Tanggal 12 April 2016 dini hari, ketika membuka Facebook saya melihat ada notif dari sahabat saya, Haya. Ternyata notif itu berada di kolom komentar status Mbak Helvy Tiana Rosa (HTR)
“Kawan2, besok saya diminta menjadi salah satu narasumber dengar pendapat dengan Komisi III DPD RI terkait RUU Sistem Perbukuan. Silakan bila ada pengalaman yang ingin dibagi, masukan, tanggapan, keluhan atau apapun yang mungkin bisa saya bantu sampaikan terkait RUU tersebut. Saya tunggu melalui komentar2 di bawah status ini ya. Terimakasih.”
Sayangnya, saya
tak bisa berkomentar langsung di status Mbak HTR. Hanya bisa mengklik suka dan
bagikan. Jadi, saya
putuskan untuk menuliskan unek-unek saya seputar pajak royalti penulis di blog.
Agak
ngeri, sebenarnya. Ngeri di-bully. :( Masih segar dalam ingatan saya ketika
seorang teman editor di sebuah penerbit menuliskan keresahannya tentang pajak royalti
ini. Tak terhitung bully yang diterimanya hingga akhirnya ia menghapus status
tersebut.
Sekarang, saya
menuliskan keresahan yang sama, tetapi dari sudut sebagai penulis.
Sebagai orang
yang mencari nafkah dari menulis, orang yang bukan iseng-iseng menulis karena
segala keperluannya sudah terpenuhi oleh suami yang tajir atau oleh gaji besar
dari perusahaan tempatnya bekerja.
Pajak Royalti
Yang terutama, soal
pajak royalti untuk penulis. Saya tidak berkeberatan kalau penghasilan saya
kena pajak tapi sangat berkeberatan kalau royalti selalu otomatis dipotong Pph
15%.
Okelah kalau royalti itu puluhan juta untuk satu periode pembayaran royalti. Kalau royalti 1 juta ke bawah pun otomatis dipotong 15%...nyesek sekali rasanya.
Royalti itu datang sekali dalam enam bulan. Royalti 1 juta dipotong 15%, tinggal Rp850.000. Artinya, sebulan hanya Rp 141.667. Bisa hidup seperti apa dengan penghasilan sekecil itu? :'(
Dari teman-teman di penerbit, saya dapat informasi bahwa mereka langsung memotong pajak 15% itu dan menyetorkannya ke negara karena peraturannya seperti itu.
Okelah kalau royalti itu puluhan juta untuk satu periode pembayaran royalti. Kalau royalti 1 juta ke bawah pun otomatis dipotong 15%...nyesek sekali rasanya.
Royalti itu datang sekali dalam enam bulan. Royalti 1 juta dipotong 15%, tinggal Rp850.000. Artinya, sebulan hanya Rp 141.667. Bisa hidup seperti apa dengan penghasilan sekecil itu? :'(
Dari teman-teman di penerbit, saya dapat informasi bahwa mereka langsung memotong pajak 15% itu dan menyetorkannya ke negara karena peraturannya seperti itu.
Kalau tidak langsung
memotong pajak royalti itu, penerbit akan mendapat kesulitan saat diaudit.
Dari teman-teman
saya mendapat informasi bahwa sebenarnya penulis buku bisa mengurus lebih bayar
ketika melaporkan SPT Tahunan.
Jadi, saya
pun berusaha mendapatkan lebih bayar itu. Tapi ternyata prosedurnya tak mudah.
Mudah bagi orang-orang pajak yang sehari-hari bergelut dengan masalah perpajakan. Mudah bagi mereka yang mumpuni dalam ilmu pajak. Nah, bagi penulis seperti saya yang awam pajak? :( (btw, para ahli pajak ini sanggup nggak nulis 100 halaman novel dalam waktu sebulan? Nulis sendiri lho, bukan pakai ghostwriter)
Mudah bagi orang-orang pajak yang sehari-hari bergelut dengan masalah perpajakan. Mudah bagi mereka yang mumpuni dalam ilmu pajak. Nah, bagi penulis seperti saya yang awam pajak? :( (btw, para ahli pajak ini sanggup nggak nulis 100 halaman novel dalam waktu sebulan? Nulis sendiri lho, bukan pakai ghostwriter)
Bagi penulis awam
seperti saya, prosedurnya membingungkan. Penerbit memang rajin mengirimkan
surat bukti potong pajak. Tapi setahun… saya sering lupa di mana menyimpan
surat itu :(
Selain itu, ketika mengisi acara kepenulisan, honor pun kerap sudah dipotong pajak tetapi tidak ada surat bukti pemotongan. Tanpa surat bukti, tak bisa mengurus lebih bayar.
Selain itu, ketika mengisi acara kepenulisan, honor pun kerap sudah dipotong pajak tetapi tidak ada surat bukti pemotongan. Tanpa surat bukti, tak bisa mengurus lebih bayar.
Setiap kali
menanyakan prosedur pengurusan lebih bayar ini pun saya selalu menndapat gambaran
yang rumit dan membingungkan. Yang akhirnya selalu berujung pada mengikhlaskan pajak itu untuk
negara.
Saya yakin, bukan hanya saya yang akhirnya terpaksa memilih mengikhlaskan pajak 15% itu.
Saya yakin, bukan hanya saya yang akhirnya terpaksa memilih mengikhlaskan pajak 15% itu.
Sekali lagi, saya
tidak berkeberatan membayar pajak, asalkan saja itu sesuai dengan penghasilan riil
saya. Kalau penghasilan jauh di bawah UMR, lalu dikenakan pajak 15%, apa tidak
membuat semakin terpuruk?
Penulis tajir dan penulis kere sama-sama berada di golongan yang dikenakan pajak 15%. Tak peduli royaltinya Rp 1 miliar atau Rp 100.000 dalam periode 6 bulan, sama-sama langsung dipotong pajak 15%.
Harapan
Sehubungan dengan status Mbak Helvy, saya yang awam pajak ini berharap:
- Besaran pajak untuk penulis dikurangi (kalau bebas pajak dianggap tidak mungkin dan tidak mencerminkan warga negara yang peduli pada bangsa dan negaranya), atau
- Besaran pajak berjenjang sesuai jumlah royalti. Masih manusiawikah jika royalti Rp 100.000 per enam bulan dikenakan pajak 15%? Atau,
- Penulis digolongkan dalam profesi yang dikenai pajak final 1%.
Oh ya, semoga
para anggota dewan dan pihak-pihak yang terkait dengan pemotongan pajak ini paham bahwa royalti buku bukanlah
harga jual yang tercantum di sampul buku.
Royalti yang kami dapat adalah maksimal 10% dari harga jual buku, dihitung dari jumlah buku yang terjual, dan dipotong pajak 15%.
Kalau harga jual buku Rp 40.000, maka dari satu buku yang terjual penulis mendapatkan Rp 4.000 – pajak 15% = Rp 3.400.
Royalti yang kami dapat adalah maksimal 10% dari harga jual buku, dihitung dari jumlah buku yang terjual, dan dipotong pajak 15%.
Kalau harga jual buku Rp 40.000, maka dari satu buku yang terjual penulis mendapatkan Rp 4.000 – pajak 15% = Rp 3.400.
Kalau buku tak kunjung
habis terjual dengan harga normal, penerbit akan menjual dengan harga diskon
dan obral. Jika sampai ke harga obral, penulis tak lagi mendapat royalti.
Kalaupun penerbit masih berbaik hati memberikan royalti, besarannya sudah terjun bebas mengikuti harga jual buku obral.
Profesi penulis
memang keren dan terkesan intelek. Tuntutan pada profesi penulis pun tak main-main: mencerahkan dan mencerdaskan bangsa.
Penulis dituntut melakukan riset, membaca banyak buku, lalu menghasilkan karya terbaik. Namun, penghasilannya kerap tak sekeren image yang disematkan padanya, tak sehebat tuntutan yang dibebankan padanya.
Penulis dituntut melakukan riset, membaca banyak buku, lalu menghasilkan karya terbaik. Namun, penghasilannya kerap tak sekeren image yang disematkan padanya, tak sehebat tuntutan yang dibebankan padanya.
Lagu lama dari
Iwan Fals saya jadikan penutup curhatan panjang ini.
"Di hati dan lidahmu kami berharap, suara kami tolong dengar lalu sampaikanJangan ragu jangan takut karang menghadang, bicaralah yang lantang jangan hanya diamDi kantong safarimu kami titipkan, masa depan kami dan negeri ini, dari Sabang sampai Merauke..."
Update 2017: Dalam pelaporan SPT awal tahun 2017, saya menggunakan Norma 50%. Tapi teteup sih, pajak 15% dari berapa pun royalti saya langsung dipotong oleh penerbit untuk disetor ke negara.
Btw, sebagai TK/2 dengan penghasilan geje-geje, hasil penghitungan pajak saya masih Nihil.
Salam,
Triani Retno A
Penulis, Editor, Blogger
www.trianiretno.com
Tidak ada komentar
Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.