Pernah ikut berburu buku di ajang
obral buku? Kalau diperhatikan
(barangkali beruntung menemukan wajah-wajah bening #eh), setidaknya ada enam
kelompok pemburu buku obral.
- Pencinta
buku. Baik yang hobi banget membaca maupun hobi menimbun buku di rumah.
- Penulis buku. Yaaah…meski galau-galau sedih, datang juga. Selain untuk menyelamatkan
buku-buku sendiri yang mungkin ikut diobral, juga untuk menambah amunisi bacaan
dan literatur riset.
- Pengelola
perpustakaan dan taman baca.
- Pemilik
lapak buku (online dan offline).
- Mumpungmurahers.
Haha… apa pula ini. Etapi ini beneran ada. Saya menemukan orang-orang seperti
ini di tempat penjualan buku obral. Mereka bukan penggila membaca. Tapi mumpung
murah yaaa beli aja. Murah, kok.
- Individu atau komunitas yang menggerakkan donasi buku
Di balik harganya yang murah
meriah, banyaknya buku yang dijual obral ini juga membawa dampak tersendiri.
Tunggu Buku Obral Saja
“Buku sekarang terlalu
cepat diobral, Teh. Baru dua tahun udah diobral,” keluh seorang pedagang buku. “Orang
jadi males beli buku yang baru terbit. Pada nunggu diobral.”
Kalimat itu membuat saya
tercenung dan pengen teriak, Tolong! Buku Saya Diobral! Saya melihat itu dari sudut saya sebagai penulis
buku.
Saya pernah mengalami ketika buku baru saya terbit. Saya woro-woro dong di medsos. Dan… ada yang enteng berkomentar, “Saya belinya nunggu diobral aja deh, Mbak. Wkwkwk….”
Di kesempatan lain, ada
pula yang berkomentar, “Wah... empat puluhribuan? Kira-kira diobralnya kapan
ya, Teh?” 😢😢😢
Komentar-komentar seperti
itu, jujur saja, membuat saya merasa terzalimi.
Ketika sebuah buku jatuh ke harga obral, aliran royalti otomatis tertutup. Terjual ribuan eksemplar secara obral pun nggak ada pengaruhnya serupiah pun pada penulis buku.
Ketika sebuah buku jatuh ke harga obral, aliran royalti otomatis tertutup. Terjual ribuan eksemplar secara obral pun nggak ada pengaruhnya serupiah pun pada penulis buku.
Buku Obral Tidak Dihargai
Ketika Gramedia Big Sale
tahun lalu, saya sempat melihat pengunjung dengan entengnya menginjak-injak
buku-buku. Buku-buku itu berjatuhan dari rak dan berserakan di lantai.
Begitukah perlakuan
pencinta buku pada yang dicintainya? Karena murah lantas bisa diinjak-injak?
Saya laporkan kejadian tersebut
pada penanggung jawab lapangan. Alhamdulillah, ditanggapi serius.
“Saya juga sedih, Mbak,
lihat buku diinjak-injak begitu. Memang dijual murah, sih, tapi kalau sampai
diinjak-injak begitu… rasanya sedih sekali….” Eh, si akang kasep malah curhat.
Mental Buku Obral dan Pembajakan
“Mbak jual novel Hujan Tere Liye nggak?”
“Lagi kosong, sih. Tapi
kalau mau bisa saya sediakan. Diskon 10%.”
“Yaaah, kok diskon 10% doang
sih Mbak? Obral lima belas ribu, ya? Saya sekalian beli novel Tere Liye yang
lain, deh.”
Saya langsung offline dan pergi ke depan kompleks
untuk beli cincau es krim. Biasanya efektif untuk menenangkan diri.
Di kesempatan lain, ada
yang meminta dicarikan sederet buku, baru, dan bestseller semua. Dilan,
Milea, Critical Eleven, Hujan, Tentang Kamu, The Architecture of Love, Dear
Nathan, dan seterusnya. Tapi… dengan harga obral 10-20 ribu rupiah per buku. Huuuft
Bapak Ibu hadirin sekalian,
tidak semua buku dijual dengan harga obral. Sepengetahuan saya, buku yang diobral
adalah buku yang:
- Slow selling
selama dua tahun (atau sesuai kebijakan penerbit).
- Sisa
stok entah tahun kapan yang nggak habis-habis dan menuh-menuhin gudang.
- Mengalami
kecacatan di toko buku. Misalnya nih: buku sampel atau buku yang segel plastiknya
dibuka oleh pengunjung toko, kemudian dibaca sampai lecek.
- Umurnya sudah habis. Misalnya: Siap UN 2012 (padahal sekarang tahun 2017) atau buku-buku sekolah yang ganti menteri-ganti kurikulum-ganti buku pelajaran.
Buku yang baru terbit atau
sedang hangat-hangatnya bestseller tentu
tidak akan dijual obral.
Novel Hujan karya Tere Liye misalnya. Cetakan pertama Januari 2016 dan
Desember 2016 sudah cetakan ke-22. Novel Milea
karya Pidi Baiq? Larisnya seperti gurilem Ma Icih pada zamannya.
Novel-novel bestseller karya Asma Nadia termasuk yang sering dibajak. |
Kalau buku baru terbit dan
bestseller dijual dengan harga murah,
justru harus dicurigai. Kemungkinan besar itu buku bajakan alias buku KW, alias
buku replika, alias nggak ori, alias buku repro. Pernah saya tulis nih Tips Mengenali Buku Bajakan.
Permintaan-permintaan akan
buku bestseller tapi harga obral itu sepertinya ikut bertanggung jawab atas maraknya penjualan buku bajakan. Pembajak (dan
penjual buku bajakan) pasti melihat ini sebagai peluang bisnis. Halal dan
haram, urusan nanti.
Ada yang Salah dengan Dunia Literasi
Buku obral memang bisa dijadikan momentum untuk menambah koleksi perpustakaan atau koleksi pribadi. Menjadi golden moment bagi pencinta buku bersaldo tipis.
Namun, mengutip kalimat
Mbak Linda Razad, editor senior Elex Media Komputindo, obral buku ini
menandakan ada yang salah dengan dunia literasi kita.
Harapan sederhana saya
sih, semoga tahun 2017 dan seterusnya, para pencinta buku diberi kelancaran rezeki
dan kecerahan hati agar bisa membeli buku baru di bulan-bulan awal terbitnya
dan mengatakan TIDAK pada buku bajakan.
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.