Kondisi negara sedang seperti apa pun, tetap saja mudik menjadi tradisi tahunan bagi sebagian penduduk muslim Indonesia.
Banyak alasan orang untuk mudik. Mungkin sama banyaknya dengan alasan sebagian orang lainnya untuk tidak mudik.
Tapi saya bukan hendak menulis tentang alasan-alasan ini, apalagi memancing war antara mudik vs tidak mudik. Saya cuma mau cerita tentang pengalaman mudik saya.
Mudik ke Mana?
Pengalaman mudik saya tidak banyak. Dari yang tidak banyak itu, ada pengalaman mudik semasa remaja yang begitu membekas dalam kenangan saya.Saya tinggal di Bandung. Ortu tinggal di Bandung. Nenek dari pihak ibu tinggal bersama kami. Lah, trus mau mudik ke mana?
Kami mudik ke Solo! Ke rumah nenek dari pihak bapak.
Nggak tahu deh kenapa waktu itu orangtua saya keidean buat ngajak kami mudik ke Oslo eh Solo.
Mungkin karena semua penghuni rumah dapat libur Lebaran jadi bisa pergi sekeluarga. Mungkin biar kami merasakan pengalaman mudik.
Mungkin karena ortu sudah punya cukup tabungan buat mudik (ortu saya militer yang tidak punya bisnis apa-apa, hanya mengandalkan gaji). Mungkin juga karena bosan ditanya oleh tetangga, “Kok nggak mudik?”
Apa pun itu, jadilah kami pun berangkat ke Solo dengan mobil tua milik bapak yang full AG alias angin gelebuk dari jendela.
Lumayan yaaa ternyata perjalanan bermobil dari Bandung ke Solo pada masa mudik Lebaran.
Beda Agama
![]() |
Nenek dan om (kemeja putih) sekarang sudah tiada. |
Sebelumnya kami memang nggak pernah mudik Lebaran ke Solo. Ya gimana. Kami mudik Lebaran ke rumah nenek, tapi nenek, om, bulik, dan sepupu-sepupu saya di sana non-Muslim.
Kami ke masjid, penghuni rumah yang kami jadikan tujuan mudik malah ke gereja.
Namun, meski berbeda agama, kami disambut hangat. Layaknya menyambut keluarga dekat yang sudah lama tak berjumpa.
“Kalau mau sembahyang bisa di kamar,” kata bulik. “Ada tikar tapi nggak ada rukuh.”
Nggak masalah, sih, karena kami membawa mukena alias rukuh sendiri.
Hari itu H-1 Lebaran. Wah, nenek saya sibuk menyediakan hidangan Lebaran buat kami. Di dapur nenek yang sederhana tersedia ketupat, lengkap dengan opor ayamnya.
Tidak berhenti di situ saja. Om saya sibuk cari informasi ke tetangga dan teman-temannya. Mencari lokasi shalat Id besok buat kami.
Baca Juga: Filosofi Jawa, Sak Dheg Sak Nyet
Kami yang perempuan-perempuan ini kebagian tempat di jalan raya, tak jauh dari gereja (saya lupa namanya).
Wah, baru sekali itu saya merasakan shalat Id di depan gereja. Waktu tinggal di Medan sih umum banget melihat gereja. Sebagian teman sekelas saya (beneran sebagian, fifty-fifty) pun beragama Nasrani. Tapi shalat di depan gereja ... baru pas mudik ke Solo itu.
Aman?
Masya Allah. Semua aman damai.
Usai shalat, ketika berjalan lebih dekat ke arah gereja, di halamannya terlihat beberapa orang sibuk menyediakan minuman dan makanan ringan untuk umat Islam yang baru selesai shalat Id.
Damai sekali Indonesia kalau begini. Beginilah toleransi yang saya pahami. Menghormati orang yang berbeda agama agar dapat beribadah dengan aman, dan bukannya ikut-ikutan melakukan ibadah tetangga sebelah.
Selesai sarapan ketupat opor di rumah nenek, bapak mengajak kami berkunjung ke rumah tetangga di kiri kanan rumah nenek.
Di rumah yang pertama kamu datangi, pemilik rumah menatap terheran-heran pada kami. Untungnya pak tetangga itu masih ingat pada bapak dan mempersilakan kami masuk.
Tanpa kelamaan berbasa-basi, pak tetangga melontarkan pertanyaan yang terlihat jelas sangat mengusik benaknya. “Sampeyan sekarang Lebaranan tho? Dulu bukannya ke gereja? Ini yang jilbaban anak-anak sampeyan?”
Hehe....
Ingatan saya langsung terbang kembali ke masa SD di Banda Aceh, ketika menemukan sepucuk kartu pos bertuliskan ucapan Selamat Natal untuk bapak.
Dulu saya pikir pengirim kartu Natal itu salah tulis. Setelah lebih besar barulah saya paham bahwa itu bukan salah tulis.
Baca Juga: Masa Kecil di Rumah Tua Peninggalan Belanda
Sekarang saya tak pernah mudik lagi. Kalau ditanya kenapa nggak mudik, saya biasa menjawab, “Saya sih mau aja mudik ke kampung halaman. Tapi saya lupa kampung saya ada di halaman berapa.” Hehe....
Lagi pula, mau mudik ke mana? Di Bandung saya tinggal bersama ortu, kok. Setelah bercerai, saya juga tidak punya mertua (alhamdulillah).
Mau mudik ke Solo lagi?
Nenek sudah lama meninggal. Om juga sudah meninggal tetapi tidak bisa diziarahi karena beliau dikremasi dan abunya dilarung ke laut.
Ke Solo bukan lagi mudik sih, tapi liburan saja dan tidak harus di masa libur Lebaran.
Ketika ke Solo tahun 2019, rumah peninggalan nenek terasa sepi. Namun, bulik tetap menyambut dengan hangat.
“Kalau mau sembahyang, bisa di kamar depan,” ujar bulik. “Ada rukuh sama sajadah punya adikmu. Adikmu kan sekarang sembahyang.”
Lebaran di Kampung Halaman
Berkat hasil kasak-kusuk om mencari informasi, pagi-pagi di hari Lebaran itu kami berangkat ke Manahan. Shalat Id di sana.Kami yang perempuan-perempuan ini kebagian tempat di jalan raya, tak jauh dari gereja (saya lupa namanya).
Wah, baru sekali itu saya merasakan shalat Id di depan gereja. Waktu tinggal di Medan sih umum banget melihat gereja. Sebagian teman sekelas saya (beneran sebagian, fifty-fifty) pun beragama Nasrani. Tapi shalat di depan gereja ... baru pas mudik ke Solo itu.
Aman?
Masya Allah. Semua aman damai.
Usai shalat, ketika berjalan lebih dekat ke arah gereja, di halamannya terlihat beberapa orang sibuk menyediakan minuman dan makanan ringan untuk umat Islam yang baru selesai shalat Id.
Damai sekali Indonesia kalau begini. Beginilah toleransi yang saya pahami. Menghormati orang yang berbeda agama agar dapat beribadah dengan aman, dan bukannya ikut-ikutan melakukan ibadah tetangga sebelah.
Selesai sarapan ketupat opor di rumah nenek, bapak mengajak kami berkunjung ke rumah tetangga di kiri kanan rumah nenek.
Di rumah yang pertama kamu datangi, pemilik rumah menatap terheran-heran pada kami. Untungnya pak tetangga itu masih ingat pada bapak dan mempersilakan kami masuk.
Tanpa kelamaan berbasa-basi, pak tetangga melontarkan pertanyaan yang terlihat jelas sangat mengusik benaknya. “Sampeyan sekarang Lebaranan tho? Dulu bukannya ke gereja? Ini yang jilbaban anak-anak sampeyan?”
Hehe....
Ingatan saya langsung terbang kembali ke masa SD di Banda Aceh, ketika menemukan sepucuk kartu pos bertuliskan ucapan Selamat Natal untuk bapak.
Dulu saya pikir pengirim kartu Natal itu salah tulis. Setelah lebih besar barulah saya paham bahwa itu bukan salah tulis.
Baca Juga: Masa Kecil di Rumah Tua Peninggalan Belanda
Lebaran Tanpa Mudik
![]() |
Mudik atau tidak mudik adalah pilihan. |
Sekarang saya tak pernah mudik lagi. Kalau ditanya kenapa nggak mudik, saya biasa menjawab, “Saya sih mau aja mudik ke kampung halaman. Tapi saya lupa kampung saya ada di halaman berapa.” Hehe....
Lagi pula, mau mudik ke mana? Di Bandung saya tinggal bersama ortu, kok. Setelah bercerai, saya juga tidak punya mertua (alhamdulillah).
Mau mudik ke Solo lagi?
Nenek sudah lama meninggal. Om juga sudah meninggal tetapi tidak bisa diziarahi karena beliau dikremasi dan abunya dilarung ke laut.
Ke Solo bukan lagi mudik sih, tapi liburan saja dan tidak harus di masa libur Lebaran.
Ketika ke Solo tahun 2019, rumah peninggalan nenek terasa sepi. Namun, bulik tetap menyambut dengan hangat.
“Kalau mau sembahyang, bisa di kamar depan,” ujar bulik. “Ada rukuh sama sajadah punya adikmu. Adikmu kan sekarang sembahyang.”
***
Terima kasih sudah mampir dan meninggalkan jejak baik.
BalasHapus