Mengurus NPPN di Coretax, Akhirnya Berhasil Juga


Cara pengajuan NPPN di Coretax

Coretax. Satu kata ini belakangan menjadi penyebab sakit kepala dan stres banyak orang. Dari orang-orang keuangan di berbagai perusahaan, sampai pegawai pajaknya sendiri.

Saya bukan orang keuangan. Bukan pula pegawai pajak. Saya penulis buku yang ikut kebagian sakit kepala dengan Coretax ini.

Eh, kenapa penulis ikut sakit kepala?


NPPN dan Royalti

Di dunia penerbitan, royalti adalah hak penulis buku. Biasanya royalti dibayarkan satu kali dalam per 6 bulan atau 4 bulan. Tiap penerbit punya peraturan sendiri tentang ini.

Persentase royalti buku umumnya berkisar 5% sampai 10% dari harga buku yang terjual. Misalnya harga buku Rp50.000. Dari setiap eksemplar yang terjual, penulis mendapat 10% alias Rp5.000.

Kalau buku tersebut dicetak sebanyak 2000 eksemplar tapi yang terjual hanya 100 eksemplar, maka yang didapat penulis adalah 100 x Rp5.000 = Rp500.000.

Nominal royalti itu masih harus dipotong pajak penghasilan (PPh) pasal 23 sebesar 15% untuk penulis yang punya NPWP.

“Ya udah nggak usah pakai NPWP. Gitu aja kok repot!”

Hei, Sistaaahhh... Kalau tidak pakai NPWP, masalah yang dihadapi penulis justru bertambah. Tanpa NPWP, 
maka royalti akan dipotong pajaknya sebesar 30%. Bisa-bisa penulis cuma dapat hikmah dan encoknya.

Dari contoh di atas, kalau punya NPWP berarti potongan pajaknya adalah Rp75.000, sehingga royalti yang diterima penulis hanya Rp425.000.

Mau nangis nggak tuh?

Untungnya, mulai tahun 2023 lalu, PPh atas royalti buku ini menjadi lebih kecil, yaitu 6%. Bagi penulis buku yang menulis untuk mencari nafkah, pengurangan itu sangat-sangat berarti.

Namun, untuk mendapatkan potongan pajak royalti yang 6% itu, penulis harus mengajukan permohonan penggunaan Norma Penghitungan Penghasilan Neto (NPPN).

NPPN ini hanya bisa dipakai oleh wajib pajak pribadi yang melakukan pekerjaan bebas dandan penghasilan brutonya dalam satu tahun kurang dari 4,8 miliar.

Permohonan penggunaan NPPN harus diajukan paling lambat tiga bulan di awal tahun pajak. NPPN ini hanya berlaku untuk satu tahun. Setelah berakhir satu tahun, mesti mengurus permohonan baru lagi.

Tahun 2023 dan 2024 saya mengurus NPPN ini secara online di web pajak.go.id. Penerbit juga biasa mengingatkan tentang hal ini pada awal tahun, plus memberikan panduan pengajuannya.

Bagaimana dengan tahun 2025?

Baca Juga: Mengelola Keuangan Keluarga Ala Freelancer

NPPN dan Coretax

Coretax dan masalahnya
Mempermudah itu lebih mulia.

Tahun-tahun lalu saya mengajukan permohonan penggunaan NPPN pada awal Januari.

Tahun ini penerbit baru mengirim email tentang hal tersebut pada akhir Januari. Dan ternyata, tahun 2025 ini permohonan pengajuan NPPN harus dilakukan di sistem administrasi layanan perpajakan yang baru, yaitu Coretax.

Drama pun dimulai. Langkah pertama adalah membuat akun di Coretax. Ini cukup mudah meskipun harus bersabar menunggu webnya terbuka.

Setelah selesai, barulah mengajukan permintaan sertifikat digital yang merupakan syarat wajib untuk mengajukan NPPN.

Kalau nggak dapat sertifikat digital ini, ya nggak bisa mengajukan NPPN. Tanpa NPPN, maka royalti akan dipotong pajak 15%. 

Jadi, saya login ke akun Coretax > Profil Saya > Kode Otorisasi dan Sertifikat Digital. Di sini muncul formulir yang mesti diisi.

Setelah mengisi formulir digital dan klik Simpan, seharusnya muncul dua tombol, yaitu tombol Unduh Bukti Tanda Terima dan tombol Unduh Sertifikat Digital.

Eh, ternyata tombol Unduh Sertifikat Digital ini gaib. Saya coba berkali-kali masih tak muncul juga.

Jadi, saya lari ke YouTube. Biasanya ada tutorial di sana, baik dari akun-akun pajak maupun dari pengalaman wajib pajak yang sudah berhasil membuat sertifikat digital di Coretax.

Bener, ada yang sudah berhasil, tapi yang belum berhasil jauh lebih banyak. Kebanyakan malah bertanya, “Tombol Unduh Sertifikat Digitalnya di mana?”

Tak ada jawaban yang memberi solusi. Jadi, saya lari ke X (Twitter). Tujuan saya adalah akun official pajak.

Sampai sana, saya temukan BANYAK SEKALI orang keuangan yang marah-marah! Mereka yang harusnya membuat faktur pajak dll jadi terkendala oleh Coretax.

Dampaknya pun besar. Dari yang stres dimarahi bos karena dianggap tidak becus kerja (padahal yang nggak becus mah si Coretax yang pembuatan webnya menghabiskan duit Rp 1,3 triliun), harus kerja siang malam, sampai terlambatnya urusan penagihan dan pembayaran pada klien.

Dari Twitter dan YouTube saya menemukan berbagai tips untuk membuat sertifikat digital, yaitu:

  • Buka Coretax di atas jam 10 malam, pada jam Cinderella pulang (alias tengah malam), atau pada jam-jam tahajud.
  • Logout dulu, kemudian login lagi.
  • Refresh.
  • Clear cache.
  • Buka Coretax pakai incognito window.
  • Kalau gagal pakai hp, buka Coretax pakai laptop.
  • Kalau gagal pakai laptop, buka Coretax pakai hp.
  • Pakai paket data, jangan pakai wifi.
  • Pakai browser yang berbeda.

Saya mencoba semua tips tersebut dan tetap gagal!

Akhirnya saya lari ke Facebook, lalu curhat di sana. Teman-teman sesama penulis pun mengalami hal yang sama. Bahkan sampai ada yang nggak berani buka Coretax karena khawatir tekanan darah kembali melonjak tinggi atau asam lambung naik lagi.

Boy Candra menyarankan untuk langsung ke Kantor Pajak Pratama (KPP). Kalau perlu, keluarkan jurus marah-marah. Urusan NPPN-nya beres setelah diurus langsung di KPP, pakai laptop pegawai pajak.

Baca Juga: Mempersiapkan Dana Pendidikan untuk Buah Hati

Mengurus NPPN di KPP

Coretax
Coretax yang penuh drama.

Akhirnya, bulan Maret 2025 saya langsung ke KPP. Pertama kali datang, saya terpaksa pulang dengan tangan hampa.

Para Renjani (Relawan Pajak Indonesia) yang bertugas di depan malah nggak ngerti NPPN itu apaan.

Setelah menunggu beberapa menit, akhirnya seorang Renjani tahu apa itu NPPN. Sayangnya, saya tak bisa mengurusnya hari itu karena kuota 50 orang sudah habis.

Aslinya sih mau marah tapi nggak tega juga, apalagi sebagai sesama kaum umbi-umbian.

“Sudah berapa kali dimarahi orang gara-gara Coretax?” tanya saya.

“Sering banget, Ibuuuu....”

Nah, kan. Saya makin nggak tega.

Keesokan harinya, saya sudah tiba di KPP sebelum jam kerja dimulai.

Sebelum mendapat nomor antrean, kan ditanya dulu tuh ada kepentingan apa. Saya bilang mau minta formulir permohonan NPPN. Ini usulan dua orang penulis di kota lain yang berhasil melakukan pengajuan secara manual.

Tapi ternyata formulir itu tidak tersedia di KPP saya. Jadi ya tetap harus diurus pakai Coretax.

Saya dapat nomor antrean D-3, jadi termasuk yang dipanggil pertama.

“Nomor saya D-3, Pak. Apa setelah ini saya bisa lanjut ke S-1?” tanya saya sambil menyerahkan nomor antrean.

Pak pegawai pajak berwajah serius itu mengerutkan kening. “Maksudnya bagaimana, Bu?”

Saya mengulangi sekali lagi dan si bapak masih belum paham. Akhirnya saya menyerah. Tapi tiba-tiba....

“Oh, saya paham!” ujar bapak itu. “Jokes emak-emak.”

Hehe....

Setelah memperkenalkan pekerjaan saya dan masalah yang saya hadapi, si bapak memandu saya untuk pengajuan lagi. “Pakai hape juga boleh,” ujarnya.

Seperti biasa, saya mentok lagi di tidak adanya tombol Unduh Sertifikat Digital. Akhirnya, proses dilanjutkan di laptop si bapak. Sampai akhirnya muncullah Surat Pemberitahuan Pengggunaan NPPN dan Bukti Penerimaan Elektronik (BPE).

Alhamdulillah. Akhirnyaaaa...! Lega banget!

Baca Juga: Kapan Waktu yang Tepat Cek Rekening Bank?


Penutup

Agar PPh atas royalti menjadi lebih kecil, penulis buku wajib mengurus NPPN. Jika dalam pengurusan ini terkendala di Coretax, langsung saja urus di KPP terdekat.

Supaya lebih cepat saat mengurus NPPN langsung di KPP, sebaiknya buat dulu akun di Coretax.

Begitulah pengalaman saya yang awam soal pajak ini. Di tulisan berikut saya akan bercerita tentang pengalaman dengan saldo minus di rekening tabungan saya. Hah? Saldo minus?

1 komentar

Komentar dimoderasi dulu karena banyak spam. Terima kasih.