan di warung yg pake penglaris diludahin sama penunggu gaibnya biar makin 'enak'.
BalasHapusIya, sering denger begitu juga. Teman sekantorku dulu juga pernah cerita ngeliat yang begitu. Bukan diludahin, tapi ditetesi darah.
HapusIya, banyak cerita tentang itu. Entah nih sekarang di era belimakanan kudu take away :D
BalasHapus