21 November 2022. Siang itu saya sedang mencari lunch box untuk si bungsu.
Sekolahnya full day. Untuk makan siang pilihannya cuma dua: membawa bekal makanan dari rumah atau jajan di satu-satunya kantin sekolah. Anak saya memilih membawa bekal saja.
Kotak bekalnya sekarang berukuran kecil. Jadi, siang itu, mumpung senggang saya ke Mutiara Kitchen. Sekalian membeli ketel untuk masak air.
Ketel yang lama sudah tidak bisa dipakai karena gagangnya patah. Ketel tua juga, sih. Tepatnya, perabotan di rumah saya memang kebanyakan sudah uzur.
Setelah mendapat ketel yang cocok di lantai satu, saya ke lantai dua untuk mencari lunch box.
Ketika sedang asyik membanding-bandingkan lunch box, saya merasa pusing dan oleng.
Satu tangan memegang lunch box, satu lagi memegang rak. Pusing dan oleng begini bukan pertama kali saya rasakan karena tensi saya rendah. Jadi…
“Gempa! Bu, Ibu, turun! Gempa!”
Dua pegawai toko berlarian dari arah belakang lantai dua sambil berteriak-teriak.
Hah! Gempa? Dengan masih oleng saya ikut berlari turun.
Beberapa menit kemudian, barulah saya tahu bawa gempa itu berpusat di Cianjur dengan magnitudo 5,6.
Baca Juga: KKN di Desa Cihanyir
Tidak Sensitif Gempa
Tanggal 3 Desember 2022 Bandung kembali mendapat “kiriman getaran” dari gempa di Garut.Kali ini saya tidak merasa apa-apa. Dan itu membuat saya khawatir. Bukan baru kali ini saya tidak merasa apa-apa ketika ada “kiriman getaran gempa”.
Orang-orang rumah pun sama. Kondisi ini membuat saya lumayan khawatir. Karena tidak merasakan getaran, jadi tidak ada usaha untuk menyelamatkan diri. Bahaya kalau begitu mah.
Yang terpikir oleh saya adalah menyediakan botol berisi air (setengah botol saja) di ruangan yang sering saya tempati. Entahlah, itu efektif atau tidak.
Waktu kecil dulu saya terbiasa melihat lampu yang menggantung di ruangan. Getaran karena gempa akan membuat lampu bergoyang-goyang dan itu artinya kami harus segera melesat ke luar rumah.
Tapi rumah yang sekarang berlangit-langit rendah, lampu menempel di sana, tidak menggantung.
Banda Aceh Tahun 1983
Pada gempa tahun 1983 menara Masjid Raya ini retak. Foto: Pixabay. |
Semasa kecil saya tinggal di rumah panggung berdinding dan berlantai kayu. Rumah peninggalan Belanda itu luas sekali. Halamannya pun luasss sampai-sampai orangtua saya bisa membuat kebun, kolam ikan, dan peternakan ayam broiler. Masih ada garasi besar pula.
Pintu-pintu dan jendela-jendelanya berukuran tinggi. Jarak dari lantai ke langit-langit rumah pun tinggiii. Mungkin memang begitulah seharusnya rumah di daerah tropis, ya.
(Tentang rumah masa kecil ini kapan-kapan saya ceritakan. Kalau inget dan nemu foto-foto lawas di sana.)
Ada kabel panjang dari langit-langit sampai ke bola lampu. Lampu yang bergantung tenang itulah yang menjadi salah satu penanda gempa.
Yang paling saya ingat adalah gempa tahun 1983. Gempa terbesar yang saya alami semasa tinggal di sana.
Masih jam sekolah ketika itu. Saya dan teman-teman sesama murid kelas 2 SD sedang menyimak pelajaran ketika tiba-tiba bumi berguncang.
“Gempa!” teriak Bu Guru.
Tanpa disuruh, kaki-kaki kecil kami gemetaran berlari ke luar, sambil oleng ke sana kemari.
Setiba di luar kelas, getaran masih terasa. Entah bumi yang bergetar atau kami yang terlalu gemetar. Beberapa teman menangis ketakutan.
Hari itu kami pulang sekolah lebih cepat. Rumah saya tak jauh dari sekolah. Tinggal menyeberangi lapangan sepak bola dan jalan raya yang sepi.
Rumah panggung kami baik-baik saja. Namun, tembok pembatas dengan rumah sebelah roboh karena gempa.
Gempa tersebut tercatat di dalam Katalog Gempa Bumi Signifikan dan Merusak Tahun 1821 – 2018 yang dikeluarkan oleh Pusat Gempa Bumi dan Tsunami, Kedeputian Bidang Geofisika, Badan Meterologi dan Geofisika.
Dalam katalog itu disebutkan bahwa gempa bumi pada tanggal 4 April tahun 1983 itu memiliki magnitudo 6,6. Tak hanya mengguncang Banda Aceh, tetapi juga Meulaboh.
Di Banda Aceh sendiri gempa itu juga merusak banyak bangunan. Dari rumah penduduk, sekolah, sampai bangunan pemerintahan.
Gempa bumi paling dahsyat di Aceh tentu saja yang terjadi pada 26 Desember 2004. Gempa dengan magnutudo 9,3 yang disusul tsunami itu menewaskan ratusan ribu orang dan getarannya terasa di 11 negara.
Saya dan keluarga sudah meninggalkan Aceh tahun 1986. Namun, pakde saya yang tinggal di sana turut menjadi korban.
Baca Juga: Tsunami Anyer dan Krisis Hati Nurani
Wilayah Rawan Gempa
Ilustrasi kerusakan akibat gempa. Foto: Pixabay. |
Indonesia memang berada di wilayah rawan gempa. Termasuk Pulau Jawa. Termasuk Jawa Barat. Termasuk Bandung. Kota tempat saya tinggal sekarang ini.
Selama di Bandung saya beberapa kali merasa getaran gempa yang pusatnya di kota lain. Tidak ada yang berpusat di Bandung. Belum.
Sesar Lembang yang memanjang sepanjang 29 kilometer dari Padalarang, Lembang, teruuus sampai ke Cimenyan, Cilengkrang, Jatinangor, masih tidur.
Dari penelitian para ahli, sekarang sudah siklus bangunnya. “Sekarang” ini dalam rentang waktu 100 tahun, btw. Pastinya kapan, wallahu a’lam. Tidak ada yang tahu.
Yang bisa diprediksi hanya kerusakannya. Bandung Raya bisa lumpuh kalau Sesar Lembang ini bangun dari tidur panjangnya.
Kepala saya langsung migrain ketika membaca bahwa berdasarkan struktur tanah dsb, goncangan terkuatnya diprediksi bukan terjadi di Lembang melainkan justru di kecamatan sebelah saya.
Paranoid saya rasanya kumat nggak kira-kira. Kalau sudah begini, bisa apa lagi selain pasrah sama Allah?
Btw, Pemprov Jabar, Pemkot Bandung, Pemkab Bandung, instansi terkait, parpol… nggak ada niat gitu bikin pelatihan, sosialisasi atau apalah terkait gempa ini?
Yang praktis dan terapable saja agar rakyat tahu harus berbuat apa jika terjadi gempa, apalagi gempa besar.
Salam,
Triani Retno A
Kalo udah sering gempa, itu tandanya bumi sedang tidak baik-baik saja ya, Mbak. Bali sama Lombok juga ada aja pasti 'goyang'. Apapun itu, semoga kita semua selalu dalam lindunganNya, aamiin..
BalasHapus