Kalau dicek di kamus, kata “reviewer” mengacu pada pengulas buku atau peresensi buku. Tapi di kita (kitaaa? Siapa tuh kita?) penggunaan kata reviewer ini sudah meluas.
Bukan hanya mengacu pada pengulas buku, tetapi juga pengulas film, aplikasi, makanan, tempat wisata, dan beraneka produk.
Macam-macam produk yang di-review. Dari produk pendidikan sampai produk kecantikan. Staycation di hotel pun bisa menjadi bahan ulasan si reviewer.
Reviewer dalam tulisan ini lebih khusus pada reviewer tempat kulineran. Kenapa judulnya Reviewer Kuliner Baper? Hmm … yaaa … bagus aja kan berima er-er-er gitu.
Pengalaman Kulineran
Jalan-jalan, ya sekalian jajan-jajan. Kecuali kalau nggak ada yang jual jajanan. Masa mau membeli janji manis pada musim kampanye?Terutama kalau jalan-jalannya melewati waktu makan. Perut udah keburu lapar. Kalau nunggu sampai di rumah baru makan, sepertinya kestabilan emosi sudah berkurang beberapa strip.
Lapar ngamuk, kenyang ngantuk. Gitu deh kira-kira.
Tempat makan … tentu saja pilih yang sesuai dengan duit di dompet. Alhamdulillah, nggak punya credit card atau inilater itulater. Jadi bisa menihilkan godaan “makan sekarang, bayar bulan depan”.
Tapi iiih … emangnya nggak kasihan kalau anak-anak nggak nyicipin makan di tempat wiskul kekinian?
Nggak. Hehehe …. Kebetulan yang kami butuhkan adalah makan, bukan memburu gengsi dan tren.
Sesekali kami memang makan-makan di tempat yang lebih mahal. Sesekali saja kalau keuangan lagi lega.
Bukan buat gaya-gayaan, apalagi buat konten di media sosial. Lebih pada memberi mereka pengalaman di bidang kuliner.
Saya menganggap perlu soal pengalaman ini. Minimal sih, kalau pernah nyicipin rasanya dan melihat tampilan riilnya, jadi ada bayangan kalau harus membuat sendiri.
Kalau kami suka dengan menunya, biasanya berlanjut dengan browsing mencari resep yang paling mendekati.
Jalan, Jajan, Review
Sop ayam merah yang raos pisan di Cawit, Ciumbeuleuit. |
Acara jalan-jalan dan mampir jajan bareng anak-anak atau sendirian itu biasanya saya tulis di blog ini.
Biasanya sih, karena ada aja kondisi yang nggak biasa. Kondisi nggak biasa itu misalnya makanannya nggak cocok selera saya (saya nggak bilang nggak enak loh ya, karena selera itu subjektif).
Atau misalnya lagi, pelayanannya menyebalkan. Bisa juga karena duet maut antara makanan yang nggak cocok plus pelayanan yang menyebalkan. Dahlah ini mah.
Ada yang begitu, Teh?
Wohooo … tentu saja ada dan nggak suma satu. Tapi kalian nggak akan menemukannya di blog ini (atau blog yang lain). Saya diem aja.
Sebaliknya kalau saya suka dengan makanannya, tempatnya, serta layanannya. Dengan senang hati saya akan menuliskan review positif tentang tempat itu.
Misalnya Bobotoh yang menyajikan masakan khas Sunda. Tagline-nya saja Dapur Sunda Buhun.
Saya suka ke sana dengan anak-anak. Makanannya enak dan bervariasi. Harganya terjangkau, tempatnya bersih, dan orang-orangnya ramah. Plus interiornya yang bernuansa jadul.
Review saya atas Bobotoh ini bisa dibaca di Bobotoh, Makan Enak di Ujungberung.
Beda lagi kalau ke coffee shop. Biasanya saya sendirian ke sana. Biasanya buat nebeng kerja karena di rumah terlalu banyak gangguan. Atau buat ketemu klien.
Ngopi-ngopi cantik versi saya itu ya … duduk sendiri sambil mengerjakan sesuatu di laptop.
Janji Kopi adalah salah satu kedai kopi di Bandung favorit saya. Saya pertama kali ke sana ketika baru dibuka tahun 2018.
Salah satu sudut Janji Kopi pada tahun 2018. |
Kebetulan waktu itu ada klien minta ketemu. Jadilah kami bertemu di Janji Kopi.
Saya langsung suka! Suka kopinya. Suka tempatnya yang cantik. Suka dimsumnya. Suka pelayanannya yang ramah.
Besoknya saya datang lagi ke sana buat motrat-motret dan nyobain menu yang lain. Jadilah review Janji Kopi, Coffee Shop Baru di Bandung Timur.
Di Janji Kopi ini saya menyelesaikan banyak tulisan untuk blog dan dua naskah buku. Kedua buku itu kini sudah terbit, bagian dari ensiklopedia MUMTASZ, Muhammad Teladan Sepanjang Zaman.
Begitu juga tempat-tempat lain yang pernah saya datangi. Saya tulis dan posting di blog ini, di bawah label Kuliner.
Yaaah…ada juga sih yang enak tapi belum saya review. Biasanya karena keburu sibuk dengan pekerjaan lain.
Senang sekali menjadi bagian dari tim penulis MUMTASZ. |
Saatnya Berpisah
Di Bandung usaha kuliner tumbuh subur. Selalu saja ada yang baru. Selalu saja ada yang menjadi buruan baru.Di sisi lain, ada juga yang harus pamit dari perkulineran di Bandung. Macam-macam penyebabnya.
Di antara banyak yang harus undur diri dari perkulineran Bandung itu, beberapa pernah saya review positif di blog ini.
Coffee shop favorit saya tak bisa lagi bertahan di masa pandemi. Awal 2021 ketika ke Ubertos, saya lihat Janji Kopi sudah gelap dan kosong. Lho … lhoooo?
Saya baper! Teringat masa-masa saya nebeng kerja di sana sambil ngopi dan cemal-cemil dimsum. Saya langsung bertanya ke DM IG. Kenapa ini, kenapa?
Jawaban yang saya terima membuat semakin baper. Pandemi memaksa Janji Kopi pamit dari perkopian di Bandung.
Awal 2022, ada kedai kopi baru tak jauh dari Ubertos. Namanya Kopi Pabrik Sukahati.
Kopi Pabrik Sukahati. |
Ya, ke sana tujuan saya kalau butuh tempat yang tenang buat menulis. Entah itu menulis blogpost, novel, cerita anak, atau resensi buku. Saya suka tempatnya yang semi outdoor.
Mata terasa adeeem melihat hijau dedaunan dan rerumputan. Meredam perih mata yang lama menatap layar laptop.
Review tentang Kopi Pabrik Sukahati ini bisa dibaca di Tempat Buat Nugas? Sukahati Aja.
Suatu hari, ketika akan ke Sukahati, saya tertegun melihat rumah makan di seberangnya. Rumah makan itu tutup. Ada tulisan besar-besar di bagian depan. DIJUAL.
Euleuuuh … Bobotoh tutup juga? Adududuh…. Kok tutup siiih? Kenapa?
Selain Janji Kopi dan Bobotoh, beberapa tempat lain yang pernah saya review pun sekarang sudah tutup. Bahkan sebelum pandemi tahun 2020.
MamaMimi, DMoners, Madinah Cake, Chopstix, dan Me Time Café. Aduh, green tea latte dan pie di Me Time Café itu favorit kami. Rasanya top markotop.
Langsung teringat dong momen apa yang membawa saya ke sana. Me Time Cafe misalnya. Saya pertama ke sana waktu meet up dengan editor saya dari Penerbit Elex Media Komputindo yang sedang ada acara di Bandung.
Bungsu saya yang ketika itu masih bocil sempet-sempetnya berbisik ke saya. "Mi, temen Mami cantik." Hihi....
Atau Chopstix. Lokasinya lumayan jauh dari rumah. Saya dan anak-anak makan-makan di restoran chinesse food halal itu memanfaatkan voucher MAP hadiah dari sebuah event blogger.
Akan Tetap Ada
Bisnis kuliner insya Allah akan tetap ada. Cumaaaa, begitulah. Ada yang datang, ada yang pergi. Ada yang bertahan, ada yang harus menghilang.Review kuliner pun bakal tetap ada. Penikmat kopi dan kuliner seperti saya akan tetap dengan senang hati berbagi pengalaman.
Baper-baper dikit ketika tempat kulineran favorit terpaksa tutup agaknya wajar saja. Setidaknya, saya pernah memberikan ulasan positif.
Btw, kalian pernah sebaper sayakah ketika tempat makan favorit yang pernah diulas ternyata tak kuat bertahan lagi?
Kalau pernah, yuk berbagi kebaperan. Kita baper karena kita manusia. Punya rasa, punya hati. Jangan samakan dengan pisau belati. Eh punten. Itu kenapa Candil dan Seurieus Band malah nyanyi di sini?
Salam,
Triani Retno A
www.trianiretno.com
Penulis Buku, Novelis, Editor Freelance
Aghhhh aku tau banget itu rasanya mba 😔. Apalagi kalo tempat makan yg akhirnya tutup, rasanya sebenernya enak, hanya saja mungkin kalah saing dari segi promosi dan modal. Itu sedih sih, apalagi sejak pandemi yaaa. Banyak bgt yg terpaksa gulung tikar.
BalasHapusKalo aku sendiri juga lebih milih menuliskan di blog, hanya tempat makan atau tempat wisata yg msh LBH banyak positifnya drpd negatif. Jadi kalo memang ga enak atau ga bagus, aku cukup mereview di IG Story yg hanya muncul 24 jam. Tapi kalo bagus, itu udah pasti aku tulis juga di blog mba.