Hiks … hiks ….
Suara tangis itu terdengar jelas di keheningan museum. Membuat langkah kami terhenti.
Tak ada orang lain di sana. Hanya kami berdua. Dan patung-patung seukuran manusia yang menggambarkan sosok pejuang dan seorang wanita berkebaya.
Tanpa memberi jeda, tangis itu terus memenuhi ruang sepi. Semakin lama semakin nyaring dan menyayat hati.
Kaki-kaki membeku kami akhirnya bisa digerakkan kembali. Lari!
Baca Juga: Jalan-Jalan ke Museum Pos Indonesia
Saya dan Museum
Saya tidak suka kunjungan berombongan ke museum. Apalagi rombongan yang berisik ngegosip atau ketawa jerit-jerit.Terlalu ramai membuat tidak leluasa menikmati koleksi musem. Plus terasa kehilangan momen syahdunya.
Sialnya, saya juga tidak berani ke museum sendirian. Rasanya keueung, kalau kata orang Sunda. Sunyi sepi mencekam.
Solusi terbaik bagi saya adalah ke museum dalam rombongan kecil. Atau dengan orang-orang yang juga menaruh minat pada koleksi museum.
Jadi, kalaupun ada obrol-obrol saat di dalam museum, volume suara masih terkontrol. Topik pembicaraan pun biasanya tak jauh dari museum.
Meski belum banyak museum yang saya datangi, saya mencintai museum. Tapi … sepertinya “penghuni” museum pun mencintai saya dan ingin berkenalan.
Baca Juga: Cerita-Cerita Horor di Bandung
Study Tour ke Museum
Sekian tahun lalu, anak saya ikut study tour ke tiga museum di kota kami. Semua murid wajib ikut dalam wisata sejarah di Bandung ini.Wajib ikut itu bikin saya menarik napas panjang dan mengembuskannya dengan berat. Masalahnya, selama kelas 5 itu dia bolak-balik sakit. Dalam satu bulan bisa cuma 2-3 hari bersekolah.
Bolak-balik ke dokter, katanya cuma sakit maag. Mungkin karena stres.
Anak kelas 5 SD stres sampai sakit begitu?
Hm … iya. Gimana nggak stres kalau dalam satu hari saja dia bisa berkali-kali terseret masuk ke dimensi lain.
Sudah bertahun-tahun berlalu tapi saya masih merinding menuliskan ini.
Bisa kamu bayangkan, sedang fokus belajar di kelas, tiba-tiba “jiwanya” sudah pindah ke masa lalu. Raganya terlihat duduk diam di kelas, tapi jiwanya ada di bangsal rumah sakit kuno atau di tengah peperangan masa lalu.
Suara tembakan, bom, denting pedang, teriakan dalam bahasa Belanda, bahasa Jawa, bahasa Sunda, dan entah bahasa apa lagi.
Nah, dalam kondisi demikian, dia harus ikut study tour ke museum geologi, museum budaya, dan … museum sejarah.
Akhirnya, saya putuskan mengawal dengan kendaraan sendiri. Dia naik bus dengan teman-temannya. Cuma saya pesankan, di museum nanti jangan sampai terpisah dari rombongan.
Baca Juga: Roemah Martha Tilaar, Museum Budaya Gombong
Museum Sejarah
Ruang Perang Kemerdekaan. Foto: mandalawangsit.com |
Selain itu, para pemandu di sini bukan orang biasa. Semuanya lelaki tegap berseragam hijau.
Saya dan si bungsu berjalan tepat di belakang rombongan. Saya juga ingin mendengar penjelasan dari pak pemandu tentang benda-benda bersejarah di museum ini.
Benda-benda bersejarah, foto-foto, dan diorama yang dipajang di sini cukup membuat saya sesak napas. Pemberontakan. Pembantaian.
Sedih. Tapi juga berterima kasih atas perjuangan dan pengorbanan mereka yang luar biasa.
Saya terus berjalan mengikuti rombongan. Jarak saya dari rombongan hanya dua-tiga langkah. Tapi tiba-tiba… lho, mereka di mana?
Rombongan bocil yang sejak tadi tak bisa diam dan pemandu mereka tiba-tiba tak tampak lagi di depan saya. Mereka seperti hilang begitu saja. Suara mereka pun tak terdengar. Sepi. Hening.
Di sekeliling saya putih. Lalu saya melihat tangga ke ruangan atas. Oh, mungkin mereka ke sana. Bergegas saya naik dan menemukan sebuah ruangan yang sepi. Tak ada satu manusia pun di sana.
Jika di lantai bawah tadi saya merasa gelap dan pengap, di sini saya merasa kedinginan. Seperti ada yang mengawasi dari berbagai penjuru.
Saya ingin buru-buru, tapi si lima tahun malah tertarik melihat-lihat. Saya makin tidak tenang.
Akhirnya saya gendong dan setengah berlari menuju ke tangga satu lagi di seberang ruangan. Bukan ke tangga yang tadi karena … saya juga nggak tau kenapa. Refleks saja lari ke sana.
Sepanjang berlari menuruni tangga, saya tak tak bertemu seorang pun. Saya baru lega ketika anak tangga itu berakhir di bawah. Ada dua lelaki berseragam hijau duduk di depan meja.
Mereka menatap saya yang masih pucat dan gemetar.
Dalam kondisi biasa saya tahu, seharusnya saya tidak boleh takut. Tapi dalam kondisi tidak biasa begini … saya malah kabur.
Namun, yang saya syukuri, putri saya baik-baik saja. Dia menikmati study tour-nya.
Baca Juga: Benteng Van der Wijck Gombong
Belajar dari Museum
Museum Mandala Wangsit Siliwangi di Jalan Lembong, Bandung. Foto: mandalawangsit.com |
Cerita di awal tulisan ini adalah “sapaan manis” yang saya dapat di Museum Benteng Vredeburg, Yogyakarta.
Yang kedua adalah di Museum Mandala Wangsit Siliwangi, Bandung.
Pada masa penjajahan, bangunan ini adalah tempat tinggal perwira Belanda. Tahun 1949 bangunan ini menjadi Markas Divisi Siliwangi.
Di buku-buku pelajaran Sejarah Indonesia tercantum peristiwa penyerangan yang dilakukan oleh Westerling dan Angkatan Perang Ratu Adil (APRA) di Bandung pada tanggal 23 Januari 1950.
Sasaran mereka adalah Markas Divisi Siliwangi. Sebanyak 79 tentara tewas di dalam peristiwa itu, temasuk Letkol Lembong.
Pada tanggal 23 Mei 1966 bangunan yang menjadi saksi bisu kekejaman Westerling ini diresmikan sebagai Museum Mandala Wangsit Siliwangi.
“Tapi saya nggak ngerasa apa-apa, tuh, waktu ke sana.”
Sensitivitas setiap orang berbeda-beda. Bersyukurlah jika tidak ada makhluk dimensi sebelah yang menyapamu atau malah memperlihatkan diri padamu.
Serius, bersyukurlah.
Apakah setelah itu saya kapok ke museum?
Hm … tidak. Saya tetap suka wisata sejarah dan berkunjung ke museum. Banyak yang bisa dipelajari dari wisata sejarah begini. Tentu saja, asalkan jangan sendirian.
Catatan:
Foto 1 Foto perjuangan di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta. Foto diambil di ruangan berbeda dari ruangan tempat tangisan misterius terdengar.Foto 2 dan 3 saya ambil dari situs resmi mandalawangsit.com. Saya lupa di mana menyimpan foto-foto sewaktu kunjungan ke sana.
Salam,
Triani Retno A
Wisata sejarah Bandung
BalasHapus