Ilustrasi toko buku. Foto oleh David Yu dari Pexels. |
Beberapa tahun belakangan ini, jastip buku menjadi salah satu sumber penghasilan saya. Secara fisik memang jauh lebih capek, tapi hasilnya memuaskan.
Pada dasarnya saya memang suka buku, sih ya. Jadinya jastip buku begitu terasa menyenangkan.
Di balik itu, ada pengalaman tak
biasa saat jastip. Tak biasa, karena melibatkan mereka yang berada di dimensi
lain.
Beberapa tahun lalu pernah sehabis
belanja buku untuk lapak online, saya bertemu “sesemakhluk” di dalam gerai ATM
sebuah kampus di Bandung. Tentang itu sudah saya tulis dalam Cerita-Cerita Horor di Bandung.
Sekarang saya mau cerita pengalaman
“serempetan dimensi” lainnya.
Bentrokan Energi
Beberapa bulan sebelum pandemi. Pagi
itu saya menumpang ojek online untuk menuju lokasi acara. Ada event yang harus
saya hadiri dalam kapasitas saya sebagai blogger.
Di perjalanan, tak sengaja saya lihat
spanduk pameran buku di sebuah mal.
Langsung mengingat-ingat, ada berapa
rupiah di rekening bank saya. Memungkinkan atau tidak jika saya mampir ke sana
dan buka jastip dadakan?
Saldo tak banyak, tapi cukuplah untuk
modal awal ngejastip dadakan ini. Toh ini juga sekalian lewat.
Jadi begitulah. Usai meliput acara,
saya (dan ojol tentunya) meluncur ke lokasi pameran buku.
Begitu masuk lokasi mal, sebenarnya
hati mulai gamang. Ada suasana keueung yang tau-tau menyergap. Keueung
tuh … apa ya. Sunyi sepi yang terasa menyeramkan gitu deh.
Jastip apa enggak nih? Jastip, nggak,
jastip, nggak …. Jarang-jarang saya sampai meragu begini.
Karena sudah terlanjur sampai,
akhirnya saya putuskan untuk jadi saja. Apa salahnya lihat-lihat sebentar, kan.
Mumpung udah di sini. Barangkali aja banyak buku bagus yang bisa dijastipkan.
Saya mengabaikan sebuah nasihat: Jika
ragu-ragu, tinggalkan saja.
Dan lihatlah yang saya alami.
Lokasi pameran buku berada di lantai
5 mal yang sepi itu. Saya sudah mulai menyesal sebelum tiba di titik lokasi.
Lift-nya bikin parno! Tersendat-sendat. Mo nangiiiis!
Ilustrasi lift. Foto oleh Kelly Lacy dari Pexels |
Akhirnya tiba juga di lokasi. Dan, penyesalan datang lagi. Ruangan yang dijadikan lokasi pameran berdinding hitam. Iyes, semua dindingnya berwarna hitam. Makin parah dengan penerangan yang tak terlalu terang.
Saya mulai berkeliling lokasi. Sepi. Hanya ada dua orang pengunjung lainnya. Petugas yang menjaga pameran? Oh, mereka ada. Berkumpul di area kasir nun di depan sono.
Sesekali saya cekrek aplod. Sesekali
nulis status di FB tentang lokasi tempat saya berada.
Lalu … saya mulai sesak napas. Kemudian
mual. Dan sakit kepala. Seperti ada yang menusuk-nusuk kepala.
Saya tidak tahu mana yang lebih
menyakitkan: sesak napas, mual, atau sakit kepala. Ketiganya berkolaborasi menekan saya. Di titik ini saya sudah
paham. Tempat ini memang “nggak beres”.
Status yang saya tulis di Facebook
dibaca oleh beberapa teman yang memiliki kepekaan indra.
Salah seorang langsung merasa mual
dan sakit kepala hanya dengan melihat foto yang saya unggah.
“Mbak Eno lagi di mana itu? Serem
banget tempatnya. Di sana juga energinya kuat.”
Teman yang lain menganjurkan saya
untuk segera meninggalkan lokasi itu. Dia tak langsung menjelaskan, hanya
mengulang-ulang perkataannya: Pulang. Buruan pulang. Pulang.
Saya menurut. Saya juga sudah tak kuat lagi.
Ilustrasi book sale. Foto oleh Clem Onojeghuo dari Pexels |
Beberapa jam kemudian, barulah teman
saya bercerita. Ketika itu saya sudah tiba di rumah.
“Di sana banyak penunggunya, Mbak.
Seram-seram. Jahat. Ada yang nggak jahat, tapi lemah,” ujar teman saya. “Energi
mereka kuat sekali, tapi bentrok dengan energi Mbak. Makanya Mbak mual dan
sakit kepala.”
Lalu dia menunjukkan di mana saja
“mereka” berada. Ada yang begitu dekat dengan tempat saya berdiri. Ada yang
terus berusaha menghampiri saya, entah mau apa.
Setelah kejadian itu saya tak pernah lagi ke mal tersebut. Once is enough!
Ada Siapa di Sini?
Tempat yang satu ini beda lagi. Bukan
mal, melainkan rumah peninggalan zaman Belanda. Rumah satu lantai itu besar dan
memiliki banyak ruangan. Halamannya pun luas.
Belum ada pengunjung ketika saya tiba di sana pada suatu pagi. Ada satu-dua pegawai gudang yang sedang sibuk.
Saya langsung melihat-lihat buku yang
dipajang. Langsung online di Facebook juga. Live Facebook sebentar, lalu mulai
cekrek aplod.
Lalu hidung saya mulai menangkap
aroma harum melati di dekat saya. Semakin lama semakin harum.
Di sekitar saya tak terlihat
siapa-siapa. Pegawai gudang pun tak ada yang melintas di dekat saya.
Dengan ketenangan yang saya juga
nggak tau datang dari mana, saya berkata pelan. “Assalamualaikum.”
Sepi. Tapi wangi melati tadi masih
begitu dekat. Begitu kuat.
“Kamu tinggal di sini ya? Aku ke sini
cuma mau nyari buku buat dijual lagi.”
Wangi itu masih di dekat saya.
Mengikuti saya mencari buku. Lima menit berlalu, barulah wangi itu menghilang.
Kapokkah saya datang ke sana?
Hm … saya selalu ke sana setiap kali
ada kesempatan. Termasuk bulan Ramadan kemarin.
Sepi? Pasti. Apalagi sedang pandemi.
Lelah? Banget. Ini kerja fisik. Tempatnya pun jauh dari kata nyaman. Untungnya
ada kipas angin. Kalau tidak, udara rasanya “mati”.
Sayup-sayup saya dengar suara orang
mengaji di ruangan sebelah. Itu si babang pegawai. Dia bekerja sambil membaca
ayat-ayat suci Al-Quran.
Tak lama, si babang datang menemui
saya. “Teh, di ruang sebelah bukunya bagus-bagus. Banyak yang baru datang.”
Saya ke sana, dong. Dan senang sekali
melihat banyak buku bagus di sana.
Cekrek, aplod, cekrek, aplod. Tunggu ada yang mesen, cari dan ambil buku yang dipesan. Masukkan ke kardus.
Well, praktiknya sih nggak semulus itu.
Sering saya lupa letak buku yang sudah saya cekrek aplod.
Seperti buku karya seorang penulis yang nggak usahlah saya sebut namanya.
Banyak yang memesan bukunya. Tapi
saya hanya menemukan satu eksemplar. Ada satu lagi, tapi saya lupa di mana.
Bolak-balik mencari, tak juga dapat.
Tubuh saya mulai lelah. Akhirnya,
saya duduk di dekat tumpukan buku. Sambil beristirahat, saya mencari-cari di
tumpukan yang sejangkauan tangan saya. Buku itu tidak ada. Tapi siapa tahu ada
buku lain yang menarik.
Ilustrasi gudang buku. Foto oleh Ekrulila dari Pexels |
Sebentar lagi gudang akan ditutup.
Saya menghela napas panjang. Ya sudahlah. Saya bayar saja yang ada. Itu juga
sudah dua kardus besar.
Lalu, saya melihat buku itu!
Buku yang saya cari-cari tadi ada di
paling atas tumpukan buku di dekat saya, di jangkauan tangan saya. Tumpukan yang tadi sudah saya periksa
berkali-kali.
Tadi buku itu tidak ada! Dan tidak
ada orang lain bersama saya.
“Alhamdulillah. Makasih, ya,” ujar
saya pelan.
Sebulan kemudian, saya bertemu si
babang pegawai itu di tempat lain. Iseng saya bilang, “Enakan di sini ya, Kang.
Nggak serem kayak di gudang.”
Jengjreng!
Si babang pegawai menatap saya.
“Pernah mengalami yang aneh-aneh di sana, Teh?”
Setelah saya mengiyakan, barulah
mengalir cerita dari lisannya. Tentang anak kecil yang mengintip di pintu
gerbang tapi setelah dikejar ke sana ternyata tak ada siapa-siapa. Tentang
pintu gerbang yang terdorong membuka tanpa ada orang di sana.
Pintu gerbang itu tinggi, berat, tertutup,
dan berkarat di beberapa bagian. Bukan jenis pintu yang mudah tertiup angin.
Bukan pula pintu modern yang bisa dikendalikan dari jarak jauh.
Sesuatu dari dimensi lain sedang
bermain-main membuka tutup pintu gerbang itu.
Pengalaman horor lainnya bisa dibaca di Kumpulan Cerita Horor di Hotel dan Pengalaman Horor Saat Wisata Kuliner di Bandung.
Salam,
Triani Retno A
Pengalaman horor.
BalasHapusHoror banget ceritanya Mbak Retno. Naik lift di mall yang sepi dan tempatnya cukup seram. Tapi seru juga ya, belanjain buku untuk jastip gitu
BalasHapusTeteh lihat sendiri langsung penampakannya atau cuma merasakannya ada seperti dengan tanda harum melati, gitu?
BalasHapusKeueung harus segera cari kata lainnya nih selain kata menyeramkan. Hahaha....buka kamus lagi
Sama kayak saya nih kalau ada di tempat yang punya energi kuat. seperti kehabisan oksigen padahal di tempat yang lapang: mual, sesak napas dan kepala peningnya beda.
BalasHapusTernyata urusan jastip ada aja ya pengalaman yang dirasakan, mungkin horornya bukan hanya dari si pembeli tapi malah dari lokasinya tempat nyari bukunya heuheh
BalasHapusMerinding aku, Mbak. Amit-amit deh jangan sampai mengalami hal seperti ini. tetapi katanya memang ada orang-orang yang "bakat" mengalami peristiwa horor begini. Biasanya mereka lebih peka. Nah, kalau saya memang pernah punya pengalaman datang ke pameran buku yang tampilannya serem gitu karena setting-nya gelap. tapi saya buru-buru keluar aja. Auranya gak enak jadi gak bia menikmati buku-bukunya.
BalasHapushuwa teteh aku pernah nih di kawasan kota Lama semarang, pas patjarmerah duh aku cari-cari nggak nemu, padahal liat loh tadi giliran mau bayar ketemu. Samaan rumah tua peninggalan Hindia Belanda. Tuh kan teteh bikin penasaran baca bukunya.
BalasHapusAduh kok horor ya Mbak, haha
BalasHapusBikin merinding bacanya apalagi di toko buku, utamanya yang anak kecil itu
Bayanganku tuyul mau ambil uang beli buku haha
Mbak Eno termasuk yang peka, bisa merasakan hal-hal begitu. Btw, jadi pengen mampir ke FB-nya, Mbak. Aku termasuk suka nitip buku di teman di Jakarta.
BalasHapusOh saya baru tahu kalau tiba tiba pusing mual itu bisa jadi karena ada energi lain yang kuat ya. Semoga mbak selalu dilindungi dimanapun. Tetap semangat jastip bukunya 🥰
BalasHapus