“Mi, batere hape penuh nggak?”
Saya melirik indikator baterai di pojok kanan atas layar
ponsel. “Hm … 33 persen.”
“Aku pinjem hape Mami ya. Lima belas meniiiit, aja.”
“Boleh. Tapi kalau baterainya udah penuh.”
Sekilas wajahnya tampak kecewa. Lalu kami tawar-menawar.
Akhirnya sepakat, dia boleh meminjam ponsel saya jika baterainya sudah terisi
75 persen.
Setiap hari si bungsu meminjam ponsel saya. Saya jatah 15
menit saja. Sebenarnya dia punya ponsel sendiri tapi saya hanya mengisikan
kuota internet untuknya pada akhir pekan.
Media Digital Bukan Musuh
Dulu saya ingin idealis: anak-anak baru boleh punya ponsel
kalau sudah SMP.
Namun, keinginan idealis saya itu rontok di tengah jalan.
Kedua anak saya sudah memegang ponsel sendiri ketika masih SD, tetapi tanpa
koneksi internet.
Si sulung menggunakan ponsel itu sebagai alat rekam ketika
mewawancarai narasumber. Saat kelas 5 SD itu ia tertarik pada aktivitas wartawan
cilik.
Wawancara pertamanya masih menggunakan ponsel saya. Narasumbernya
adalah Shahnaz Haque. Tulisannya itu dimuat di koran Pikiran Rakyat.
Melihat kesungguhannya, saya mengizinkannya memiliki ponsel
sendiri.
Adiknya? Ponsel pertamanya adalah ketika ia kelas empat, lungsuran
dari kakaknya. Ia tak suka menulis. Ia menggunakan
ponsel untuk memotret dan mengedit foto menggunakan berbagai aplikasi.
Jatah internet yang saya berikan digunakannya untuk mengunduh
aplikasi edit foto dan video, games, serta menonton Youtube.
Si sulung (sekarang 17 tahun) menerbitkan buku pertamanya ketika
berusia 11 tahun. Adiknya yang tak tertarik menulis membuat akun Youtube
sendiri pada usia 11 tahun. Dia juga yang mengajari saya mengedit video
menggunakan aplikasi Kinemaster.
Dua anak dengan minat yang berbeda. |
Si sulung tertawa. “Nah, Mi. Ternyata ada gunanya ya Adek
dikasih jatah internet.”
Ahaha…. Saya sering mengomel karena si bungsu lebih tertarik
pada gawai daripada membaca buku. Padahal, tak kurang-kurang buku bacaan yang
saya sediakan untuknya.
Untuk buku ini tak bisa lungsuran dari kakaknya karena minat
mereka berbeda. Si kakak bisa betah membaca novel dan buku-buku yang berisi
teks melulu.
Adiknya lebih suka membaca komik dan buku pengetahuan yang
bergambar. Menonton Youtube pun ia sering memilih video pengetahuan atau
tutorial. Misalnya Fenomena Alam yang Menakjubkan dan Apa Yang Terjadi Jika Matahari Tak
Bersinar.
Literasi Bukan Hanya Membaca Buku
Pengalaman dengan anak-anak menyadarkan saya bahwa persoalan
literasi bukan sekadar membaca buku atau kemampuan menulis. Literasi lebih luas
daripada urusan baca tulis. Salah satunya literasi digital.
Berikut ini pengertian literasi digital dalam buku Digital Literacy (1997) yang dikutip oleh
kompas.com (2018).1
Literasi digital. |
Dengan semakin meluasnya penggunaan ponsel pintar,
masalah literasi digital menjadi sangat penting. Termasuk membimbing mereka agar mewaspadai kekerasan di media sosial.
Coba saja perhatikan, berapa banyak anak yang tidak memakai
ponsel untuk mengakses internet?
Hasil survei yang dilakukan oleh Asosiasi Penyelenggara Jasa
Internet Indonesia (APJII) pada tahun 2017 menyebutkan bahwa 75% dari 143,26
juta pengguna internet di Indonesia adalah remaja berusia 13-18 tahun.2
Yang perlu melek literasi digital tidak hanya anak-anak.
Orangtua dan guru harus juga harus memiliki pemahaman akan literasi digital ini.
Bayangkan apa jadinya jika orangtua dan guru buta literasi digital:
- Serba melarang karena ketakutan dengan pengaruh buruk internet.
Serba melarang. |
- Serba mengizinkan karena beranggapan internet adalah sumber informasi dan tanda kemodernan.
Serba memperbolehkan. |
Padahal, internet sama saja dengan semua hal di dunia ini,
mempunyai dua sisi. Ada sisi baiknya, ada pula sisi buruknya.Seperti yang tampak pada infografis berikut ini.
Dua sisi internet. |
Sebagai orangtua, tentu saya tidak mau anak-anak saya gaptek
alias gagap teknologi. Tapi saya juga tidak mau mereka terkena pengaruh
buruknya.
Literasi Secara Luas
Di laman situs Gerakan Literasi Nasional, Kemendikbud RI
mencantumkan enam jenis literasi dasar yang disepakati oleh World Economic
Forum pada tahun 2015.
Keenam literasi dasar itu adalah literasi baca tulis, literasi
numerasi, literasi digital, literasi finansial, literasi sains, serta literasi
budaya dan kewargaan.3
6 kemampuan literasi dasar. |
Literasi baca tulis yang umum kita kenal selama ini merupakan
pintu untuk menguasai lima jenis literasi dasar lainnya.
Keenam jenis literasi inilah yang sedang gencar
disosialisasikan oleh Kemendikbud RI. Hal tersebut bukannya tanpa alasan. Penguasaan
keenam literasi dasar ini akan sangat menentukan kecakapan anak-anak kita agar
kelak mampu bersaing dengan bangsa lain.
Menumbuhkannya? Nah, itu tanggung jawab kita bersama.
Keluarga, sekolah, serta masyarakat.
Menumbuhkan Budaya Literasi dari Rumah
Bagaimana menumbuhkan budaya literasi dari rumah? Setiap
keluarga pasti punya trik dan pengalaman sendiri. Bagi saya, kuncinya adalah
contoh nyata, pendampingan, dan komunikasi.
1. Literasi Baca Tulis
Ini menjadi fokus saya sejak lama. Bukan sekadar karena saya
penulis buku dan dulunya pustakawan. Tapi lebih karena saya berkeyakinan bahwa
membaca adalah kunci pembuka wawasan dan ilmu pengetahuan.
- Membacakan dongeng dari buku cerita. Ketika anak-anak masih kecil, saya bacakan buku cerita untuk mereka. Mereka bebas memilih hendak dibacakan buku yang mana.
- Menyediakan buku-buku bacaan
sesuai minat mereka. Untuk anak pertama lebih mudah karena sejak balita sudah menunjukkan
ketertarikan pada dunia baca tulis. Untuk anak kedua, saya harus jeli mencari
celah mendekatkannya dengan buku bacaan.
Misalnya, ketika ia tertarik pada rambu-rambu lalu lintas, saya belikan buku cerita tentang rambu-rambu lalu lintas. Ketika ia menunjukkan minat pada negara-negara di dunia, saya carikan buku yang relevan.
Beragam buku bacaan unrtuk anak-anak. |
- Mengajak anak-anak ke toko buku, pameran buku, dan acara-acara kepenulisan.
- Mengobrol santai. Kami tidak punya waktu khusus untuk ini. Bisa ketika makan malam, menjelang tidur, atau di perjalanan. Tema obrolan? Bebas. Kadang-kadang sekadar berteka-teki jenaka. Si bungsu adalah gudangnya teka-teki.
2. Literasi Numerasi
Mendidik anak-anak menjadi jago matematika, terus terang saya
tidak sanggup. Tapi saya berusaha membiasakan mereka penggunaan praktisnya
dalam kehidupan sehari-hari.
Misalnya begini. Saya memiliki online shop kecil yang menjual buku anak, novel, serta
buku motivasi.
Dalam praktiknya ada pengadaan dan penyortiran barang, menimbang
barang, merekap pesanan pelanggan, dan mengirim paket melalui ekspedisi.
Pada awal-awalnya mereka terperangah melihat uang yang saya
keluarkan untuk menyetok barang dagangan.
Namun, mereka kemudian belajar bahwa uang yang saya keluarkan
itu adalah modal. Buku-buku itu akan dijual lagi. Dari situ ada selisihnya yang
disebut laba.
3. Literasi Digital
Untuk literasi digital ini, saya dan anak-anak saling
berbagi. Harus saya akui, anak-anak milenial ini lebih cepat menguasai hal-hal
yang berhubungan dengan internet.
- Untuk urusan mengedit foto dan video, kami sering berbagi aplikasi. Si bungsu yang lebih telaten mengedit foto biasanya punya referensi aplikasi yang unik-unik.
- Menonton film di Youtube bersama-sama.
- Berbagi informasi yang kami dapatkan melalui browsing.
- Mengingatkan anak-anak agar berhati-hati menggunakan internet. Termasuk menghargai hasil karya orang lain.
Nonton bareng. |
4. Literasi Finansial
Hal terpenting yang saya tanamkan pada anak-anak terkait
literasi finansial adalah tentang rezeki halal dan “seberapa butuh?”. Jika ada kebutuhan dan keinginan,
maka kebutuhanlah yang diutamakan.
Pada praktiknya, anak-anak melihat saya mudah mengeluarkan
uang untuk membeli buku pelajaran, sepatu sekolah yang baru karena yang lama
sudah sempit, dan sebagainya.
Sekarang, si sulung mulai saya
perkenalkan pada investasi emas. Dari pelajaran Ekonomi di sekolah dia sudah
tahu bahwa emas lebih tahan dalam menghadapi inflasi. Tinggal mempraktikkannya.
5. Literasi Sains
“Yang tadinya beras bisa jadi nasi goreng enak begini, ya,”
komentar si bungsu ketika melihat saya memasak. “Bumbu-bumbunya juga nggak
kelihatan lagi.” Ia kemudian meminta supaya ia saja yang mengaduk nasi goreng
itu.
Sesederhana itu tapi bisa jadi jalan untuk mengobrol tentang
sawah, makanan pokok, perubahan zat makanan, gizi, dan sebagainya.
Mentok karena keterbatasan pengetahuan? Gampang. Kan bisa browsing
atau mengajaknya mencari di buku.
6. Literasi Budaya dan Kewargaan
- Saya dan anak-anak
kerap mengobrol tentang budaya dan kewargaan ini. Salah satunya untuk tidak
menggeneralisir perilaku negatif orang dari suku tertentu sebagai perilaku
semua orang di suku tersebut.
“Orang baik dan orang jahat ada di mana-mana. Jadi kita nggak bisa bilang suku A tukang korupsi dan suku B suka ribut. Koruptor dan orang yang suka ngerusuh mah bisa dari suku dan bangsa apa aja.”
- Museum. Ini tempat yang sering kami datangi. Baik yang ada di kota kami, Bandung, ataupun ketika kami berlibur ke luar kota. Misalnya Museum Budaya Gombong.
Berkunjung ke Museum Benteng Van der Wijck di Gombong, Jawa Tengah. |
Masalah literasi ini masih menjadi PR besar bagi
saya. Saya kerap merasa bersalah karena tak bisa optimal. Sebagai ibu tunggal,
saya harus banting tulang mencari nafkah. Pada malam hari sering sudah terlalu lelah
untuk membacakan buku cerita atau mengobrol.
Literasi baca tulis, misalnya. Saya masih harus berusaha
ekstrakeras agar si bungsu senang membaca buku.
Literasi finansial pun memberi PR. Mau tidak mau, di luar rumah anak-anak berhadapan
dengan lingkungan yang konsumtif. Besar sekali godaan mengeluarkan uang
untuk hal yang tidak perlu. Demikian pula dengan keempat jenis literasi dasar lainnya.
Yuk, Berliterasi dari Rumah
Budaya literasi tidak tumbuh begitu saja. Dengan cara yang
sederhana, kita bisa mulai menumbuhkannya dari rumah, kemudian memperkuatnya di
sekolah dan di dalam masyarakat.
Yuk, kita mulai budayakan literasi dari sekarang.
#SahabatKeluarga #LiterasiKeluarga
Referensi
1) Harususilo, Yohanes Enggar. “Keterlibatan Keluarga dalam Literasi
Keluarga Masih Kurang", https://edukasi.kompas.com/read/2018/12/20/19574871/keterlibatan-keluarga-dalam-literasi-keluarga-masih-kurang?page=2.
Diakses tanggal 21 Agustus 2019.
2) ibid.
3) Gerakan Literasi Nasional. http://gln.kemdikbud.go.id/glnsite/ Diakses tanggal 21 Agutus 2019.
Mantap, next step kita jadiin diri kita pelaku/pencipta bukan sekedar jadi pengguna atau penikmat semata. Salam kenal, mba.
BalasHapusKalaupun sebagai pengguna, ya jadi pengguna yang bijak :)
HapusMantuulll banget ya putra/i-nya Mba Eno iniiii
BalasHapusMemang begitulah teknologi
Kalau berada di tangan orang yg tepat, segalanya serba OK dan sarat faedah
--bukanbocahbiasa(dot)com--
Masih banyak banget PR-nya sih, Mbak.
HapusBener mba, penggunaan tehnologi harua dibarengi SDM yang smart
BalasHapusKendali tetap di tangan manusianya ya, Vik.
HapusJustru kalau zaman sekarang gak melek digital ketinggalan Informasi... Itu mah Tergantung edukasi nya
BalasHapusBahkan di lembaga pendidikan pun ada yang beranggapan "internet bikin anak malas belajar".
HapusMenyadarkan dan mengajarkan keenam literasi itu memang harus dari rumah, sebagai lingkungan inti dan terdekat. Semoga ke 6 literasi itu bisa dikuasai oleh semua warga Indonesia ya... Sehingga memperluas wawasan..
BalasHapusDan untuk bekal hidup.
HapusBaca ini aku berasa sedang ikut bimtek. Isinya kurang lebih sama. Ya harusnya pada baca ke sini buat yang belum kesampaian bimtek
BalasHapusSetuju. .
BalasHapusKalo mau jujur , bukupun bak pisau bermata dua
Ada banyak buku yang tidak pantas dibaca anak usia SD
Waah tulisan yang snagat inspiratif dan informatif..suka bacanya...terima kasih sharingnya..
BalasHapusDulu saya dinyinyirin habis-habisan karena sudah kenalin anak sama gadget
BalasHapusPadahal maksud saya, mereka hidup di zaman teknologi, tidak mengapa dikenalkan gadget selama saya bisa kontrol dan sadar waktu
Betul sekali prerihal literasi ini menjadi maslaah semua orang diindonesia. Memang penting untuk ditanamkan sejak dini dan sekalolah terbaik adalah saat di rumah sendiri
BalasHapusLiterasi digital itu wajib kalo menurutku, jadi penting banget sih mamak yang melek teknologi. Suka miris kalo ada anak dilarang buka hape, tapi mamanya seharian mantengin hape
BalasHapusBaru tadi siang kita ngobrolin aktifitas keluarga literasi ini. Doakan semoga bisa secepatnya nyusul pecah telor rilis buku
BalasHapusTernyata literasi tidak melulu soal buku dan membaca ya, mbak. Banyak pr nih jadinya saya buat anak-anak nantinya
BalasHapusbetuuuull.. literasi ngakk hanya buku. krn skrg zaman digital, yaa ada literasi digital juga. segalas esuatunya brmata dua. kalau berlebihna yaa bs jadi boomerang buat diri kita ya mbak.
BalasHapusSenang sekali akhirnya Acha bisa mampir dan berlama lama di tulisan Teteh yang ini. Perjuangan panjang memang, apalagi kalau berurusan sama anak anak begini. Sementara diri sendiri pun masih butuh pendidikan literasi. Bismillah jalanin pelan pelan.
BalasHapusmenyempatkan waktu untuk mengenalkan kepada anak itu hal yang harus dilakukan biar anak paham.
BalasHapusAlhamdulillah bunda, dengan orang tua yang mendukung literasi, lahir anak-anak yang berkembang sesuai bakatnya ya hehe masya Allah sekali sampai kakak sudah menerbitkan buku
BalasHapus