Menarik digarisbawahi,
Leonhardt menyebutkan kebiasaan membaca dan bukan kebisaan membaca.
Di masyarakat kita, banyak orangtua yang bangga jika anak bisa membaca pada usia dini. TK pun dituntut untuk menjadikan anak-anak lancar membaca.
Ironisnya, setelah anak
bisa membaca banyak orangtua yang enggan menyediakan buku-buku bacaan. Mereka lebih
suka membelikan pakaian yang sedang trendi atau bahkan gawai (gadget). Anak menjadi sekadar bisa
membaca, belum terbiasa membaca, apalagi memiliki budaya membaca.
Tentang membaca untuk anak-anak ini, ada tulisan saya tentang membaca nyaring (read aloud). Bisa dibaca di Membaca Dongeng Bersama Let's Read.
Tak heran jika berbagai
survei menunjukkan rendahnya minat baca bangsa Indonesia. Pada tahun 2016, studi
Most Literated Nation in the World yang dilakukan oleh Central Connecticut
State University menyatakan Indonesia berada di peringkat 60 dari 61 negara
dalam hal minat baca. Berada di antara Thailand (peringkat 59) dan Bostwana
(peringkat 61).
Sebelumnya, pada tahun
2012 UNESCO menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia hanya 0,001. Ini
berarti hanya 1 dari 1.000 orang Indonesia yang berminat membaca.
Upaya Membangun Budaya Baca
Membangun budaya baca
pada anak membutuhkan waktu panjang, tidak cukup satu-dua minggu. Ada
tahap-tahap yang harus ditempuh secara konsisten dan berkesinambungan.
Setelah anak bisa membaca,
ia perlu dikondisikan agar memiliki minat baca. Sangat banyak kejadian, anak bisa
membaca tapi tak berminat membaca.
Minat baca itu
harus terus dijaga agar tetap menyala, agar berkembang menjadi sebuah kegemaran.
Gemar membaca.
Jika anak sudah gemar
membaca, ia akan merasa ada yang kurang jika tidak membaca. Ia akan
mencari-cari buku dan bahan bacaan lainnya. Membaca telah menjadi bagian dari
hidupnya. Pada tahap inilah anak telah memiliki budaya baca.
Berikut ini upaya-upaya
yang dapat dilakukan untuk menumbuhkan minat baca anak-anak. Dengan harapan,
kelak mereka akan memiliki budaya baca yang kuat.
1. Menyediakan buku bacaan yang sesuai.
Hal paling utama yang
harus tersedia adalah buku-buku bacaan. Bukan sekadar buku bacaan, melainkan
buku-buku bacaan yang sesuai dengan minat dan usia anak-anak.
Perpustakaan sekolah
bukanlah tempat menumpuk buku. Bukan pula tempat “membuang” buku yang sudah
tidak dibutuhkan. Idealnya, perpustakaan tidak sekadar mengejar banyaknya
jumlah buku. Kesesuaian isi buku dengan kebutuhan pengguna pun sangat perlu
diperhatikan.
Jeanne S. Chall, seperti
dikutip oleh Muktiono (2003), membagi kegiatan membaca dalam enam kelompok
berdasarkan usia dan pengalaman pendidikan.
- Tingkat 0: pre-reading dan pseudo-reading, 6 tahun ke bawah.
- Tingkat 1: membaca awal dan decoding, 6-7 tahun.
- Tingkat 2: konfirmasi dan kelancaran, 7-8 tahun.
- Tingkat 3: membaca untuk belajar, 9-14 tahun.
- Tingkat 4: kerumitan dan kompleksitas, 14-17 tahun.
- Tingkat 5: konstruksi dan rekonstruksi, 18 tahun ke atas.
Jika melihat penggolongan tersebut,
anak-anak usia SD berada di tingkat 1, 2, dan 3.
Masih menurut Chall,
anak-anak di tingkat 1 menyukai buku yang dipenuhi gambar dan berwarna-warni.
Buku cerita berseri dan majalah bergambar bisa digunakan untuk menumbuhkan
kecintaan mereka akan membaca.
Anak-anak di tingkat 2
sudah menguasai lebih banyak kosa kata. Mereka sudah bisa diberi buku bacaan
dengan tingkat kesulitan bahasa di atas kemampuan mereka.
Sementara itu, anak-anak di
tingkat 3 sudah bisa membaca buku referensi, ensiklopedia, komik, surat kabar
dan majalah.
Praktik di lapangan memang
tak selalu seperti dalam teori dari periset asal Amerika Serikat tersebut.
Seorang narasumber, guru di sebuah sekolah dasar untuk rakyat kurang mampu di
Jember, mengatakan bahwa banyak muridnya di kelas 5 (usia 11-12 tahun) yang masih
belum lancar membaca dalam bahasa Indonesia.
Untuk anak-anak seperti
itu, buku yang dilengkapi banyak gambar dan berwarna akan lebih mengena.
Tak perlu apriori pada
komik dan menganggapnya sebagai bacaan tak berkualitas. Banyak komik terbit
tahun 2000-an yang memiliki konten mendidik. Komik ibadah, komik cerita klasik,
sampai komik sains dan matematika pun ada.
2. Suasana membaca yang menyenangkan.
Agar anak senang membaca,
bangunlah suasana membaca yang menyenangkan.
Mengekang anak dengan
berbagai keharusan dan larangan bukan hal bijaksana. Anak yang minat bacanya
saja belum ada akan semakin menjauh jika suasananya tidak menyenangkan.
Nyaman di sini bukan
perkara ruangan harus besar, wangi, dan berpendingin udara. Nyaman di sini
lebih pada perlakuan guru dan pustakawan pada anak-anak.
Sambutlah anak-anak itu
dengan hangat, tersenyum cerah pada mereka, dan pandanglah mereka sebagai
pembaca cilik yang luar biasa. Bukan sebagai serombongan anak yang berisik dan
akan mengacak-acak koleksi buku di perpustakaan.
Takut buku-buku yang ada
di perpustakaan menjadi kusut, kotor, atau robek? Itu bukan alasan untuk
mengekang anak dengan banyak peraturan yang akhirnya justru membuat mereka
enggan membaca.
Tugas guru dan
pustakawanlah untuk memberikan pemahaman pada anak-anak tentang bagaimana
memperlakukan buku seharusnya. Mata tak perlu melotot. Suara pun tak perlu
meninggi. Bukankah kita ingin anak-anak mencintai kegiatan membaca?
3. Teladan dari guru.
Berilah teladan pada
anak-anak. Tunjukkan konsistensi antara ucapan dan perbuatan.
Meski masih kecil, anak-anak
bisa menilai. Mereka akan kurang respek pada guru yang galak menyuruh mereka
membaca buku tetapi sang guru malah asyik dengan telepon selulernya. Anak-anak
disuruh banyak membaca supaya pintar, tetapi sang guru malah menghabiskan waktu
dengan mengobrol.
Sebaliknya, anak-anak akan
respek pada guru yang tidak hanya bisa menyuruh tetapi juga melakukannya
bersama mereka. Bapak dan ibu guru yang senang membaca akan menjadi role model dan oase bagi anak-anak.
4. Aktivitas pendukung.
Banyak aktivitas pendukung
yang bisa dilakukan untuk menumbuhkan minat dan budaya baca anak-anak. Di
antaranya adalah sebagai berikut.
a. Mendongeng.
Dalam
kegiatan mendongeng, anak-anak mendengar dan menyimak aksi pendongeng. Mendongeng
bisa dilakukan di perpustakaan (agar anak-anak terbiasa dengan keberadaan
buku-buku) atau di ruang kelas. Jika anak-anak tertarik, pancing mereka untuk
membaca buku-buku dongeng yang ada.
Mang Idon mendongeng di panggung Pesta Buku Bandung, Maret 2017, dengan melibatkan anak-anak SD. (Foto: www.trianiretno.com) |
b. Membacakan buku (read-aloud).
Read-aloud
ini bukan hanya untuk anak-anak yang belum bisa atau belum lancar membaca.
Anak-anak yang sudah lancar membaca pun masih senang dibacakan buku.
Tujuan read-aloud bukan untuk mengajarkan anak
bisa membaca, melainkan menumbuhkan kecintaan pada buku dan aktivitas membaca.
Jim
Trelease (Hikmah, 2008) mengatakan bahwa buku yang dibaca dalam aktivitas read-aloud ini bisa berupa buku cerita
bergambar, bisa pula buku fiksi dan nonfiksi yang memiliki bab-bab.
Agar lebih
menarik, mainkan intonasi suara dan ekspresi wajah. Libatkan anak-anak. Pancing
mereka untuk berpendapat tentang cerita yang sedang dibaca. Bisa juga menggunakan Storytel untuk mendapatkan pengalaman membaca buku yang berbeda dan menyenangkan.
Kegiatan story telling di Gramedia Festival Citylink. (Foto: Hilman Rahmadi) |
c. Menceritakan kembali (re-telling).
Jika
anak-anak sudah selesai membaca buku, minta mereka untuk menceritakan kembali
apa yang mereka baca. Tidak ada benar atau salah di sini.
Biarkan
anak-anak menceritakan kembali dengan bahasa mereka sesuai dengan pemahaman
mereka atas buku yang dibaca. Ajukan satu-dua pertanyaan ringan, seperti siapa
tokoh yang paling disukai dalam cerita itu atau mengapa menyukai tokoh A. Berikan
apresiasi karena mereka telah membaca buku.
d. Menulis.
Ajak
anak-anak untuk menulis. Bisa menulis cerita atau membuat tinjauan sederhana
tentang buku yang mereka baca. Ingatkan mereka untuk menulis dengan bahasa
mereka sendiri, bukan menyalin tulisan di buku.
e. Menggambar.
Anak-anak
biasanya senang menggambar. Ajak mereka ke perpustakaan, lalu biarkan mereka
menggambar bebas. Dalam memori mereka akan terekam kenangan tentang betapa
menyenangkannya suasana di perpustakaan
f. Melakukan eksperimen sederhana.
Sekarang
ada banyak buku sains sederhana untuk anak-anak. Bahasanya mudah dipahami, lengkap
dengan ilustrasi yang menarik dan penuh warna.
Lakukan
satu-dua percobaan bersama anak-anak. Beritahu mereka bahwa percobaan itu ada
di buku (tunjukkan buku tersebut) dan mereka boleh membacanya sendiri.
g. Berkunjung ke acara-acara literasi.
Berbagai
acara literasi bisa dikunjungi secara gratis. Misalnya pameran buku,, launching buku, dan jumpa
pengarang. Di kota Bandung, misalnya, Penerbit Mizan, Penerbit Sygma, dan Toko
Buku Gramedia rutin mengadakan acara wisata buku secara gratis.
5. Libatkan orangtua.
Keterlibatan orangtua
murid pun penting dalam membangun budaya baca. Dalam pertemuan-pertemuan dengan orangtua murid,
sosialisasikanlah tentang pentingnya budaya membaca. Sampaikan pula upaya-upaya
yang telah dilakukan oleh pihak sekolah bersama anak-anak.
Kerja sama antara sekolah
dan orangtua ini penting. Jangan sampai anak merasa bingung karena di sekolah
didorong untuk senang membaca tetapi di rumah malah dimarahi orangtua karena
membaca buku.
Membangun budaya baca
memang tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namun, tidak ada yang tidak
mungkin jika sungguh-sungguh berusaha.
Referensi
Hernowo. 2003. Andai Buku Itu Sepotong Pizza. Bandung:
Kaifa.
Muktiono, Joko D. 2003. Aku Cinta Buku: Menumbuhkan Minat Baca Pada
Anak. Jakarta: Elex Media Komputindo.
Trelease, Jim. 2008. Read-Aloud Handbook: Mencerdaskan Anak
dengan Membacakan Cerita Sejak Dini. Penerjemah Arfan Achyar. Bandung:
Hikmah.
Kompas.com. 29 Agustus
2016. “Minat Baca Indonesia Ada di Urutan ke-60 Dunia”. http://edukasi.kompas.com/read/2016/08/29/07175131/minat.baca.orang.indonesia.ada.di.urutan.ke-60.dunia.
Diunduh tanggal 12 Oktober 2017.
Koran Republika. 15
Desember 2014. “Literasi Indonesia Sangat Rendah”. http://www.republika.co.id/berita/koran/didaktika/14/12/15/ngm3g840-literasi-indonesia-sangat-rendah. Diunduh
tanggal 12 Oktober 2017.
Salam,
Triani Retno A
www.trianiretno.com
Penulis Buku Indonesia
Ulasan yang bagus tentang budaya membaca. Terimakasih sudah berbagi :)
BalasHapusMengenalkan buku sedari bayi, alhamdulillah anak-anak kini gemar membaca. Kalau sudah membaca, nggak mau diganggu. Bahkan makan pun harus sambil ngadep buku.
BalasHapusDulu sering dinyinyiri karena anak masih bayi kok sudah dibelikan buku. Nggak sayang tuh duitnya? Mana harga bukunya mahal pula. Saya senyumin aja. Sekarang yang suka nyinyir minta resep, gimana supaya anak-anaknya mau membaca. Karena anaknya tuh susah sekali kalau disuruh belajar, apalagi baca buku pelajaran, baca komik aja ogah. Saya senyumin aja, terus saya bilang " tanya sama anak saya resepnya, dia tuh yang lebih tahu karena dah pengalaman"